Saya lahir diujung timur pulau Madura. Keluarga saya banyak kenal dan bergaul dengan para habaib. Dulu waktu kecil saya mengenalnya Yik untuk laki-laki dan nyi Ifah untuk perempuannya.
Yang paling saya ingat ada syarifah yang bernama Fatimah (Syarifah Fatimah) yang sangat sering bertandang kerumah. Saya diajarin orang tua memanggilnya FamMa dan baru ngeh sekarang kalau itu singkatan dari Syarifah Fatimah.
Karena begitu dekatnya keluarga saya dengan keluarga habib ini, setiap moment pasti saya dapat kiriman nasi kebuli (dulu belum tahu kalau namanya nasi kebuli). Sebaliknya jika dari kebun samping rumah panen pisang, mangga, atau nangka, pasti orang tua saya menyisihkan yang terbaik untuk dibawa ke rumah habib atau syarifah tadi.
Kalau moment lebaran, sebelum orang tua menyiapkan bahan masakan, biasanya belanja daging, paru, atau ati yang terbaik untuk dihadiahkan kekeluarga habib tadi. Begitu takdzimnya keluarga saya pada dzurriyah ahlil bait ini. Dan keluarga dzurriyah ahlil bait inipun terlihat sangat sayang pada keluarga saya. Tidak jarang setiap datang dari muhibbah luar Madura selalu membawa oleh-oleh seperti kain, souvener dan lain-lain.
Habib dan syarifah yang saya kenal dikampung ini begitu smart. Fasih dalam memaparkan norma agama. Tapi tawadhu’ dalam bergaul. Tidak silau dengan status habib yang disandangnya. Tidak mau diposisikah lebih dari kebanyakan orang. Sebutan habib dan syarifah sudah familier saat itu. Tapi keluarga ini minta dipanggil yik dan fam(ma) saja. Subhanallah, tabarokallah. Inilah fase pertama saya kenal farm habaib.
Fase kedua diawali saat saya mulai keluar pulau Madura untuk menimba ilmu di Jawa Barat. Kebetulan tidak sedikit teman akrab saya dari Jakarta atau Betawi. Bahkan satu keluarga sangat dekat. Sudah seperti saudara sendiri. Kebetulan teman dekat ini juga dari keluarga kyai dan tokoh di Betawi yang sangat mencintai habaib. Pernah beberapakali saya diajak sowan ke Kwitang. Darisini saya tahu kalau masyarakat betawi dan sekitar begitu takdzim kepada habaib.
Tapi dari sikap ini justru muncul anomali. Saya mendapatkan keluhan dari beberapa masyarakat. Tidak hanya keluhan tapi menyaksikan langsung disalah satu keluarga sikap seorang “oknum” habib yang menunjukkan perilaku kurang elok. Mulai dari jual berokah lewat jampe, jual barang dengan iming-iming berokah dan syafaat yang tentu harganya melambung tinggi setinggi negeri diawan. Bahkan saya pernah menyaksikan sebuah keluarga yang baru membeli TV (TV ini barang yang wah buat keluarga tersebut saat itu). Baru saja dibuka, ditonton bersama keluarga dengan senyum bahagia, tiba-tiba ada seorang datang dan berkata :” wah.. ini barang bagus banget, ane seneng, ane mau nih, angkat sekarang juga ke mobil ane!”.
Tentu anggota keluarga yang baru menikmati kebahagiaan punya TV harus rela memberikan barang baru dibelinya tersebut tanpa kekuatan untuk menolak. Usut punya usut ternyata orang tersebut adalah “oknom” habib yang sudah sering seperti itu, dan bukan hanya pada keluarga itu. Dan oknum-oknum seperti ini tidak hanya seorang diri.
Miris saya melihatnya. Kalau hanya mendengar cerita dari mulut-kemulut mungkin masih mending. Tapi kejadian ini saya tahu langsung dan saya menangkap langsung kekecewaan wajah-wajah keluarga yang tidak bisa berbuat apa-apa. Kata kuncinya satu : takut tidak diaku umat Rosulullah. Karena ancaman seperti ini dan kalimat magis sejenis sering dilontarkan oknum habib ini.
Menyaksikan hal seperti ini muncul gemuruh dalam jiwa. Benarkah Rosul tidak akan mengaku umatnya kalau kita tidak mau menuruti keinginan sang habib tadi? Apakah begitu maksumnya sang habib tadi sehingga perilaku yang menyalahi norma kemanusiaan masih ditolirir bahkan menjadi penentu syafaat? Kalau urusan jadabz, syathohah, khelaf bagi saya bukan sesuatu yang aneh. Sudah sering menjumpainya dan perilaku ini tidak masuk kategori itu. Bener-bener pertarungan akal dan nurani yang sulit dijawab.
Fase ketiga dalam mengenal dunia habaib terjadi saat saya di Komisi Fatwa MUI Kota Bogor. Setidaknya ada tiga moment. Pertama, ada oknom habib yang menolak pemikiran rasional. Dan ujungnya menganggap rasionalitas norma agama adalah bagian dari liberalitas agama. Dan Gus Dur dianggap tokoh yang paling bertanggung jawab. Dari sang habib ini keluar lebel yang tidak semestinya (tidak tega saya menyebut lebel itu) bagi Gus Dur yang menurut kita masuk tokoh waskita. Tidakkan sang habib ini pernah dengar dari habib sepuh (yang dihormati para habaib sendiri) tentang kewalian Gus Dur sehingga tidak terlontar lebel yang tidak semestinya?
Kemudian ada yang datang minta arahan ke komisi fatwa terkait doa seorang habib yang isinya melaknat, mencaci-maki. Saya tentu harus berhati-hati menjawab pertanyaan ini. Habib gitu lho ya berdoa. Saya hanya menjelaskan asbabul wurut qunut nazilah. Bahwa saat jeda ofensif, terjadi perjanjian Hudaibiyah, dakwah Rosulullah beralih ke pendelegasian para da’i. Tapi ada beberapa da’i termasuk dalam peristiwa Roji’ dan Bi’ru Maunah yang malah dipancung. Rosulpun melaksanakan qunut nazilah yang berisi doa melaknat kaum kuffar yang sudah diluar batas. Tapi Allah kemudian menegur isi doa Rosulullah. Kalau Rosul saja tidak boleh melaknat dalam doanya apalagi yang lain. Kalaupun peristiwa itu ‘li tasyri’ tentu kita yang harus melaksanakan bukan melanggarnya.
Peristiwa berikut saat datang seorang syarifah (janda) minta arahan (fatwa) karena mau nikah dengan bukan habib. Tentu saya kaget, bagaimana mungkin seorang syarifah yang mau meninggalkan trah syarifahnya dan nikah dengan orang biasa. Syarifah ini akhirnya banyak cerita. Mantan suaminya yang habib justru tidak bisa baca al-qur’an, sholatnya wallahu a’lam. Tidak pernah memberi nafkah. Kerjaan susminya hanya jual-jual syafaat dan karomah leluhur. Anaknya yang sekolah disalah satu SMA negeri kota Bogor terjerat narkoba. Dan, jujur mendengar cerita syarifah ini saya hampir tidak percaya. Tapi syarifah ini cerita dengan deras disertai beberapa fakta.
Waallahu a’lam itulah kehidupan fana ini. Kadang penuh misteri.
Tentu pengalaman berinteraksi dengan tiga fase (fase adalah istilah saya sendiri) habaib ini menimbulkan gejolak tersendiri. Antara mempertanyakan hak preveleg habaib dalam agama dengan menjaga adab karena takut kwalat.
Ini bagi saya bukan pertarungan antara yang hak dengan yang batil. Bukan pula anatara amar ma’ruf nahi mungkar. Tapi lebih tepatnya (gejolak batin ini) pertarungan antara mana yang benar-benar hak dan mana yang benar-benar batil. Mana yang sebenarnya ma’ruf mana juga yang sebenarnya batil.
Poro guru dan keluarga begitu mengedepankan takdzim. Bahkan tidak sedikit dari poro guru yang dawuh; sekalipun habaib salah tetep ia mutiara. Jangan lihat salahnya tapi lihat dzatnya.
Pada sisi lain al-Qur’an tidak bicara nasab. Tetap saja ketaqwaan adalah barometer utama. Rosulpun mempertegas itu. Bahkan dalam khutbah pamungkasnya saat haji wada’ Rosul secara gamblang mengungkap kesucian nilai kemanusiaan tidak peduli apakah ia Arab atau bukan Arab. Takwa adalah ukurannya.
Dan sedikit terobati saat membaca sebuah karya tentang habaib dan disitu dikutip pendapat Imam Turmudzi bahwa di dunia ini selalu ada pengecualian. Ada sunnatullah tapi ada pengecualian yang khoriqul ‘adah seperti mukjizat, karomah, ma’unah.
Semua proses regenerasi dilalui lewat pernikahan laki-laki dan perempuan tapi ada pengecualian yaitu Nabi Isa, Nabi Adam, dan Siti Hawa.
Imam Turmudzipun menjelaskan; bangsa yang paling mulia di dunia ini adalah bangsa Arab tapi ada pengecualian karena tanduk setan lahir di negara Arab. Suku bangsa paling mulia dari bangsa Arab adalah suku Qurays tapi ada pengecualian seperti bani tidak Rosul doakan keberkahannya layaknya Syam dan Yaman. Dari suku Bangsa Qurays ada kabilah yang paling mulia yaitu bani Hasyim tapi ada pengecualian bani yang melahirkan musuh utama Rosul. Dari bani Hasim ada sub suku yang paling mulia yaitu bani Muthollib trah Rosulullah tapi ada pengecualian yaitu Abu Lahab yang juga bertrah bani Mutholib.
Dalam hadits Rosul memberi sinyal keutamaan anak cucunya, sehingga Imam Mahdi akan lahir dari keturunan beliau (Sunan Abu Dawud 4284) tapi harus diingat pengecualiannya. Fitnah Sarro’ juga akan lahir dari garis keturunan beliau yang pada akhirnya tidak akan diaku sebagai bagian beliau; demikian sabda baginda Rosul (Musnad Imam Ahmad 6168).
Saya tertegun dengan komentar salah seorang habib yang tawadhu’, alim nan cerdas, santun dalam bertutur yang menegaskan :” ada sekelompok orang yang nanti menghadap al-faqih muqoddam dan mengaku dzurriyahnya, tapi kata al-Faqih; bukan, kalian bukan sari pati air maniku, tapi dari air kencingku. Masya Allah.
Juga pendapat seorang habaib yang tidak mempertontonkan nasabnya walaupun beliau alim allamah, menguasai fan al-qur’an, tawadhu’, waro’ dan menyejukkan, yang berkata :” seorang yang mengaku keturunan Rosul tapi akhlaknya tidak meneladani Rosul, sesungguhnya ia bukan keturunan Rosul. Sama seperti anak kandung Nabi Nuh ketika akhlak dan perilakunya tidak sama seperti Nabi Nuh maka oleh Allah divonis bukan keturunannya. Na’udzubillah.
Wallahu a’lam bi showab. Semoga kita dan keluarga kita, anak cucu kita semua, dibangkitkan dalam barisan Rosulullah SAW. Amien ya Rob.
KH. Khotimi Bahri, Syuriah PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor dan mengabdi sebagai Dosen Ushul Fiqh STEI Napala, serta Waktum Barisan Ksatria Nusantara