JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut manfaat bayar pajak sama halnya dengan zakat dan wakaf. Menurutnya, setiap rezeki dan harta yang dimiliki ada hak orang lain yang bisa disalurkan lewat tiga jalan tersebut.
“Dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain. Caranya hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, wakaf, ada yang melalui pajak, dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan,” ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, Rabu (13/08/2025), sebagaimana dilansir detikFinance.
Hal itu mendapat tanggapan serius MUI melalui Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Abdul Muiz Ali. Ulama asal Bangkalan Madura itu menyatakan bahwa pajak tidak bisa disamakan dengan zakat atau wakaf. Ia menyebut pajak berlaku secara umum, baik Muslim atau non Muslim.
“Sedangkan zakat adalah kewajiban bagi umat Islam dengan ketentuan sudah sampai kena wajib zakat dan harus didistribusikan kepada kelompok tertentu,” kata ulama yang akrab disapa Kiai AMA kepada Liputan9news, Sabtu (16/08/2025) melalui pesan WhatsApp.
Kiai AMA menerangkan perintah zakat telah termaktub dalam sejumlah ayat Alquran. Salah satunya dalam QS At Taubah ayat 60 yang menjelaskan terkait distribusi zakat ke dalam delapan kelompok.
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS At Taubah ayat 60)
Kiai AMA selanjutnya, menjelaskan dengan mengungkapkan sebuah kaidah fikih yang juga membahas mengenai pajak yang membolehkan penguasa membuat kebijakan apa pun asal mengandung maslahat, yaitu ‘tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah.
Selain itu, Kata Kiai AMA, ada perintah dalam Alquran yang mewajibkan umat Islam menaati perintah Allah SWT, Rasul dan penguasa, sebagaimana dalam dalan Al-Qur’an Allah berifirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kamu..” (QS An-Nisa ayat 59)
“Penarikan pajak di Indonesia diatur dalam undang-undang. Meski sifatnya memaksa, aturan kewajiban bayar pajak oleh rakyat kepada pemerintah bertujuan untuk keperluan negara yang kembali pada kemaslahatan rakyatnya,” terang Alumni Pondok Pesantren Sidogiri itu.
Kemudian, Kiai AMA mengungkapkan amanat Ijtima Ulama MUI yang diputuskan dalam keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015, antara lain, hendaknya pemerintah menerapkan pungutan pajak yang adil dan seringan mungkin terhadap masyarakat yang berpendapatan rendah.
“Dengan tidak membebani tarif pajak yang bertumpuk dan pembebasan tarif pajak bagi yang usahanya belum menghasilkan keuntungan. Selain itu, mengurangkan zakat atas pajak terhutang bukan nilai pendapatan kena pajak,” ungkapnya.
Disisi lain, lanjutnya, mendorong pemerintah untuk mencari sumber-sumber pendapatan negara yang lain selain pajak agar rakyat tidak terbebani dengan pajak yang tinggi.
























