Bangkalan, LIPUTAN 9 NEWS
Ketika menulis catatan ini, saya baru saja selesai menonton 2 video : yang pertama Video Podcast Kiai Imad bersama Bang Haji Rhoma Irama (sekarang di Youtube sudah mencapai 752 ribu Viewers), yang kedua video statement pakar nasab Internasional asal Iran – yang (dulu) kaidah nasabnya dipakai oleh Kiai Imad untuk membatalkan nasab Ba’alawi – yaitu Sayyid Mahdi Arraja’i
Saya agak tersindir ketika Kiai Imad berkata bahwa yang tetap membela Ba’alawi itu adalah orang-orang yang “terikat jasa”, bisa jadi karena ia pernah mondok di Yaman, atau mungkin karena punya menantu dari golongan Ba’alawi.
Dalam podcast ini, Secara keseluruhan Kiai Imad terlihat tampil apik dan cukup meyakinkan, beliau juga kelihatan menguasai materi yang beliau sampaikan, Bang Haji Rhoma sampai bertepuk tangan dibuatnya. tapi setelah menonton sampai selesai, saya tetap memiliki kesimpulan sama seperti catatan yang pernah saya tulis pada awal munculnya konflik nasab ini. Mengapa begitu ? karena sampai saat ini kesimpulan-kesimpulan Kiai Imad masih gitu-gitu aja, hanya dan masih bersifat tuduhan “Wahm” (asumsi) tidak sampai pada taraf “Dzon” apalagi “Yaqin” sehingga kemudian layak dikatakan sebagai tesis ilmiah (yang tak terbantahkan ?).
Yang agak terkesan naif adalah ketika beliau sangat yakin sekali (atau mungkin berusaha meyakinkan diri) dengan mengatakan bahwa Al-Faqih Al-Muqoddam adalah tokoh fiktif dan Imam Ahmad Bin Isa tidak pernah berhijrah ke Hadhramaut. Pepatah arab mengatakan :
صاحب الدار أدرى بما فيها
“pemilik rumah lebih tau isi rumahnya dari siapapun“
tentunya saya yang pernah 6 tahun lebih berada di Hadhramaut merasa “gimana gitu” ketika seorang Kiai Imad ( yang belum pernah sampai ke Yaman sama sekali ) menyimpulkan dengan entengnya bahwa seorang sosok yang diyakini ribuan tahun lamanya oleh para penduduk dan ulama Yaman adalah tokoh khayalan belaka. Kiai Imad mungkin tidak tau, bahwa “Faqih Muqoddam” dan “Ahmad Al-Muhajir” bukan hanya tentang sebuah makam saja, tapi juga tentang peninggalan-peninggalan bersejarah ( seperti desa & rumah Al-Muhajir yang masih ada di Hajrain sampai detik ini), sosok-sosok yang berkaitan dengan mereka berdua baik para guru dan murid mereka, bahkan sebuah manhaj lengkap dan berkesinambungan yang menjadi pegangan Para Sadah Ba’alawy sampai saat ini. Kiai Imad tak ubahnya “orang luar” yang merasa lebih faham tentang sebuah kota dan isinya daripada penduduk aslinya sendiri.
Sedangkan video Sayyid Mahdi Raja’i, meskipun hanya 20 menit tapi berisi jawaban yang sangat jelas dan lugas, menegaskan kembali bagaimana cara para Nassabah sejak dulu dalam mengitsbat dan menganulir sebuah nasab. Berikut beberapa kesimpulan pernyataan Sayyid Mahdi Arraja’i yang saya tangkap :
- Syuhroh atau kemasyhuran suatu keluarga sebagai bagian dari Dzurriah Nabi sudah cukup untuk menjadi bukti ke-Sayyid-an mereka. apalagi jika kemasyhuran itu berlangsung selama ratusan tahun lamanya seperti para Habaib Ba’alawy
- Tidak disebutnya Ubaidillah dalam kitab-kitab nasab sangat bisa dimaklumi karena keterbatasan informasi dan media pada waktu itu
- Para Nassabah (pakar nasab) waktu itu kekurangan akses karena para ahli bait tinggal saling berjauhan dan sudah banyak yang berpencar ke seluruh penjuru dunia
- Kita tidak bisa menafikan suatu nasab hanya karena ia tidak disebutkan dalam kitab-kitab Nasab
- Metode Kiai Imad dalam menafikan nasab Ba’alawy adalah metode “baru” yang tidak pernah digunakan oleh Nassabah manapun di dunia
- Mereka yang mengisbat nasab ba’alawi bukan ulama sembarangan, mereka para ulama besar yang sangat berhati-hati dalam urusan agama. Ketika mereka mengisbat nasab pada abad ke 9, itu artinya keluarga ini memang sudah terkenal sebagai Sadah (para Sayyid) mulai abad 3, 4, 5 dan seterusnya
- Kitab kitab nasab adalah kitab yang sangat ringkas dan terbatas jangkauannya
- Kesimpulan Kiai Imad adalah penilaian yang sangat tergesa-gesa dan tidak ilmiah (tidak sesuai dengan metodologi para ulama nasab)
- Kesimpulan akhir : gugatan pembatal nasab Ba’alawy tidaklah benar dan tidak ada ragu dalam ke-Sayyid-an para Habaib Ba’alawy memandang Syuhroh wal istifadhoh mereka (reputasi dan kemasyhuran mereka sebagai Dzurriah Nabi selama ratusan tahun tanpa ada yang membantah dan mengingkari)
Jadi jika kita tarik benang merahnya, tidak disebutkannya suatu Nasab dalam sebuah kitab memiliki 2 kesimpulan yang berbeda dari 2 kubu ini :
- Kesimpulan Sayyid Mahdi Arraja’i dan para Nassabah ( para pakar nasab) : itu tidak menunjukkan bahwa nasab yang tidak disebut adalah nasab yang ternafikan
- kesimpulan Kiai Imad : itu jelas secara pasti (Qath’i) menafikan nasab yang tidak disebutkan
Sebagai catatan, sebagaimana yang juga disampaikan oleh Sayyid Mahdi Raja’i, metode yang digunakan oleh Kiai Imad dalam menafikan nasab Ba’alawi bukanlah metode para ulama nasab manapun dalam mengitsbat dan menafikan nasab. jadi tanda tanya besarnya :
“darimana dan dari siapa Kiai Imad mengambil metodologi itu ?? Apakah dari “ruang hampa”? “
Wallahu a’lam, meminjam kata-kata Kiai Imad sendiri :
“silahkan tanyakan kepada rumput yang bergoyang”
Setelah tadi malam Sayyid Mahdi merilis pernyataannya, Kiai Imad dan para muhibbinnya tetap berusaha bertahan, Kiai Imad bahkan sudah membuat tulisan bantahan beberapa jam setelah video Sayyid Mahdi rilis ( tentunya Kiai Imad paham bahwa Sayyid Mahdi ini bukan orang sembarangan dalam dunia ilmu nasab, demi itu beliau merasa harus buru-buru membuat tulisan sanggahan) pada tulisan terbarunya Kiai Imad menyebut bahwa statment Sayyid Mahdi itu memiliki dalil yang “lucu”. Uniknya, salah satu “bumbu” yang Kiai Imad dan pendukungnya gunakan adalah status Sayyid Mahdi sebagai ulama dari kalangan Syiah. mereka mungkin tidak sadar atau lupa bahwa Kiai Imad pernah menjadikan Sayyid Mahdi sebagai salah satu referensi utama dalam “tesis ilmiah”-nya itu (apakah ketika itu masih belum Syiah ?)
Ke-Syiah-an Sayyid Mahdi ini justru merupakan point penguat bahwa beliau benar-benar netral, objektif dan murni berbicara sebagai pakar nasab dalam masalah ini, bukan sebagai orang yang punya ikatan dan kepentingan apapun dengan Para Habaib Ba’alawy yang berideologi sunni, beliau juga tidak sedang cari aman atau sedang membalas budi karena mondok di Yaman atau punya Menantu Habaib ( seperti dawuh beliau Kiai Imad)
Pada akhirnya, seperti apapun dan siapapun yang menjawab pendapat Kiai Imad secara ilmiah, kita sudah bisa membaca kemana “Algoritma” Kiai Imad. bukankah beliau sendiri yang berkata :
“andaikan seluruh ulama di dunia ini mengitsbat Ba’alawy, saya Imaduddin Utsman tetap satu-satunya yang mengatakan bahwa Nasab Ba’alawy terputus.“
Para pendukung Kiai Imad mungkin tidak menyadari, bahwa ucapan itu adalah Sebuah pengakuan tidak langsung dari beliau, bahwa pendapat dan metode yang beliau gunakan dalam menafikan nasab Ba’alawy memang-lah “Qoul Syadz” yang sama sekali tidak pernah digunakan oleh pakar nasab manapun yang pernah ada di muka bumi ini..
Sekali lagi dan untuk kesekian kalinya, kita memang tidak harus berfikiran sama, tapi mari kita sama-sama berfikir..
Ismael Amin Kholil, adalah Dai dan Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Assalafi Al Kholili Kepang, Kemayoran, Kecamatan Kota Bangkalan.