Peradaban Prancis, setahu saya adalah peradaban yang dialiri ” derasnya spiritualitas eksistensialisme ala Sartre “. Itu tak dipungkiri, rasionslitas masyarakatnya cenderung membenarkan sesuatu bersifat materia yang secara eksistensial lebih benar dari pada prinsip idea.
Sekulernya Prancis, itu melewati panjangnya dialektika ideologis dari zamanya liberte, fraternete, egalite-nya Revolusi 1789 M hingga zaman dimana Jean Paul Sartre (Filsuf Eksistensialisme) mengokohkan ” building of tought ” dalam lanskap negara Republik Prancis. Ketiganya (liberte, fraternete, egalite) menjadi ruh besar kultur kehidupan masyarakat Prancis dulu hingga kini.
Peradaban Prancis lebih dikenal dengan peradaban mode dan parfum. Orang beli tas, aksesoris, pernak-pernik telah menjadikan negeri ini menjadi pusat belanja dunia.
Sentuhan pemikiran Sartre sebagai pemikir disebut yang kontribusinya begitu besar. Percikan pemikiran Sartre sering diasumsi telah mampu menggiring Prancis ke peradaban agnostik (percaya Tuhan tapi tidak menjalankan agama) bagi masyarakat Prancis.
Sartre bilang ” What is meant here by saying that existence precedes essence? It means that first of all, man exists, turns up, appears on the scene, and, only afterwards, defines himself. Not only is man what he conceives himself to be, but he is also only what he wills himself to be after this thrust toward existence. Man is nothing else but what he makes of himself.”
Pernyataan Sartre soal agnotisisme juga mengubah cara pandang Prancis tentang agama dan kebebasan. Bagi Sartre, kebebasan adalah bukan berasal dari siapa tapi untuk apa ? Sartre bilang ” It isn’t freedom from. It’s freedom to “.
Agama bagi masyarakat Prancis ini dianggap sebagai “Culte de La Raison” (Kepercayaan pada sebab musabab). Ini bukan lahir dari tuntunan dan ajaran seorang “nabi”. Bukan pula dari konsep-konsep masyarakat adat yang terbentuk ratusan tahun. Selain punya konsep kepercayaan yang unik, agama ini juga lahir dadakan dari Revolusi Prancis 1789.
Situasi Prancis dengan model lanskap pradaban macam itu tentu paham kita adalah agama bukan lagi sistem nilai, bukan spiritualitas, apalagi macam risalah bahkan ini bisa jadi bukan titik damai. Spiritualitas revolusi 1789 sudah menjadi “it self religion” bagi Prancis bersama peradabannya.
Antoine-Francois Momoro (1756-1794) adalah filsuf yang membangun dasar-dasar utama dari agama ateis ini. Dasar filsafat dari ” Culte de La Raison ” adalah antroposentris. Antroposentris adalah kepercayaan bahwa manusia adalah figur terpenting di dunia. Dari dasar ini, Culte de La Raison bertujuan untuk mencapai kesempurnaan manusia melalui pencapaian kebenaran hakiki dan kemerdekaan freedom).
Itu, bisa kita pahami sebagai yang ada di dalam situasi kehidupan masyarakat Prancis yang selalu berorientasi estetik dan artistik.
Kini, phobia atas agama Islam dan ” pelecehan ” atas simbol Katholik dan umumnya semua agama telah memicu perlawanan sikap kausalitas atas fenomena phobia tersebut.
Perlawanan para penganut agama-agama atas phobia itu adalah juga benturan peradaban, dimna peradabannya dikokohkan dengan Atheisme yang agnostik itu versus agama yang diprinsipi iman (believe).
Menghadapi ini, adalah upaya maksim kita agar dunia bisa tetap damai dengan tindakan menjaga dan merawat toleransi. Friedrich Heiler memaknai toleransi sebagai sikap mengakui adanya pluralitas agama dan menghargai semua agama tersebut. Lebih lanjut Heiler mengatakan bahwa setiap pemeluk agama memiliki hak.
Sikap toleran adalah untuk menciptakan suasana yang harmonis di dalam masyarakat yang majemuk. Juga toleransi dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik meskipun dalam masyarakat terdiri dari beragam agama, ras, suku, dan golongan.
NU, dalam komunukasi antar agama tetap konsiaten dalam merawat sikap dan tindakan tasammuh (menghargai perbedaan keyakinan) yang dialiri ajaran dan adabnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Jika ditanya moderasi sikap beragama dengan perilaku toleran yang bertujuan harmoni kehidupan berbangsa bernegara, maka NU lah jawabannya.
Kredo perdamaian akan selalu dikumandangkan oleh NU dalam upaya terciptanya perdamaian dan ketertiban dunia. Dulu, kini dan hingga nanti. Kasih sayang menjadi suluh abadi bagi perdamaian umat manusia. Namun, yang merusak akan hal itu adalah kekerasan dehumanisasi berdasarkan kedok agama. Klaim paling benar, dan ” tambleg ” jiwa yang terdoktrinasi kekerasan.
Kalimat akhir, menyikapi fenomena Islamphobia di Prancis dan umumnya Eropa harus pula disikapi kedewasaan menyikapi tanpa harus berlebihan, jauh lebih berpengaruh untuk mengikis phobia tersebut dengan narasi-narasi positif tentang Islam, lewat ceramah dan tulisan, kuatkan jalur diplomasi serta berkesinambungan untuk terus lakukan dialog interfaith. Terutama NU harus terus upayakan moderasi di dalam negeri dan dialog interfaith lintas negara. Yang terbaru NU menggelar R20 Forum Agama Sedunia, ini langkah cerdas dan kongkrit menuju kedamaian dunia.
KHM Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten