Detik-detik menjelang Muktamar PKB di Bali, PBNU ikut mempersiapkan Banser GP Ansor dan Pagar Nusa untuk melakukan apel kesetiaan. Hal itu memicu respon dari Garda Bangsa PKB, yang siap melawan siapapun pengacau Muktamar. Suasana sempat menjadi tegang dan mencekam.
Muhaimin Iskandar alias Cak Imin merespon suasana tegang itu. Ia mengatakan telah menginstruksikan pengurus PKB Bali untuk mempersiapkan semua kebutuhan, termasuk makan siang, kopi dan rokok bagi anggota Banser yang mengikuti apel kesetiaan. Cak Imin mengatakan ini bukan candaan, tapi serius. Karena bagaimanapun, PBNU, Ansor-Banser, Pagar Nusa dan PKB adalah satu keluarga besar nahdliyin, semuanya ‘prodak’ alim-ulama Aswaja.
Politik ngopi-bareng atau kopdar ini penting dijadikan “rule-model.” Kopdar sama dengan cangkrukan, ngobrol ngalor-ngidul, dan tidak tentu arah. Namun seperti dikatakan Soekarno, aku lebih suka pemuda yang merokok dan minum kopi namun memikirkan bangsanya dari pada pemuda kutu buku yang tidak bersikap apa-apa.
Dalam kesempatan kopdar semacam ini, di sana akan terbentuk suasana demokratis, dengar pendapat, berbagi sudut pandang dan data. Abul Hasan Ali Al-Mawardi (w. 450 H.) dalam _Adab a-l-Din wa al-Dunnya_ mengatakan, sesungguhnya diantara keharusan bagi seorang cerdik cendikia hendaknya tidak menginginkan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, tanpa meminta pendapat lebih dulu kepada orang yang arif bijaksana, dengan wawasan yang luas (2013:483).
Bermusyawarah, kata Qutadah bin Di’amah (w. 118 H.), bentuk sikap lemah-lembut kepada orang lain, serta mendatangkan kenyaman pada perasaan mereka sendiri. Bermusyawarah dan meminta nasehat perlu dilakukan sebagai teladan bagi orang lain, sekalipun sesungguhnya ia sendiri tidak membutuhkan apapun. Demikian pesan Abul Hasan al-Bashri (w. 110 H.).
Namun, masyarakat Bali sendiri tidak mau pasif dan berpangku tangan menunggu hasil kerja orang lain. Para pelingsir atau tokoh puri Bali menolak kedatangan ‘pasukan’ Banser yang dianggap berseragam mirip militer dan menciptakan ketakutan warga Bali. Maka sikap netralpun diambil, sebagain tokoh-tokoh Bali juga memprotes mengapa Muktamar PKB harus di Bali, dan apa untungnya untuk Bali.
Setelah menghayati pentingnya politik ngopi dan adanya protes pelingsir Bali, Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya memutuskan menarik pasukan Banser Ansor dan Pagar Nusa. Gus Yahya meminta semua kader Ansor untuk kembali ke rumah masing-masing, dan ia juga berterima kasih karena sudah menunjukkan kesetiaan.
Dengan begitu, Garda Bangsa sebagai sayap PKB tidak harus bersitegang dengan Banser maupun Pagar Nusa sebagai kapanjangan tangan PBNU. Mereka semua kembali menjadi keluarga besar yang harmonis, saudara, dan “konco ngopi”. Penarikan pasukan ini juga merupakan suatu indikasi penting yang mengarah pada rekonsiliasi sekaligus implementasi Qanun Asasi NU.
Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari menceritakan dalam Qanun Asasi, banyak kerajaan-kerajaan dari umat terdahulu memakmurkan bangsa dan negaranya karena persatuan, tetapi juga hancur karena hilangnya persatuan. Mbah Hasyim juga mengutip ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib ra., bahwa kebenaran yang tidak disertai persatuan dapat dikalahkan oleh kebatilan yang solid.
Arah rekonsiliasi juga bisa dibaca dari indikator lain, yang tidak kalah menarik. Yaitu, ide mengembalikan posisi Dewan Syuro kepada Muktamirin, yang dimunculkan PBNU. Sebelumnya PBNU mengajak segenap Muktamirin di Bali untuk mengembalikan partai PKB ke Khitthah 1998 dan desain AD-ART sebagaimana aslinya.
PBNU mempelajari Pasal 16 AD PKB tahun 1998, dan kemudian menemukan konsep struktur kepemimpinan PKB menganut struktur kepemimpinan NU, di mana para ulama menempati posisi kepemimpinan tertinggi. Dewa Syura PKB berada di atas Dewan Tanfid. PBNU juga merasa resah Pasal 17 AD PKB tahun 2019.
Melalui Anggaran Dasar 2019 tersebut, PBNU menilai PKB tidak lagi menempatkan Dewan Syura sebagai Pimpinan Tertinggi Partai. Sebaliknya, Dewan Syura ditempatkan hanya sebagai Dewan Penjaga Garis-garis Perjuangan Partai.
Selain itu, PBNU juga meresahkan Pasal 19 AD PKB tahun 2019, yang menjadikan Ketua Umum DPP PKB sebagai satu-satunya Mandataris Muktamar, yang berkuasa mengubah struktur, menyusun, mengganti dan memberhentikan personalia pengurus.
Kritik-kritik PBNU terhadap AD PKB tahun 2019 mengingatkan kita pada istilah Imam Al-Mawardi. AD PKB 2019 memang menyiratkan manusia kuat, yang menghadapi masalah dengan pendapatnya sendiri. Sementara AD PKB 1998 menggambarkan manusia yang meminta pendapat pada ahlinya. Dua pilihan ini sama baiknya.
Disebut sama baiknya, karena kepemimpinan manusia kuat terbukti berhasil meningkatkan suara PKB. Dari tahun ke tahun, selama Muhaimin Iskandar alias Cak Imin memimpin PKB, perolehan suara dan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak mengecewakan. Artinya, AD 1998 dan AD 2019 benar.
Perhatikan perolehan PKB di setiap Pemilu. PKB mendapatkan 51 kursi DPR dan 13,3 juta suara (1999), 52 kursi dan 11,9 juta suara (2004), 28 kursi dan 5,1 juta suara (2009), 47 kursi dan 11,2 juta suara (2014), 58 kursi dengan 13,5 juta suara (2019). Di Pemilu 2019, PKB meraih 68 kursi dan 16,1 juta suara.
Dengan begitu, hal-hal furu’iyah atau teknis jangan sampai mengalahkan hal-hal ushul atau prinsipil. Banser, GP Ansor dan Pagar Nusa adalah kawan-kawan ngopi Garda Bangsa. PBNU dan PKB putra-putra Kiai NU. Makanya, Yenny Wahid—putri alm. KH. Abdurrahman Wahid pendiri PKB dan cicit Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari pendiri NU—mengeluh pada Kia Ma’ruf Amin, untuk mendamaikan PKB dan NU, karena keduanya berkah bagi bangsa.
Setiap persoalan yang mengesankan konflik internal warga NU, demikian kata Gus Mus, jangan diperlihatkan di ruang publik. Konflik PKB dan PBNU adalah konfliknya santri-santri di asrama pondok, di musola, di masjid. Tapi, ketika orang luar melihat mereka menilai ada konflik sesungguhnya. Padahal hanya gergeran (parodi) ala santri, bukan gegeran (konflik).
Dr. KH. Aguk Irawan MN, Lc, MA, Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta, Santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma’had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).