LIPUTAN9.ID – Persoalan ekstremisme bukan masalah sederhana, tapi berkenaan dengan banyak faktor. Begitu pula kesalahpahaman teologis menjadi faktor lain bagi lahir dan suburnya ekstrimisme.
Dalam perbincangan dengan Giovanna Borradori, paska peristiwa 11 September 2001, filsuf Jacques Derrida menyatakan bahwa asal-usul toleransi sesungguhnya bersifat keagamaan (religius) yang kemudian diappropriasi politik-sekuler Barat. Pada konteks inilah ikhtiar sang filsuf itu diniatkan untuk melampaui semangat keagamaan tersebut sekaligus melampaui penalaran dan argumentasi Kantian tentang toleransi. Membersihkannya dari bubuhan teologiko-politik yang menyebabkan toleransi menyimpang dari semangat yang dimaksudkannya.Yang pertama menjadikan toleransi sebagai laku dan sikap paternalistis. Sementara yang kedua membubuhinya dengan segugus persyaratan. Dengan ini Derrida mengajukan toleransi tanpa-syarat atau kesanggrahan (hostipitality) sebagai penggantinya. Kesanggrahan yang dimaksud Jacques Derrida ini selaras dengan pengertian moderasi beragama yang merupakan praktik tepo seliro dan welas asih kepada sesama yang merupakan inti ajaran Islam itu sendiri dan akhlak Rasulullah Saw yang mengenalkan Islam dengan cinta dan hikmah.
Dengan kesanggrahan atau hak visitasi inilah kita mendapatkan suatu perspektif kritis atas batas-batas hak kosmopolitan dan toleransi. Sejauh menyangkut sumbangan pemikiran Kant, Derrida melihat Kant masih memahami toleransi sebagai kesanggrahan bersyarat. Menyangkut gugus pertama atau toleransi dalam semangat teologiko-politik, Derrida menganjurkan untuk melakukan ikhtiar pembongkaran pada matriks kristiani yang menyebabkan toleransi menjadi sebuah konsep politik dan etik yang justru malah tidak netral dari semangat yang menjadi klaim toleransi itu sendiri.
Muasal dan fokus keagamaannya malah menjadikan kata dan pengertian toleransi lebih diterima sebagai sisa dari sikap paternalistis. Di mana orang lain tidak diterima secara setara dan sepadan melainkan sebagai bawahan. Kant dalam pandangan Derrida belum bisa keluar dari bubuhan teologiko-politik tersebut ketika memahami toleransi. Kant memahami toleransi sebagai janji emansipatoris jaman modern yang memiliki muatan retriksi ganda. Pertama, toleransi sebagai sifat netral keagamaan. Akan tetapi di sisi lain di dalamnya terkandung komponen kristiani yang amat kuat. Inilah retriksi yang kedua sejauh menyangkut toleransi yang dimengerti Kant.
Karena itulah tak jarang sejarah konsep toleransi selalu memihak dan diappropriasi sebagai dalih, alasan, dan argumentasi pihak dan kekuasaan yang lebih kuat. Toleransi dalam sejarahnya terkontaminasi oleh nada bubuhan politik dan kekuasaan yang dalam istilah Derrida disebut sebagai semangat teologiko-politik: aku ijinkan engkau semua berada di rumahku (wilayahku), tetapi engkau harus ingat bahwa ini rumahku (kekuasaanku). Karena itulah toleransi tidak lagi memadai sebagai sebuah sikap dan pandangan terhadap orang asing atau di hadapan alteritas (keberlainan). Ia mesti diganti dengan sikap keramahtamahan.
Semangat kesanggrahan sendiri menurut Derrida adalah sungkawa (mourning). Keprihatinan terhadap penderitaan orang lain. Yang lainnya adalah suatu penerimaan terhadap orang asing dan yang datang tak terduga.
Pada tingkatan messianistik kesanggrahan adalah sebentuk penantian, penungguan melampaui waktu. Kesanggrahan adalah tentang perjumpaan dan senyuman kepada sesama. Penantian dan harapan itu sendiri untuk menerima orang asing. Sebentuk penyampaian undangan yang didasarkan pada ketulusan. Dan kesanggrahan yang paling religius adalah penerimaan terhadap orang yang tidak pernah kita undang. Atau yang datang tiba-tiba.
Perspektif filsafat keagamaan yang dinyatakan Derrida itu mengingatkan kita kepada filsafatnya Martin Buber dan teosofinya Rumi.
Kita dilahirkan sebagai pribadi-pribadi yang berlainan satu dengan lainnya di dunia ini. Kita menjadi aku yang benar-benar jika kita mempunyai hubungan yang erat dengan orang-orang lain. Melewati Thou seseorang menjadi I. Karenanya, menurut Martin Buber, Aku itu bersifat sosial dan interpersonal, dan seseorang yang real adalah orang yang hidup antara orang dan orang.
Menurut Martin Buber, hubungan I-Thou mempunyai ciri-ciri timbal balik, langsung dan kesungguhan (intensity). Dalam hubungan yang semacam itulah suatu dialog atau pengetahuan dapat terlaksana. Dialog tersebut mungkin dengan perkataan atau secara diam-diam. Bahkan dialog tersebut terjadi dengan sekadar pandangan yang spontan dan tanpa gaya, akan tetapi mengandung pemahaman dan perhatian yang timbal balik.
Lebih lanjut Martin Buber mengkritik, atau tepatnya melakukan protes terhadap “pembendaan” serta kecenderungan depersonalisasi dalam kehidupan modern seiring maraknya fetishisme (pembendaan) atau komodifikasi dalam segala hal, karena kedua hal tersebut akan berakibat mengingkari aku dan menghalangi ekspresinya.
Begitulah, menurut filsafatnya Martin Buber, orang hanya dapat hidup dalam hubungan yang timbal balik jika mereka dapat berkata Thou kepada yang lain dan yang baik itu dalam pandangan Buber adalah persatuan jiwa dengan kehidupan, sedang yang jahat adalah pemisahan jiwa dari kehidupan.
Apa yang didadarkan filsafatnya Martin Buber itu sangat koheren dan berada di garis wawasan dan spiritual yang sama dengan puisinya Jalaluddin Rumi, filsuf sufi yang hidup sebelum Buber, lewat puisinya yang berjudul Kau dan Aku:
Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung,
Kau dan Aku;
Dalam dua bentuk dan dua wajah — dengan satu jiwa,
Kau dan Aku.
Warna-warni taman dan nyanyian burung memberi obat keabadian
Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku.
Bintang-bintang Surga keluar memandang kita –
Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku.
Kau dan Aku, dengan tiada ‘Kau’ atau ‘Aku’,
akan menjadi satu melalui rasa kita;
Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau dan Aku.
Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita –
Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku.
Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini …
Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan –
Kau dan Aku.
Persis seperti yang diidealkan Martin Buber, puisi Kau dan Aku-nya Jalaluddin Rumi tersebut memadahkan keintiman dalam sebuah hubungan yang karib dan saling memahami satu sama lain. Sebuah puisi yang mengandung filosofi dan hikmah yang demikian dalam dan karib dan dimadahkan dengan suara dan bahasa yang jernih, yang pada saat bersamaan merupakan simbolisme yang sublim –sebuah kearifan pedagogis yang disampaikan dengan modus dialog dan medium puitis, sehingga yang membacanya akan merasa terlibat sebagai kawan dialog itu sendiri, bukan semata objek yang digurui.
Sementara itu, bila kita kembali kepada filsafatnya Martin Buber, manusia mempunyai dua relasi atau dua hubungan yang fundamental yang berbeda antara satu dan lainnya. Di satu pihak relasi dengan benda-benda, dan di lain pihak relasi dengan sesama manusia dan Allah. Dalam hal ini, puisinya Jalaluddin Rumi yang berjudul Kau dan Aku itu, bila dibaca dalam kerangka filsafatnya Martin Buber, berada dalam kategori relasi atau hubungan antara manusia dengan manusia dan hubungan atau relasi antara manusia dengan Tuhan.
Dan seperti terefleksi dengan jernih dalam puisinya Jalaluddin Rumi itu, Martin Buber lebih lanjut mengatakan bahwa karena dua jenis relasi inilah “Aku” sendiri bersifat dwi-ganda, di mana “Aku” yang berhubungan dengan “Itu” (atau dengan benda) berlainan dengan “Aku” yang behubungan dengan “Engkau” .
Jenis dan bentuk hubungan antara Aku dan Itu, demikian dalam filsafat Martin Buber merupakan dunia dimana saya menggunakan benda-benda, menyusun benda-benda, memperalat benda-benda. Dunia ini ditandai kesewenang-wenangan. Semuanya dalam dunia ini diatur menurut kategori-kategori seperti kepemilikan dan penguasaan, tak ada dialog.
Sedangkan bentuk dan jenis hubungan Aku – Engkau adalah dimana di dunia ini Aku tidak menggunakan Engkau sebagaimana terjadi dalam hubungan antara Aku dan Itu, melainkan Aku menjumpai Engkau, Aku yang menjumpai Engkau sebagaimana dilukiskan dengan indah oleh puisinya Jalaluddin Rumi yang berjudul Kau dan Aku itu. Di sini, Aku karena Engkau, Engkau yang hadir dan tampil bagi Aku sebagai suatu rahmat.
Memahami Moderasi Beragama
Bahwa agama itu tidak ubahnya cinta, yang dianut karena keikhlasan dan bukan karena paksaan. Dalam hal demikian, Imam Muhammad Al Baqir pernah berkata, agama adalah cinta dan cinta adalah agama.
Agama di sini adalah gerak dan spirit yang memperjuangkan keadilan dan melawan kezaliman. Iman juga harus dituntun oleh ilmu dan akal yang akan membuatnya melihat, memiliki bashirah, dan tidak terjerembab dalam kebutaan serta kejahiliyahan. Ilmu, cinta, dan akal ini adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Namun, nahkodanya yang utama adalah cinta. Cinta melahirkan moderasi. Sebagaimana Rasulullah pernah menegaskan bahwa seluruh tindakannya dalam hidup lahir dari cinta dan welas asih.
Lalu apa cinta itu, dalam pengertian yang religius sekaligus humanis? Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Cinta itu seperti air –dengannya hidup segalanya. Seperti bumi –cinta bisa menumbuhkan semuanya.”
Jika kita renungi, hikmah itu lebih luas dan lebih kaya dalam memandang apa itu cinta –pengertian, makna dan cakupannnya, dari sekedar cinta yang dipahami hanya terkait relasi antara dua manusia semata.
Hikmah Imam Ali bin Abi Thalib itu menyatakan secara hermeneutik dan alegorik bahwa cinta menyangkut sikap kita dalam hidup terkait dengan segala hal –tak semata spesifik menyangkut relasi dua manusia, tetapi suatu hukum semesta, agama, dan pengetahuan. Ali, washi-nya dan pintu gerbang ilmu dan hikmahnya Muhammad saw, itu pada dasarnya adalah maestro filsuf dan pujangga.
Dalam sejarah sastra, penyair sekaligus filsuf sufi yang konsen mengurai makna dan penjelajahan kosmologi cinta ini adalah Jalaluddin Rumi.
“Aku bagai benih di bawah tanah
aku menanti tanda musim semi.
Angin kala fajar memiliki rahasia
untuk memberitahumu. Jangan kembali tidur.
Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan,
mengubah orang tak berpendirian
menjadi teguh berpendirian,
mengubah pengecut menjadi pemberani,
mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan,
dan cinta membawa perubahan-perubahan
bagi siang dan malam.”
Memang, cinta-lah yang membuat seseorang menyandang predikat ‘person’ dalam hidupnya, dan personalitas adalah manifestasi kepribadian.
Sulaiman Djaya, Pekerja Budaya