BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Kepahlawanan adalah keteladanan –yang standar moral dan etiknya universal bagi ummat manusia. Anda pun, siapa pun, bisa dianggap pahlawan jika memang bisa menerjemahkan dan membuktikan diri Anda sebagai wujud kebanggaan dan keteladanan yang dirasa memberikan sumbangsih atau kontribusi, entah dalam bentuk kemajuan kemanusiaan atau pun kesadaran spiritual. Orang yang menghidupkan hidup dan memanusiakan manusia. Namun acapkali, nilai dan makna kepahlawanan dan keteladanan jarang disematkan hanya kepada kehebatan belaka. Fira’un Ramses II dikenal sebagai ‘bapak pembangunan’ Mesir kuno yang paling monumental, tapi bagi kaum monotheis, ia bukan pahlawan karena menindas dan memperbudak rakyat kecil yang kebetulan tidak mengikuti agama dan ideologi anutannya.
Rakyat dan Negara Jerman tidak menganugerahi Adolf Hitler sebagai pahlawan nasional, meski ia sempat menjadi arsitek kebangkitan Jerman dan bahkan menjadikan Jerman sebagai adidaya Eropa di masanya, karena salah-satunya dinilai mencederai nilai-nilai kemanusiaan dengan melakukan ‘pembantaian’. Yang dibangun patung dan monumennya oleh Jerman malah Johann Wolfgang von Goethe, seniman, pujangga, dan pemikir yang dalam kadar perspektif ‘ideologi pembangunan ala kapitalisme’, justru tak memberikan sumbangan kasat-mata. Namun kecerdasan, kejeniusan dan warisan karya-karyanya ‘membuat’ banyak orang menganggap orang Jerman adalah manusia arif dan jenius. Itulah yang membuat orang Jerman bangga.
Munir Said Thalib bukan ekonom, bukan teknokrat, bukan menteri, gubernur apalagi presiden, namun banyak aktivis, buruh, kaum miskin kota, menganggapnya sebagai pribadi yang memiliki nilai dan spirit keteladanan, spirit dan nilai kepahlawanan. Berani mempertaruhkan nyawa demi membela mereka yang ditindas, mereka yang disudutkan kebijakan rezim militer dan tirani kekuasaan otoriter, mereka yang dianggap lemah dan kemudian dilemahkan tirani dan penguasa melalui aparatus kekerasan. Munir dan Bunda Theresa adalah contoh-contoh keteladanan mereka yang membela manusia dari arogansi dan kesewenang-wenangan kekuasaan tiran otoriter serta kerakusan-keserakahan elit. Muhammad Rasulullah adalah musuh besar elit rente Quraisy, tapi pahlawan dan pembela mereka yang dirugikan praktik rente mereka.
Kalangan elit dan para politisi Indonesia (yang sebagian tergabung dalam apa yang disebut partai politik) yang menyetujui, membela, dan mengusulkan penganugerahan gelar pahlawan nasional Indonesia kepada mantan tokoh yang secara moral tidak memenuhi syarat untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional, lebih ‘karena cari kedudukan dan jabatan’ di hadapan tiran, bukan tidak tahu nilai dan makna keteladanan dan kepahlawanan yang asli, mereka lebih memilih ‘pura-pura’ tidak tahu demi kekayaan yang bisa diraih dari menduduki jabatan (di birokrasi dan pemerintahan) yang diberikan sang tiran jika mereka setuju saja dengan keinginan sepihak sang tiran atau sang penguasa.
Secara moral dan etika, Soeharto lebih pas disebut tiran ketimbang pahlawan. Mengingkari keterlibatannya sebagai pimpinan, pemberi instruksi, dan pemberi perintah, dalam pembantaian massal rakyat Indonesia pada 1965, hanya akan menjadi olok-olok dan tertawaan mereka yang tahu (seperti para sejarawan dan para penulis sejarah) dan generasi yang sudah tercerdaskan, sadar sejarah, tercerahkan. Soeharto selama berkuasa, tidak menghargai nyawa warga Negara Indonesia, dan selalu dengan sangat mudah mengorbankan mereka jika mereka mengkritik, melawan, atau menegur dirinya dan mengkritik kebijakannya, dengan menghilangkan nyawa mereka, semisal dengan penghilangan paksa atau pembunuhan, yang jika diberitakan secara resmi oleh rezim, selalu dengan bungkus eufemisme: ditertibkan atau diamankan.
Sebagai contoh, berdasarkan penelitian dan laporan KOMNAS HAM, rezim militer orde baru Soeharto telah menghilangkan 32.774 orang sepanjang 1965-1966. Praktik penghilangan paksa warga Negara Indonesia oleh rezim militer Soeharto itu kemudian berlanjut sepanjang Orde Baru berkuasa: dari mulai kasus penghilangan paksa semasa Daerah Operasi Militer di Aceh, Peristiwa Tanjung Priok 1984 hingga Peristiwa Talangsari 1989. (Lihat: Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia, ELSAM 2021, h. 2). Represi dan penindasan menjadi mode dan metode politik orde baru Soeharto yang dibantu militer, terutama angkatan darat (TNI AD) sejak ia berkuasa setelah meng-kudeta Bung Karno, dengan bantuan Amerika.
Kita juga tidak bisa menyebut Soeharto sebagai pahlawan pembangunan nasional, karena warisan orde baru-nya adalah sistem dan mental politik yang memiskinkan secara struktural. Selama ia berkuasa, pembangunan hanya milik dan untuk semakin memperkaya segelintir elit dan para kroninya, sembari menciptakan kesenjangan sosial ala kapitalisme brutal. Praktik paling telanjang dari apa yang kini disebut sebagai neoliberalisme. Belum lagi wabah dan praktik korupsi yang sengaja dibiarkan karena dilakukan anak-anaknya. Apalagi kalau kita bicara tentang pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel, tambah jauh pula. Yang ada adalah murni kolusi, mark up, pembohongan publik dan yang sejenis itu semua.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan























