BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Mari kita menyimak komentar-komentar netizen di jagat mayantara terkait Indonesia jelang HUT ke-80 bulan Agustus tahun 2025 ini. Di jagat itu mereka mengekspressikan pandangan mereka yang jujur dan apa adanya. Ada yang masih wajar tak mengumbar celaan dan cacian, mengedepankan argumentasi dan opini rasional. Ada pula yang sarkas, mengolok-olok hingga ada juga yang menyerukan agar Prabowo Subianto dilengserkan karena dianggap lemah dan patuh kepada Donald Trump dan Amerika terkait perang tarif yang dilancarkan Donald Trump, yang sebenarnya cuma topeng untuk menghalau gerakan dedolarisasi yang diinisiasi Rusia dan Tiongkok dengan BRICS-nya.
Dan di jagat medsos itu, entah di Facebook, TikTok, atau Instagram, lagi banyak yang viral di bulan Agustus 2025 ini. Dari mulai soal aneka pajak, semisal makanan asin akan kena cukai dan PSK akan dikenakan pajak, hingga kelakuan PPATK yang memblokir jutaan rekening, soal kesepakatan tarif Trump yang dinilai banyak netizen sangat merugikan Indonesia sampai bendera one piece yang jadi simbol perlawanan rakyat kepada para elite yang korup dan tidak memiliki patriotisme dan nasionalisme, dan tak ketinggalan Parcok (Partai Coklat atau Polisi) yang diduga ikut jadi aktor judi online, selain kasus kekerasan seksual yang juga tidak sedikit dilakukan anggota korps itu, yang diposting dan dipublish di jagat dunia mayantara, baik oleh media-media besar atau pun oleh para warga dunia mayantara.
Isu-isu yang viral ini kata teman saya di kampus UIN Jakarta, sesungguhnya akan menggerus legitimasi etik dan legitimasi sosiologis Prabowo Subianto. “Ini politik transaksi elit vulgar banget kang,” ujar teman saya itu di WA group, “barbarisme berkedok demokrasi yang juga cuma prosedural belaka,” lanjutnya. Saya sih cuma bisa balas pesannya itu dengan emoji ketawa. Teman saya yang lain menimpali, “Geus tong dipikiran…pan politik teh politikus tak punya etik”. Saya pun tambah ngakak membaca komentar teman saya satunya lagi itu.
Dan soal Menteri Keuangan Sri Mulyani, tak cuma satu dua tiga isu yang heboh dan kontroversial. Belum lama ini pernyataannya memicu kritik dan sudah tentu jadi candaan netizen. Saya baca postingan potongan pernyataan itu di Instragram terkait rendahnya gaji guru dan dosen: “Apakah semuanya harus keuangan negara?” Sontak saja diantara netizen langsung menimpali, ”Bagaimana jika narasinya sedikit direvisi: gaji pejabat berlipat-lipat itu apakah semuanya harus pakai pajak rakyat?”
Komentar sengit netizen itu tentu ada presedennya, semisal sebelumnya ada pemberitaan bahwa Sri Mulyani telah menetapkan biaya mobil dinas pejabat naik menjadi 931 juta untuk anggaran tahun 2026. “Kita hidup di Negara yang tidak menyita uang koruptor, tapi menyita uang rakyat yang nganggur tiga bulan,” ujar netizen lainnya.
Tapi ada satu isu yang sebelumnya lebih heboh ketimbang isu-isu tersebut, yaitu soal penyerahan data pribadi warga Indonesia kepada Amerika sebagai bagian dari kesepakatan tarif antara Amerika dan Indonesia. Banyak konten kreator sampai ribuan komentar netizen yang menganggap dan memandang hal tersebut sebagai kebodohan dan kedunguan pemerintah. Bahkan banyak dari mereka menilai hal itu tak ubahnya Indonesia telah kehilangan kedaulatan.
“Tidak ada negosiasi untuk bangsa yang bermental pengemis,” komentar netizen, “tak ada diplomasi untuk bangsa yang lemah dan tak punya daya-tawar,” ujar lainnya. Komentar netizen lainnya pun tak kalah pedas dan sengit, “Agustusan tahun ini kita kehilangan kedaulatan dan kemerdekaan!”. Namun, pihak pemerintah, seperti yang dilakukan jubirnya, Hasan Nasbi, atau buzzer-nya semisal Bennix, FI, RM dll, malah sibuk berapologi ketimbang memberikan argumentasi rasional. Para menteri pun demikian, contohnya pernyataan-pernyataan Airlangga Hartarto dan Meutya Hafid.
Saya sendiri tergelitik dengan komentar netizen yang menyatakan: Agustusan tahun ini Indonesia kehilangan kedaulatan berhadapan dengan Amerika, dan pemerintahnya tidak memiliki visi yang jelas, tidak punya jiwa dan pikiran yang merdeka, sementara para elit dan pemimpin BUMN mayoritas koruptor miliaran dan triliunan.
Sementara di kalangan aktivis sipil dan para mahasiswa, rezim Prabowo Subianto dinilai mengancam kebebasan sipil dengan revisi dan pengesahan RUU TNI, KUHAP dan yang lainnya, yang menurut mereka akan memberikan peluang dan kesempatan tindakan dan praktik kesewenangan aparat dalam segala ranah dan kehidupan warga sipil. Cibiran para netizens itu semakin bertambah ketika Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan siap untuk melayani kepentingan Amerika mengeruk SDA Indonesia sebagai bagian dari kesepakatan tarif antara Amerika dan Indonesia yang menurut para warga jagat mayantara sangat merugikan Indonesia, dan penyerahan data pribadi warga Negara Indonesia kepada Amerika menurut penghuni jagat mayaantara itu adalah ketololan dan wujud hilangnya kedaulatan Indonesia.
Sejak bulan Juli memang saya terus memantau, riset gratisan, isu-isu sensitif yang dipublikasi media-media besar, media-media kecil, serta akun-akun para pengguna media sosial, sudah tentu tak ketinggalan menyimak opini-opini para konten kreator yang lebih banyak kontra terhadap kebijakan politik luar negeri dan dalam negeri Indonesia di bawah rezim Prabowo Subianto, ketimbang para buzzer yang membela rezim. Belakangan, teman saya pun mengeluh, ketika Prabowo Subianto ikut menyepakati pelucutan senjata terhadap HAMAS yang diorkestrasi Israel dan Amerika.
Isu yang terakhir ini tidak kalah sensitif dengan isu-isu yang juga heboh yang telah disebutkan itu. Bahkan isu itu sangat sensitif di kalangan aktivis pro Palestina yang kebetulan banyak yang pro HAMAS. Kecurigaan teman saya itu sesungguhnya sudah mulai muncul ketika Prabowo Subianto beberapa waktu lalu menyatakan siap untuk menampung ribuan warga Palestina –sebuah upaya pengusiran halus penduduk Gaza oleh Israel dan Amerika. Hanya saja kemudian pemerintah mengklarifikasi pernyataan Prabowo Subianto tersebut setelah ada penolakan dari MUI, Muhammadiyah, NU dan yang lainnya. Sebab menurut banyak tokoh penting negeri ini dan para analis serta aktivis kemanusiaan, memang hal itu merupakan rencana busuk Israel dan Amerika untuk mengusir warga Gaza dari tanah mereka.
Preseden-preseden itulah yang memicu mereka yang menjadi pendukung Palestina dan HAMAS menduga dan menganggap Prabowo Subianto adalah pion-nya Amerika. Dan memang mengerikan juga jika dugaan dan anggapan teman saya itu benar adanya. “Orasi Sugiono (Menlu Indonesia dan Ketum Partai Gerindra) di Aksi Bela Palestina itu cuma sandiwara, kang….” Ujar teman saya itu, “bungkus tanpa isi….begitu pula bantuan beras untuk Palestina, jika secara politik Indonesia justru diinstruksi orkestrasi Israel-Amerika yang akan mematikan perjuangan sejati Palestina merdeka…lagian juga Israel itu merampas dan menjarah tanah bangsa lain, jadi tak perlu dibela dengan argumentasi solusi dua Negara!”
Sekarang saya ingin berlaih ke isu atau peristiwa-peristiwa politik lainnya yang juga tidak kalah memprihatinkan. Di medsos itu, ada berita bahwa 27 ribu penerima bansos adalah pegawai BUMN, 6 ribu manajer dan 7 ribu dokter. Sungguh terlalu memang, sementara banyak rakyat miskin yang lebih membutuhkan kehadiran Negara. Lagi-lagi saya tergelitik dengan komentar netizen, “Pemerintah tidak memberi kita peluang dan kesempatan untuk bekerja dan mendapatkan pekerjaan, giliran kita usaha sendiri malah gencar dipajakin”. Yang lain berkomentar, “Yang menikmati pajak adalah elit berdasi dan korupsi, sementara pembayar pajak adalah rakyat miskin yang banyak dari mereka mendapat rezeki dari hasil usaha sendiri….negara ternyata perampok rakyat berwajah birokrasi dan pemerintah.”
Saya sendiri tidak tahu apakah para elite sempat membaca komentar-komentar dan ekspressi banyak rakyat di media sosial atau di jagat dunia mayantara, hingga ada konten kreator yang menyatakan bahwa Prabowo Subianto tidak memahami realitas asli di lapangan, karena hanya mendapat laporan-laporan dari orang-orang di sekitarnya: yang penting ABS (Asal Bapak Senang). Meski saya pun tidak tahu apakah memang demikian. Tapi jika memang benar demikian, sungguh teramat sangat membahayakan kita semua.
Jelang 17 Agustus 2025 ini, ada komentar netizen juga yang saya kira betul adanya: “Pejabat dan elite menyelenggarakan peringatan dan perayaan hari kemerdekaan Indonesia menggunakan anggaran Negara dari pajak rakyat, sedangkan rakyat menyelenggarakannya dengan iuran”. Para elit Indonesia saat ini memang bukan para bapak bangsa di masa lalu. Bukan Agus Salim yang tinggal di kontrakan di negeri yang deperjuangkannya untuk merdeka. Bukan Syafrudin Prawiranegara yang istrinya jualan sukun goreng dan bukan Mohammad Hatta yang harus mengurungkan keinginannya untuk membeli sepatu yang didambakannya, karena tak mau menggunakan uang Negara.
Sulaiman Djaya, Penyair
























