Cirebon, LIPUTAN 9 NEWS
“Kaum Sufi itu sendiri bagaikan seorang dokter dan tabib, yang mengobati dirinya sendiri dengan harapan bisa bermanfaat bagi rang lain. Karenanya, kaum sufi menyayangi dirinya sama seperti menyayangi orang lain. Sufi menyingkap aibnya sendiri untuk bisa mengobatinya dan mengobati aib orang lain. Sufi tidak hanya mencintai orang-orang sesama pengikuat tarekat, tetapi seluruh umat manusia tanpa kecuali.” (KH. Imam Jazuli)
Tasawuf bukan wacana teologis semata, tetapi juga wacana kemanusiaan. Manusia hidup tidak hanya mempersiapkan kehidupan kelak di akhirat, tetapi juga tentang bagaimana menata kehidupan duniawi agar sejalan dengan nilai-nilai Islami. Kehidupan dunia bila tidak ditata dengan baik dan sesuai nilai-nilai Islam, ia akan merugikan manusia di akhirat nanti. Kaum Sufi berdakwah dengan mengobati sisi-sisi kehidupan manusia yang sakit ini.
Cara kaum sufi mengobati masyarakat adalah dengan memberikan contoh diri mereka sendiri. Ini yang disebut dakwah bil hal. Dakwah dengan tindakan. Imam Junaid al-Baghdadi, figur utama kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, pernah mengatakan: kita tidak belajar tasawuf dari katanya dan katanya. Tetapi, kita menggalinya dari rasa lapar, meninggalkan kecintaan pada dunia, serta mengabaikan keperluan-keperluan lain yang sia-sia.
Dalam kitab ar-Risalah al-Qusyairiah (Kairo: Mathba’ah al-Halabi, 1959: 20), ada banyak keterangan tentang peran sosial kaum sufi dan ajaran tasawufnya. Abu Hasan an-Nuri, misalnya, mengatakan bahwa tasawuf bukan semata-mata teks-teks dan ilmu pengetahuan rasional melainkan tentang akhlak. Tasawuf adalah sais kita dalam mengarungi samudera kehidupan. Dengan ilmu tasawuf, tatanan sosial umat muslim diarahkan untuk berlabuh di dermaga ilahiah dengan selamat.
Selanjutny ada Imam al-Ghazali yang mengatakan, kaum sufi itu mengobati jiwa-jiwa manusia dan mengajarkan penyembuhan penyakit-penyakit akhirat. Atau seperti ungkapan al-Muhasibi dalam kitabnya yang berjudul al-Mahabbah, mata hati para sufi disinari hikmah-hikmah ilahiah, mereka menuju ke tempat-tempat yang ditumbuhi ramuan-ramuan penyembuh. Allah mengajari mereka bagaimana cara obat bekerja, lalu mereka pun mulai dengan menyembuhkan hati mereka. Setelah itu, Allah memerintahkan mereka untuk menyembuhkan hati orang-orang yang berduka dan menderita.
Kaum Sufi itu sendiri bagaikan seorang dokter dan tabib, yang mengobati dirinya sendiri dengan harapan bisa bermanfaat bagi rang lain. Karenanya, kaum sufi menyayangi dirinya sama seperti menyayangi orang lain. Sufi menyingkap aibnya sendiri untuk bisa mengobatinya dan mengobati aib orang lain. Sufi tidak hanya mencintai orang-orang sesama pengikuat tarekat, tetapi seluruh umat manusia tanpa kecuali.
Untuk bisa mencintai manusia tanpa pandang bulu, kaum Sufi menenggelamkan dirinya ke dalam lautan cinta ilahiah, supaya mereka kelak bisa memberikan syafaat kepada orang lain di hadapan Tuhan. Tenggelam dalam cinta ilahiah mendorong mereka mencintai seluruh umat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Tidak ada kebencian pada manusia lain sedikitpun, sekalipun kaum sufi harus menanggung hujatan dan kebencian dari mereka.
Kita bisa melihat kisah dari Louis Massignon dalam bukunya berjudul The Passion of Al-Hallaj, Mystic and Martyr of Islam (Paris, 1922). Massignon menggambarkan penderitaan Abu Manshur al-Hallaj (w. 922), yang sedang digantung di atas tiang gantungan. Sahabat al-Hallaj bertanya: apa itu tasawuf? Al-Hallaj menjawab: tasawuf adalah apa yang sedang kalian saksikan.
Artinya, bagi Sang Martir, Al-Hallaj, mati syahid di jalan Allah adalah tujuan hidup seorang Sufi. Tidak pantas bagi seorang sufi untuk gentar menghadapi kematian, jika itu memang risiko menyampaikan kebenaran ajaran Allah. Namun, pada saat yang sama, risiko kematian itu dihadapi dengan bahagia, tulus nan ikhlas, tanpa disertai kebencian terhadap orang-orang yang menimpakan penderitaan itu.
Kisah lain kecintaan al-Hallaj kepada manusia adalah saat ia mengerjakan ibadah haji dan mengerjakan wukuf di Arafah. Saat itu, orang-orang berdoa kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa keluarga dan sanak kerabatnya. Tetapi, al-Hallaj berdoa kepada Allah agar mengabulkan seluruh hajat umat Islam tanpa kecuali. Al-Hallaj tidak berdoa untuk dirinya sendiri.
Kecintaan al-Hallaj kepada seluruh umat muslim adalah lazim di kalangan para Sufi. Kita bisa melihat kecintaan yang sama dalam puisi Syeikh Abkar Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 1240) berikut ini: “hatiku dapat menerima aneka bentuk; ia arena gembala kijang, juga biara para pendeta; rumah bagi berhala; kab’ab bagi yang tawaf. Ia lembaran-lembaran taurat dan mushaf Qur’an. Aku menganut agama cinta, kemana ia mengarah, cinta adalah agamaku. Dia adalah imamku.”
Dari sana kemudian, Ibnu Sab’in (w. 1271) mengucapkan salam kepada orang-orang mukmin maupun kafir tanpa pandang bulu. Salam sejahtera dari seorang sufi kepada muslim dan non-muslim. Dari sana juga, kita bisa melihat bahwa di tangan para Sufi, Islam tampil dengan wajah yang humanis. Sebelum ideologi Humanisme diperkenalkan oleh Barat sejak Revolusi Perancis (1789–1799), Islam jauh lebih awal bicara humanisme. Kaum Sufi adalah Humanis Sejati.
Kita akan tampak seperti intelektual kesiangan bila terlalu mengagumi Barat, dan melupakan warisan Islam dari Para Sufi. Sebab, mereka lebih awal mengajarkan cara beragama yang humanis, lebih mengedepankan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri, lebih mendoakan terkabulnya hajat orang lain dari pada hajat diri sendiri.
Islam Humanis semacam ini menjadi kebutuhan mendasar umat yang hidup di abad 21. Sebab, kehidupan sosial keagamaan Islam abad 21 ini dihantui oleh fundamentalisme, radikalisme, dan konflik yang menodai wajah Islam.
Tokoh-tokoh agamawan sering menampilkan wajah Islam yang bengis, emosional, dan mudah menyulut permusuhan; bukan saja dengan non-muslim, tetapi juga menyerang dan membenci sesama umat muslim, terutama yang tidak segolongan dengan mereka.
Semua perilaku semacam itu di atas sangat jauh dari nilai-nilai Islam Sufistik yang Humanis, yang menjadi dasar bangunan tatanan sosial umat muslim sejak awal.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Comments 1