Jagat media sosial digemparkan satu negara yang sedang perang saudara. Dunia menanyakan, ada apa dengan negara Arab-Afrika ini? Lagi-lagi urusannya bukan hanya konflik nasional, melainkan kawasan, bahkan internasional. Konflik tersembunyi yang kemudian meledak di tengah umat Islam ‘asyik’ menikmati bulan puasa dan hari raya. Adakah dalang di balik pecahnya konflik Sudan?
Akar konflik
Akar konflik bermula dari perebutan kursi di masa transisi pascalengsernya Jenderal Besar Presiden Omer al-Bashir, yang juga komandan Gerakan Islam pada 2019 akibat tekanan krisis ekonomi dan kekuatan demonstrasi. Masa transisi berjalan ‘seret’ dan tidak kunjung menemukan titik temu antara militer-paramiliter dan sipil hingga 2023.
Sipil yang diwakili Koalisi Gerakan Kebebasan dan Perubahan (GKP) tidak menghendaki keberadaan paramiliter Sudan, RSF (Rapid Support Forces), karena di samping tidak elok dipandang masyarakat dan kaum elite, muncul potensi ada ‘dua matahari’ di kemudian hari.
Sebelumnya, RSF memiliki citra buruk di masyarakat sebagai ‘tangan kanan’ Presiden Omer al-Bashir dalam Perang Darfur; wilayah Sudan yang berbatasan dengan Libia dan Chad. Perang Darfur itu yang membuat Omer al-Bashir dituduh Barat melakukan pembantaian etnik non-Arab dan pemimpin diktator yang perlu diadili di Mahkamah Internasional.
Hametti yang sebelumnya ialah peternak unta menjadi jenderal dan keberadaan RSF, yang didirikan pada 2013 sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Sudan, disahkan Parlemen Sudan pada 2017. Ketika bentrok bersenjata terjadi antara pasukan RSF dan militer terjadi di Khartoum, Jenderal Al-Burhan mengumumkan pembubaran RSF dan menetapkan RSF sebagai gerakan pemberontak. Pihak RSF menyebut keputusan pembubaran mereka tidak sah dengan alasan yang berhak membubarkan RSF hanyalah Parlemen, sedangkan di masa transisi Parlemen belum dibentuk kembali.
Solusi bagi ‘keruwetan’ masa transisi, RSF perlu dilebur ke institusi militer alias ‘dibubarkan’ dengan batas waktu yang ternyata disengketakan tiap pihak. Sebut saja Jenderal Burhan dari militer dan Jenderal Hametti dari RSF. Burhan yang menjabat Ketua Dewan Pimpinan Transisi dan Hametti sebagai wakilnya tiba-tiba ‘berantem’.
Tuntutan integrasi RSF ke militer sudah ada sejak awal masa transisi, tetapi militer belum berani melakukannya, khawatir terjadi konflik yang tidak disangka-sangka. Sebagai upaya reformasi keamanan, Jenderal Burhan mengangkat Jenderal Hametti sebagai wakilnya dalam memimpin masa transisi. Jadi, keduanya rutin melakukan rapat Dewan Pimpinan Transisi yang terdiri dari unsur sipil dan militer. Foto keduanya yang tersenyum bahagia juga menghiasi media-media pemerintah. Entah apa yang sebenarnya ada di benak mereka, ‘raut muka’ tidak menampakkan adanya persaingan tajam.
Sebagai panglima ‘milisi’, Hametti merasa kuat dengan seratus ribu pasukan, di samping secara politik pernah diundang secara khusus oleh Presiden Rusia, Turki, dan Emirat Arab, termasuk beberapa negara tetangga lainnya pascalengsernya Omer al-Bashir. Jenderal Burhan nampak ‘dinomorduakan’ dalam hal undangan itu. Namun, dalam dunia peperangan, militer jauh lebih berpengalaman dan persenjataannya jauh lebih lengkap, terutama untuk melakukan serangan udara yang tidak dimiliki RSF. Pada 2021, Angkatan Udara Sudan telah melakukan latihan militer bersama Angkatan Udara Mesir di Khartoum.
Di masa transisi, Hametti dengan kekayaannya yang melimpah melakukan rekrutmen pasukan dan pencitraan publik besar-besaran. Tidak sedikit yang tergiur untuk segera menjadi ‘jenderal’ dengan bergabung di RSF, tanpa melalui proses pendidikan dan karier yang ketat sebagaimana dalam institusi militer. Wajar jika orang Sudan sampai menyebut Hametti sebagai ‘King of the King’.
Awalnya, kedua jenderal itu sama-sama kader Gerakan Islam meskipun Jenderal Burhan dipandang netral sehingga diterima demonstran dan para politikus untuk memimpin transisi. Kolaborasi keduanya, di samping untuk stabilitas keamanan, bertujuan melindungi aset masing-masing.
Seorang ekonom Sudan, Abdallah Hamdok, dikudeta melalui operasi senyap karena berani mengganggu sumber-sumber penghasilan keduanya dengan membuat sistem satu pintu kekayaan negara, yaitu di bawah otoritas kementerian keuangan. Tentu, kaum oligarki yang terancam atas kebijakan Abdallah Hamdok ialah tokoh-tokoh Gerakan Islam yang berkuasa selama 30 tahun.
Tidak sedikit pengamat menyebut, Gerakan Islam memiliki kecenderungan politik praktis dan ego sektoral lebih kuat daripada kebangsaan dan keumatan. Konsekuensinya, pendidikan politik di masyarakat berjalan tidak efekif dan asumsi umat Islam terhadap politik cenderung negatif.
Kasarannya, bagi tokoh agama, politik itu ‘najis’. Itu berbeda dengan masyarakat muslim Indonesia yang sudah memiliki kesadaran sosial dalam membedakan politik tingkat tinggi (kebangsaan) dan politik tingkat rendah (kekuasaan). Itu menjadikan Sudan terperosok untuk memperjuangkan citra islamis dan globalis dengan alasan stabilitas politik yang menuntut biaya mahal kaum oligarki di satu sisi dan untuk menyelesaikan persoalan etnisitas yang menghabiskan jatah anggaran setiap tahun dengan alasan stabilitas keamanan di sisi lain.
Dunia akademik
Efek sampingnya, ada pengaruh negatif terhadap dinamika dunia akademik Sudan yang tampak dari ketidaknyamanan akademisi di dalam negeri, kurangnya sarana dan fasilitas pendidikan, serta keterhalangan fungsi riset yang tidak ‘nyambung’ dengan proyek pemerintah. Itu ditambah kecenderungan pengusaha untuk berjalan sendiri-sendiri tanpa memedulikan kolaborasi dengan dunia akademik. Di sini, pribumisasi Islam pernah ditawarkan Gus Dur saat berkunjung ke Sudan sebagai Presiden RI. Dalam hal itu, Gus Dur menawarkan kerja sama di bidang konstitusi.
Bagaimana Presiden Omer al-Bashir memperhatikan dunia pendidikan? Produk dunia akademik Sudan dengan intelektual kapital yang dimiliki meskipun terbukti terpakai, bahkan diapresiasi di luar negeri, akhirnya tidak memberikan dampak berarti di negeri sendiri. Di masa kepemimpinan Gerakan Islam, akademisi Sudan dalam mengaktualisasikan diri secara maksimal seolah perlu meninggalkan Sudan sama sekali.
Perang yang tiba-tiba ‘meletus’ tanpa diprediksi jauh-jauh hari membuat warga asing harus mengungsi, termasuk WNI yang mayoritas adalah pelajar. RSF benar-benar menjadi bom waktu. Mahasiswa yang telanjur menikmati dinamika intelektual Arab-Afrika terpaksa harus ikut pergi meninggalkan harapan masa depan mereka untuk sementara.
Mereka menikmati healing secara alami di feri milik Arab Saudi dan sebagian di pesawat TNI menuju Jeddah untuk diistirahatkan di hotel dan apartemen mewah. Sambutan Arab Saudi terhadap pengungsi di pelabuhan Jeddah sangat luar biasa. Di samping memberikan bendara sebagai simbol negara, mereka memberikan sekuntum bunga sebagai simbol cinta damai.
Tragis
WNI jauh lebih awal keluar dari zona perang sebelum mayoritas WNA yang masih ‘kocar-kacir’ di Khartoum, ibu kota yang diperebutkan Burhan dan Hametti. Itu bukan dramatis, melainkan tragis. Para pelajar mensyukuri keselamatan mereka dan mengapresiasi kecepatan pemerintah Indonesia, mulai perwakilan RI hingga Panglima TNI dalam merespons situasi, hingga semua berada di titik aman. Kecuali yang mengelak untuk dievakuasi, seperti seorang mahasiswa dengan alasan pernah dievakuasi di Yaman menolak dievakuasi kedua kali, dan sejumlah pekerja migran dengan alasan keluarga.
Bagi yang selamat dan tiba di Tanah Air, mereka tentu berpikir, “Bagaimana nasib saya yang sedang tidak menentu perkuliahannya di Sudan?” Mereka berharap ada ‘pertolongan’ dari pemerintah Indonesia menyangkut masa depan pendidikan mereka.
Jika konflik bersenjata selesai dalam waktu satu tahun dengan kekalahan ‘milisi’ (RSF), misalnya, apakah akan muncul faksi militer yang mengudeta Jenderal Burhan yang ingin tetap duduk di tampuk kekuasaan? Kira-kira butuh setengah tahun lagi. Maaf bukan dukun, tapi sekadar menyuarakan aspirasi alumni evakuasi. Wallahu a’lam.
Ribut Nur Huda, Mustasyar PCINU Sudan, doktoral summa cum laude pendidikan bahasa Arab University of the Holy Quran and Islamic Sciences, Sudan
Editor: Moh. Faisal Asadi
Sumber: Mediaindonesia.com