Jakarta, Liputan9.id – Umat Islam yang akan menunaikan ibadah haji sangat beharap hajinya menjadi mabrur. Karenanya sebelum berangkat menuju tanah suci mereka memohon doa restu kepada orang tua, keluarga, tetangga, dan mengadakan selamatan Sebelum Berangkat Haji.
Sebelum berangkat haji, mereka biasanya melakukan tasyakuran atau selamatan. Tradisi ini kelihatannya sudah membumi di Nusantara. Hampir di semua daerah ditemukan tradisi ini, meskipun dengan nama yang berbeda-beda.
Secara umum mereka menyebutnya walimah safar. Istilah ini memang jarang ditemukan dalam litaratur fikih. Tetapi sebenarnya ada istilah yang hampir mirip, yaitu naqi’ah. Hanya saja, istilah naqi’ah secara spesifik digunakan untuk menyambut kedatangan musafir, terutama yang balik dari perjalanan jauh semisal haji.
Masyarakat menyambutnya dengan mengadakan walimah atau acara makan-makan. Naqi’ah ini bisa diadakan si musafir itu sendiri atau masyarakat yang menyambutnya.
Imam al-Nawawi dalam kitabnya, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berpendapat:
يستحب النقيعة وهي طعام يعمل لقدوم المسافر ويطلق على ما يعمله المسافر القادم وعلى ما يعمله غيره له
Artinya, “Disunahkan melangsungkan naqi’ah, yaitu makanan yang dihidangkan karena kedatangan musafir, baik disiapkan musafir itu sendiri, atau orang lain untuk menyambut kedatangan musafir.”
Pendapat ini didukung hadis riwayat Jabir bahwa Nabi Muhammad SAW ketika sampai di Madinah selepas pulang dari perjalanan, Beliau menyembelih unta atau sapi (HR Al-Bukhari). Dalil ini memperkuat kesunahan mengadakan selamatan setelah pulang dari perjalanan jauh. Selamatan sebagai bentuk rasa syukur atas diselamatkannya musafir dari bahaya perjalanan.
Demikian pula dengan selamatan sebelum haji. Hukumnya dapat disamakan dengan naqi’ah. Terlebih lagi, substansi acaranya tidak melenceng sedikit pun dari syariat Islam. Di dalamnya terdapat unsur silaturahmi, sedekah, do’a, baca Al-Qur’an, dan lain-lain.
https://twitter.com/Liputan9id/status/1578045781889536000?s=20&t=rTmn84iyGq7CbAj9i7Rr-Q
Kendati istilah walimah safar jarang ditemukan dalam literatur hadits maupun fikih, bukan berarti mengadakannya dianggap haram atau bid’ah tercela. al-ibratu bi al-musamma, la bil ismi, yang diperhatikan ialah substansi yang dinamai, bukan soal nama itu sendiri. Berdasarkan prinsip ini, yang menjadi acuan dalam menghukumi sebuah perbuatan ialah isi dan substansinya.
Selama isi dan substansinya tidak bertentangan dengan syariat Islam, ia diperbolehkan sekalipun istilah atau penamaannya tidak ditemukan di masa Rasulullah SAW. Terlebih lagi, dalam Madzhab al-Syafi’i, istilah walimah tidak hanya dikhususkan untuk pesta pernikahan. Istilah walimah mencakup semua perayaan yang diselenggarakan lantaran mendapat rezeki yang tidak terduga atau kebahagian tertentu. Maka dari itu, menurut Madzhab Syafi’i kesunahan mengadakan walimah tidak dibatasi hanya untuk nikah, tetapi juga disunahkan pada saat bangun rumah, khitan, pulang dari perjalanan jauh, dan lain-lain.
al-Syarbini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj [hal: 403/4], mengatakan ada 10 macam walimah.
- Waliamah al-‘ursy jamuan makanan yang disediakan untuk undangan saat pesta perkawinan.
- Waliamah al-khurs, makanan yang dibuat untuk tamu undangan saat melahirkan anak.
- Walimah al-naqi’ah, makanan yang dibuat untuk perjamuan orang-orang yang datang dari perjalanan jauh (musafir).
- Walimah al-i’dzar, makanan yang dibuat saat acara sunatan.
- Walimah al-wakiirah, makanan yang dibuat saat pembangunan.
- Walimah al-‘Aqiqah, makanan yang dibuat saat anak yang dilahirkan berumur tujuh tahun.
- Walimah al-Ma’dlubah, makanan yang disediakan tanpa alasan.
- Walimah al-Syandlakhii, makanan yang dibuat saat memiliki barang-barang baru.
- Walimah al-hidlaq, makanan yang dibuat saat selametan karena menghafalkan Al-Qur’an. Terakhir,
- Walimah al-Wadhimah, makanan yang dibuat saat tertimpa musibah. Yang terakhir ini masih di perselisihkan apakah termasuk walimah atau tidak karena ia makanan yang dijamukan saat tertimpa musibah dan walimah adalah makan yang dihidangkan saat mendapatkan kebahagiaan.
Semenatara sebagian ulama menyebutkan, tidak ada 10 macam walimah, tapi hanya ada 9 walimah dengan tidak memasukan Walimah al-Hidlaq yang terhimpun dalam sebuah gubahan sya’ir sebegai berikut;
وَلِلضِّيَافَةِ أَسْمَاءٌ ثَمَانِيَةٌ … وَلِيمَةُ الْعُرْسِ ثُمَّ الْخُرْسُ لِلْوَلَدِ
“Penjamuan memiliki delapan Nama, walimatu al-‘Ursy lalu Walima al-Khurs jamuan saat melahirkan anak”
كَذَا الْعَقِيقَةُ لِلْمَوْلُودِ سَابِعَهُ … ثُمَّ الْوَكِيرَةُ لِلْبُنْيَانِ إنْ تَجِدْ
“Demikian pula Walimah al-‘aqiqah, jamuan untuk anak yang dilahirkan saat umur tujuh hari, kemudian Walimah al-Wakiirah, jamuan untuk pembangunan jika kau menjumpainya”
ثُمَّ النَّقِيعَةُ عِنْدَ الْعَوْدِ مِنْ سَفَرٍ … وَفِي الْخِتَانِ هُوَ الْإِعْذَارُ فَاجْتَهِدْ
“Kemudian walimah al-Naqii’ah, jamuan ketika pulang dari perjalanan, dan untuk sunatan namanya walimah al-I’zdar maka bersungguh-sungguhlah engkau”
وَضِيمَةٌ لِمُصَابٍ ثُمَّ مَأْدُبَةٌ … مِنْ غَيْرِ مَا سَبَبٍ جَاءَتْكَ بِالْعَدَدِ
“Walimah al-Wadhimah jamuan saat ditimpa musibah, kemudian walimah al-Ma’dlubah jamuan tanpa sebab seringkali walimah al-Ma’dlubah menghampirimu”
وَالشَّنْدَخِيُّ لِأَمْلَاكٍ فَقَدْ كَمُلَتْ … تِسْعًا وَقُلْ لِلَّذِي يَدْرِيهِ فَاعْتَمِدْ
“Walimah al-Syandlakh,i jamuan karena memiliki hal yang baru, sungguh sudah sempurna menjadi sembilan dan katakanlah bagi orang yang tahu (terhadap walimah syandlakdii) lalu berpeganglah (amalkan).”
Pendapat ini sebagaimana dikutip Al-Jaziri dalam al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah
الشافعية قالوا: يسن صنع الطعام والدعوة إليه عند كل حادث سرور، سواء كان للعرس أوللختان أوللقدوم من السفر إلى غير ذلك مما ذكر
Artinya, “Madzhab Syafi’i mengatakan disunahkan menghidangkan makanan dan mengundang orang untuk memakannya pada setiap kejadian yang membahagiakan, baik saat pernikahan, nikah, kedatangan orang dari perjalanan, dan lain-lain.”
Merujuk pada pendapat di atas, tradisi walimah safar yang dilakukan masyarakat Nusantara sangat baik dilakukan. Pada saat itulah momen berbagi kepada sesama masyarakat atas kesempatan dan nikmat yang diberikan Allah SWT. Apalagi tidak semua orang yang diberikan kesempatan untuk berhaji. Selain ajang silaturahmi dan sedekah, walimah safar merupakan bentuk rasa syukur atas peluang yang diberikan Allah SWT dan ajang meminta do’a kepada sanak-saudara supaya diselamatkan selama menjalani ibadah haji.
Dasar Hukum Tradisi Walimatus Safar Haji. Upacara walimatus safar perihal kepergian jamaah haji bukan sekadar tradisi lokal. Upacara walimahan itu merupakan sunah yang dilaksanakan umat Islam sejak masa Rasulullah SAW. Mengadakan walimatul haji atau acara tasyakuran yang diadakan setelah seseorang pulang dari perjalanan jauh adalah termasuk perbuatan yang disunahkan. Jadi walimatus safar itu bukan kegiatan yang tidak memiliki dasar sama sekali, sehingga tergolong kegiatan yang dilarang.
Lebih lanjut, dasar kesunahan walimatus safar, salah satunya diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Sahabat Jabir RA. bahwa Rasulullah SAW ketika pulang dari Madinah melakukan penyembelihan kambing atau sapi. Selain itu, terdapat hadits lain yang diriwayatkan Imam al-Turmudi dan Abu Dawud yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW mengadakan walimah untuk Shofiyah dengan bubur sawik dan kurma.
“Dari kedua hadist ini sebagian ulama seperti Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Atsnal Mathalib berpendapat bahwa walimah tidak hanya disunahkan dalam acara akad nikah tetapi walimah juga disunahkan ketika seseorang pulang dari perjalanan jauh.
Walimatul haji tidak bisa dihukumi kegiatan yang dilarang dan tidak memiliki dasar. Bahkan sebagian ulama juga ada yang berpendapat bahwa, walimah yang diadakan sebelum berangkat atau sesudah pulang haji hukumnya sama, sunah.
Tradisi Walimatus Safar Haji di Zaman Kolonial.
Perjalanan ibadah haji masyarakat Nusantara yang dilaksanakan pada zaman kolonial tentu sangat jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Hal ini tidak lepas dari berbagai keterbatasan mulai dari fasilitas, regulasi sampai alat transportasi.
Gambaran berbagai macam kejadian dan perjuangan umat Islam di Nusantara yang berkaitan dengan perjalanan ibadah haji itu dapat dijumpai dalam buku, Berhaji di Masa Kolonial (2008) karya Prof M. Dien Madjid. Dien Madjid mencatat, walimatus safar atau slametan sebelum berangkat haji dan umrah sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Umumnya, sebelum berangkat haji ada upacara perpisahan untuk saling memaafkan antara calon jamaah haji dengan masyarakat, mulai dari; keluarga, kerabat, dan juga tetangga.
Selanjutnya mereka mengantarkan kepergian calon jamaah sampai ke pelabuhan. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada calon jamaah haji yang akan melakukan perjalanan sangat jauh dan cukup lama. Bisa jadi upacara tersebut menjadi pertemuan terakhir sehingga tidak menjadi beban di kemudian hari karena sudah saling memaafkan.
Perjalanan para calon jama^ah haji menuju Makah digambarkan penuh dengan rintangan dan perjuangan. Di antaranya harus melewati ombak samudera yang besar dan hembusan angin kencang yang bisa mengakibatkan kapal karam dan membuat penumpang menjadi meninggal, cedera karena terhempas atau terhimpit, barang-barang berharga seperti uang, emas, dan perak hilang, namun ada juga penumpang yang masih beruntung dan selamat dari kecelakaan.
Selain itu, saat berlayar di atas lautan ada juga jamaah yang meninggal dunia karena kelelahan, kekurangan sarana, atau mengidap penyakit.
Permasalahan lain yang terkadang bisa menimpa pada sebagian penumpang adalah harus merelakan barang-barang berharga karena dicuri Akibatnya, ketika sampai di pelabuhan, harus mencari pekerjaan menjadi buruh atau meminjam uang kepada syekh (pembimbing haji) untuk mendapatkan uang dan bisa melanjutkan perjalanan. Pada zaman itu, perjalanan haji memakan waktu minimal enam bulan bahkan bisa sampai bertahun-tahun karena kehabisan bekal dan bekerja di perkebunan atau perusahaan setempat.
Tidak sedikit orang Nusantara yang bisa berangkat haji namun tidak bisa kembali pulang karena meninggal di perjalanan atau terdampar di suatu tempat. Sampai saat ini, kesedihan keluarga, kerabat dan tetangga saat hadir di acara walimatus safar atau ikut serta mengantarkan calon jamaah haji masih bisa dilihat dan dirasakan.
Jamaah haji asal Indonesia lazim mengadakan walimatus safar haji sebelum keberangkatan. Jamaah haji menggelar tahlilan, doa bersama, atau untuk menbaca mabaqib syaikh Abdul Qadir al Jilani untuk kemashlahatan ibadah haji yang bersangkutan dan keluarga yang ditinggalkan selama ibadah haji.
Kerabat, sahabat, dan keluarga jamaah haji dianjurkan untuk melepas calon jamaah dengan doa Rasulullah SAW berikut ini:
زَوَّدَكَ اللهُ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ وَيَسَّرَ لَكَ الخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ
Zawwadakallâhut taqwâ, wa ghafara dzanbaka, wa yassara lakal khaira haitsumâ kunta.
Artinya, “Semoga Allah membekalimu dengan takwa, mengampuni dosamu, dan memudahkanmu dalam jalan kebaikan di mana pun kau berada.” Doa ini dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika salah seorang sahabat Rasulullah SAW menyatakan diri untuk mengadakan perjalanan jauh. Doa ini diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dari sahabat Anas RA sebagai berikut:
وروينا في كتاب الترمذي، عن أنس رضي الله قال : جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: يارسول الله، إني أريد سفرا فزودني، فقال: “زودك الله التقوى”، قال: زدني، قال: “وغفر ذنبك”، قال: زدني، قال: “ويسر لك الخير حيثما كنت” قال الترمذي: حديث حسن
Artinya, “Diriwayatkan kepada kami pada Kitab At-Tirmidzi, dari Sahabat Anas RA. Ia bercerita bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasul, aku hendak berpergian. Karenanya, berikanlah aku bekal,’ kata sahabat tersebut. ‘Zawwadakallâhut taqwâ,’ kata Rasulullah SAW. ‘Tambahkan lagi ya Rasul,’ kata sahabat itu. ‘Wa ghafara dzanbaka,’ kata Rasulullah SAW. ‘Tambahkan lagi ya Rasul,’ kata sahabat itu. ‘Wa yassara lakal khaira haitsumâ kunta,’ jawab Rasulullah SAW. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa kualitas hadits ini hasan,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 187).
Mengenali makna Walimat al-Safar
Secara bahasa, safar memiliki arti bepergian atau perjalanan. Jadi secara filosofis walimatus safar adalah acara syukuran sekaligus berpamitan, memohon maaf dan berdoa supaya calon jamaah haji yang hendak melakukan perjalanan jauh ke Tanah Suci ibadahnya diberikan kemudahan, keselamatan, dan mabrur.
Tujuan utama dari kegiatan walimatus safar tidak lain adalah untuk berdoa kepada Allah SWT. Jadi tidak ada salahnya jika seseorang meminta doa kepada Allah SWT. “Niatnya yang pertama, biar didoain semoga selamat, baik dalam perjalanan maupun ketika berada di sana, dan semoga menjadi haji yang mabrur
Untuk melaksanakan acara walimatus safar, cukup dengan mengundang saudara, kerabat, dan tetangga-tetangga sekitar untuk turut serta mendoakan dan didoakan. Terlebih jika memberikan jamuan makan dan disertai pengajian, tentu perbuatan baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Calon Jamaah Haji Indonesia dari berbagai daerah mulai diberangkatkan ke tanah suci. Ketika akan berangkat ke Tanah Suci calon jama’ah haji menggelar walimatus safar atau slametan. Dalam kegiatan itu calon Jamaah Haji mengundang para tetangga, teman-teman, kenalan, dan kerabatnya untuk berpamitan dan dilakukan upacara pelepasan yang disaksikan tokoh agama setempat. Kemudian sebagian tetangga dan kerabat turut mengantar calon Jamaah Haji ke Asrama haji.
Rupanya tradisi itu sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Pelepasan dan perpisahan antara Calon Jamaah Haji dengan orang sekampungnya tidak lepas dari lamanya perjalanan ibadah haji pada masa itu.
Dr. KH. Fuad Thohari, MA., adalah seorang pendakwah juga akademisi yang bergelut dalam bidang Tafisr dan Hadist. Setelah menimba ilmu di Ponpes Salaf Al – Falah, Ploso, Kediri, Jawa Timur, beliau kemudian menempuh pendidikan perguruan tinggi hingga s3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang Tafsir Hadist. Alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI ini merupakan dosen di Sekolah Pascasarjana almamaternya dan mengisi berbagai kajian keagamaan di masjid, majlis taklim, seminar ilmiah, stasiun televisi dan radio di wilayah Jabodetabek. Di tengah padatnya kegiatan tersebut, beliau juga aktif terlibat dalam organisasi keagamaan Majelis Ulama’ Indonesia wilayah DKI Jakarta dalam bidang fatwa, dan aktif di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ PBNU. Memiliki sejumlah karya yang dapat dilihat di http://penerbitbukudeepublish.com/penulis/fuad-thohari/ dan beberapa judul di bawah ini; 1.Hadis ahkam; kajian hukum pidana islam 2.Kumpulan Fatwa MUI DKI jkt 2000 sd 2018…(5 buku). 3.Manasik Haji dan Umroh 4.Metode Penetapan Fatwa bagi Da’i 5.Artikel jurnal nasional (puluhan judul) 6.Deradikalisasi Pemahaman al Qur”an dan Hadis 7.Khutbah Islam tentang Terorisme 8.talkshow di TV nasional, Radio, dll. Selain itu, beliau pernah melakukan penelitian di berbagai negara, antara lain; Malaysia, Singapore, Thailand, India, China, Mesir, Palestina, Yordania, Iran , Turki, Saudi Arabia, Tunisia, dll. Beliau bisa dihubungi langsung via WA (081387309950)