LIPUTAN9.ID – Sezaman dengan Abu Yazid al-Bustomi di Persia, Sufisme Islam juga tumbuh berkembang di benua Afrika, seperti Mesir. Saat itu, lahirlah seorang sufi besar bernama Tsauban bin Ibrahim atau dikenal dengan sebutan Dzun Nun al-Mishri pada tahun 179 H./796 M., di Akhmim, Mesir. Dzun Nun bukan saja seorang sufi melainkan juga intelektual Arab yang mampu menguak rumus-rumus Alphabet Hieroglif. Jauh lebih awal dari sarjana Eropa abad 19, Jean-Francois Champollion.
Sebagai Sufi besar, Imam al-Qusyairi membuat catatan tentang Dzun Nun ini. Menurutnya, Dzun Nun adalah tokoh paling awal yang memberikan definisi tauhid ala sufistik, dan ia pula yang memperkenalkan beberapa istilah sufisme lain, seperti al-wajdu, as-sima’, maqomat dan ahwal (George Tarabishi, Mu’jam al-Falasifah, 2006: 314). Sama seperti Bayazid al-Bustomi di Persia, Dzun Nun al-Mishri juga dilabeli sebagai orang zindik oleh masyarakatnya (Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, 2010: 1/350).
Kezindikan Dzun Nun tidak terlepas dari konsep Tauhid yang diajarkannya namun tidak dapat diterima oleh masyarakatnya. Dzun Nun mengatakan, “sesuai kadar pengetahuan hamba tentang Tuhannnya, tauhid adalah mengingkari pengetahuannya itu. Ma’rifatullah yang sempurna adalah pengingkaran total atas dzat,” (Nihad Khayyath, Dirasah fi at-Tajribah as-Shufiyah, 1994: 6). Jadi, bagaimana mungkin dapat diterima orang yang menegasikan pengetahuan tentang tuhan.
Dalam pengertian Dzun Nun, pengetahuan manusia tentang Tuhan itu harus lahir dari proses al-Wajdu (ekstase religius) setelah as-Sima’ (mendengarkan ) atas apa yang didengarnya. Ia mengatakan, “as-sima’ itu adalah mendengar sesuatu yang datang dengan benar, yang membuat hati semakin tergerak menuju Tuhan. Barang siapa yang mendengar sesuatu yang datang itu dengan benar, maka ia berhasil mengetahui-Nya, namun barang siapa yang mendengar dengan nafsu dirinya maka ia berbuat zindiq,” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Semarang: 2/289).
Seseorang tidak mungkin mengenal Allah (ma’rifat) kecuali melalui proses penyingkapan batin (kasyaf). Penyingkapan ini terjadi ketika seseorang mendengar apa yang didengarnya dengan benar, bukan pendengaran yang diselimuti hawa nafsu. Di titi inilah, konsep tauhid Dzun Nun dapat dimengerti, sebagai suatu keyakinan yang dilandaskan pada kasyaf. Sedangkan teologi (ajaran tentang ketuhanan) yang dibangun di atas logika akal pikiran harus disangkal. Orang yang keyakinannya pada Tuhan dibangun berdasarkan logika selain kasyaf, ia pantas disebut zindiq.
As-Sima’ adalah keadaan mendengarkan ilham-ilham, dan al-Wajdu adalah perolehan hasil melalui as-Sima’. Dari sanalah, ma’rifatullah betul-betul murni, bersih dari kepentingan nafsu syahwat. Artinya, pembersihan diri dari kotoran dosa menjadi prasyarat yang dibutuhkan, sebelum seseorang berhasil menjalani dan mengalami proses as-Sima’ ini. Dzun Nun al-Mishri pun mengembangkan pedoman-pedoman suluk yang disebut sebagai Ahwal (kondisi-kondisi batin) dan maqomat (level-level pencapaian spiritual).
Ahwal
Secara bahasa, Ahwal adalah kondisi baik maupun buruk yang dialami manusia di suatu masa yang sedang terjadi. Kondisi manusia ini mengalami banyak hal yang bisa berubah-ubah, baik secara maknawi maupun secara rasa.
Secara istilah, Ahwal adalah pengertian atau makna yang tiba-tiba merasuk ke dalam hati manusia tanpa ada daya dan upaya dari dirinya sendiri; sifat-sifat yang selalu berubah di dalam hati seorang salik, seperti rasa takut, penuh harap, sedih, gembira dan lainnya. Kondisi ini bisa berupa sifat-sifat hati yang murni maupun yang kotor.
Maqomat
Sedangkan maqomat secara bahasa adalah tempat berdiri yang bersifat fisik atau tempat yang bermakna batin, seperti maqom syafaat Nabi bagi umatnya. Secara istilah, maqomat adalah apapun yang digunakan oleh para salik untuk sampai kepada Tuhan melalui kerja keras, perjuangan, dan melatih jiwa dengan keras dalam beribadah; maqomat adalah tahapan-tahapan seseorang menyelami kedalaman ibadah (Muhammad bin AHmad al-Juwair, Juhud Ulama as-Salaf fi al-Qarn as-Sadis al-Hijri, Maktabah ar-Rasyd, 2003: 347-348).
Dzun Nun pernah menjelaskan tentang maqomat ini. Menurutnya, maqomat terdiri dari tujuh belas tingkatan. Tingkatan paling rendah adalah ijabah (mudah mengabulkan) dan tingkatan paling tinggi adalah tawakkal total (Al-Ashfihani, Hilyat al-Awliya, Dar al-Fikr, 1985: 10/78). Seseorang yang mudah mengabulkan hajat semua orang pada dirinya maka ia sedang berusaha berada pada maqom awal. Orang yang berhasil menjadikan hatinya selalu tawakal pada Tuhan, maka ia sudah sedang menjalani maqom tertinggi.
Sementara tentang Ahwal, Dzun Nun pernah ditanya oleh para sahabatnya: “apa Ahwal yang paling dominan dimiliki para Arifbillah?” Dzun Nun menjawab: “Cinta, dan cintanya pada-Nya, serta berbagi kenikmatan dengan orang lain. Itulah Ahwal yang tidak akan pernah hilang dari orang yang Arifbillah” (‘Ashi Ibrahim al-Kayyali, al-Kawkab al-Durri fi Manaqib Dzi al-Nun al-Mishri, Dar al-Ilmiah Beirut, 2005: 93).
Cinta tidak mudah hampir di hati seseorang kecuali ia mendapat anugerah dari Allah. Seseorang yang dianugerahi cinta, ia akan mudah berbagi kebahagiaan dengan orang lain atas nama Allah. Dengan begitu, ahwal akan melengkapi maqomat. Seseorang yang berusaha melatih dirinya untuk menjadi dermawan, ringan tangan, dan mudah berbagi dalam Maqom Ijabah maka ia akan sempurna bila tindakannya atas nama cinta dalam Ahwal. Sehingga pemberiannya tidak dilakukan atas nama pamrih atau mencari balas budi.
Sampai di sini, kita teringat pada firman Allah swt: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan (pahala) sedekah kalian dengan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti (hati orang yang diberi),” (QS. Al-Baqarah: 264). Dermawan adalah maqom awal salik, tetapi cinta dan ketulusan dalam berderma adalah Hal batin yang harus dimiliki. Memberi tanpa cinta atau memberi dengan menyakiti sama saja membatalkan pahala sedekah. Dari sini, kita paham konsep Ahwal dan Maqomat Dzun Nun al-Mishri untuk melatih batin dan syariat manusia.
Artikel ini tayang juga di Disway.id dengan judul Sufisme Dzun Nun al-Mishri: Tauhid, Ma’rifat, Maqomat dan Ahwal, pada hari Rabu, 14 September 2022.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.