Dalam merespon perkembangan politik, NU memberikan petunjuk kepada warganya agar tetap menggunakan hak politik secara benar dan bertanggung jawab. Karena itu, pada muktamar NU di pesantren al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta pada tahun 1989, NU merumuskan pedoman berpolitik bagi warganya dengan menegakkan al-Akhlak al-Karimah (akhlak yang mulia), baik berupa etika sosial, maupun norma politik.
Dengan pedoman ini, keterlibatan warga NU dengan partai politik bersifat individual, tidak atas nama organisasi. Hal ini ditetapkan karena NU telah kembali menjadi organisasi sosial keagamaan yang mengurusi masalah pendidikan, kemasyarakatan, sosial, dan dakwah. NU mengarahkan kepada warganya agar melakukan aktivitas politik secara benar dan bertanggung jawab. Perilaku politik warga NU dan perilaku lainnya harus berprinsip pada keluhuran akhlak.
Pedoman berpolitik warga NU dirumuskan dalam sembilan pedoman, yaitu: Pertama berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Kedua, politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur, lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah dari kehidupan dunia menuju kehidupan di akhirat.
Ketiga, politik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis. Mendidik kedewasaan untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. Keempat, berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berprikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, dan bekerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima, politik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, dan adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati. Serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. Keenam, berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus Nasional yang dilaksanakan sesuai dengan Akhlakul Karimah sebagai pengamalan ajaran Agama Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Ketujuh, berpolitik bagi NU dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan. Kedelapan, perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU, harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’, dan saling menghargai satu sama lain. Sehingga dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.
Kesembilan, berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan, timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan, perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk bersyerikat, menyerukan aspirasi, serta berpartisipasi dalam pembangunan. (Zamakhsyari Abdul Majid, 2018:16-19).
Dari sembilan pedoman tersebut, dapat dipahami bahwa sikap politik warga NU lebih mulia dan lebih agung dari politik praktis yang berorientasi pada kekuasaan. Kekuasaan memiliki jangka waktu tertentu atau periodisasi, sedangkan politik kebangsaan yang dikembangkan oleh NU adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat secara menyeluruh.
Yang penting bagi NU adalah bisa melestarikan kedaulatan NKRI dari kelompok yang merongrong dan merusak negeri dengan ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU tetap berupaya menjaga eksistensi dan menjaga marwah negeri ini dengan tidak memandang siapapun yang sedang menjadi pemimpin negara.
Selamat Memperingati Harlah Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU).
Dr. KH. Zakky Mubarok, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).