Banten, LIPUTAN 9 NEWS
“Dalam konteks adaptif pengayaan variatif pertunjukkan, sebagai contoh kearifan lokal lainnya, kita bisa belajar dari seni pertunjukkan wayang yang lazim disebut goro-goro: banyolan, ketika mereka bebas mencampur-adukkan cerita dengan isu-isu atau soal-soal aktual dalam kehidupan keseharian kita.”
Industri budaya pop dan perkembangan jejaring sosial telah menjadi tantangan sekaligus peluang baru kreatif. Kerja dan dunia teater saat ini berhadapan dan dalam gempuran persaingan industri budaya pop dan kegandrungan orang menghabiskan waktu di dunia mayantara media sosial.
Dengan kenyataan yang tak terbantahkan: teater mengalami kemerosotan audiens saat ini, mau tak mau para seniman teater harus sanggup bersiasat dan mengafirmasi kenyataan kekinian dunia menjadi inspirasi kreatif, semisal mengolah khazanah kearifan lokal bangsa dengan sentuhan dan isu kontemporer.
Kita misalnya bisa menghadirkan cerita-cerita rakyat dengan tokoh-tokoh hikayatnya yang dikenal di panggung pementasan dengan disisipi isu-isu dan masalah-masalah hidup keseharian yang menarik saat ini. Menyuguhkan hal-hal yang akrab bagi kebanyakan orang, sehingga teater menjadi medium pengalaman bersama banyak orang.
Kita pun bisa mengaktualkan khazanah teater tradisi yang bersumber dari sastra lisan seperti cerita rakyat, legenda, hikayat dan yang sejenis itu semua, dengan balutan estetika kontemporer dan muatan isu dan tema yang sekiranya relevan bagi pengalaman hidup keseharian banyak orang.
Sebagai bangsa yang memiliki warisan dan karakter kebudayaan sendiri yang adiluhung dan beragam, sudah sepatutnya kita memahami kandungannya dan kemudian mengaktualkannya bagi audiens dan konteks kekinian. Dalam kadar ini, akar teater tak lain kehidupan dan keberadaan teater karena kehadirannya selalu terkait dengan kehidupan nyata banyak orang.
Sesungguhnya kearifan lokal bangsa ini sudah pula dipraktikkan dalam kerja dan kegiatan kreatif teater. Sebutlah taksu di Bali yang dilakukan untuk menguatkan karisma atau pamor aktor di panggung dengan latihan meditasi atau sukma untuk meningkatkan kepekaan rasa seniman atau pemain teater.
Dalam konteks adaptif pengayaan variatif pertunjukkan, sebagai contoh kearifan lokal lainnya, kita bisa belajar dari seni pertunjukkan wayang yang lazim disebut goro-goro: banyolan, ketika mereka bebas mencampur-adukkan cerita dengan isu-isu atau soal-soal aktual dalam kehidupan keseharian kita.
Mereka bebas dan merdeka melancarkan satir dan kritik secara parodis dan humoris, dengan banyolan yang menghibur khalayak penyimak, dengan tetap santun dan metaforis serta demokratis, sehingga tidak mencerminkan kekasaran atau sarkasme, tetapi lebih mengajak untuk merenung dan menyadari.
Banyak juga kearifan lokal pertunjukkan rakyat, semisal Ubrug Banten, yang berusaha mengangkat isu yang sesungguhnya tidak hitam-putih, seperti keikhlasan mereka menertawakan takdir rakyat jelata dengan seloroh dan banyolan yang menghibur penonton, tetapi sesungguhnya tanpa sadar telah menampilkan upaya untuk menertawai absurditas hidup itu sendiri, seperti tetap ada tawa dalam pengalaman nestapa.
Begitu pun, adaptasi dan perkawinan kultural dalam seni, termasuk teater, bukan sesuatu yang aneh. Kita masih ingat ketika Rendra mementaskan Oedipus dari Yunani dengan kostum dan properti budaya Jawa semisal dipan bambu di mana Rendra sendiri mengenakan kostum batik. Apa yang dilakukan Rendra itu adalah contoh komunikasi antar budaya yang dipraktikkan dalam teater demi penerimaan reseptif khayalak masyarakat Indonesia.
Upaya komunikasi antar budaya dalam seni, termasuk dalam teater, tak lain karena ada banyak isu-isu kemanusiaan yang universal dan sama dalam kehidupan dan sejarah umat manusia, semisal tragedi, kisah cinta, perang, penderitaan, kemiskinan, dan lain sebagainya yang menginspirasi kerja kreatif seni dan teater, yang kemudian dijelmakan sebagai upaya katarsis dan cermin bersama dalam hidup kita.
Kekayaan khazanah kearifan lokal bangsa kita, seperti cerita rakyat, sesungguhnya pun mengandung isu-isu dan materi universal kemanusiaan yang tetap kontekstual untuk dipentaskan kembali ke ragam media dan bentuk seni, seperti teater dan film. Kisah-kisah rakyat seperti Lutung Kasarung dan yang lainnya tidak akan basi bila kita sanggup mengkontekstualkannya dengan penerimaan dan keadaan selera para penonton saat ini.
Di sana ada kisah tentang cinta, absurditas, masalah psikologi hubungan anak dan ibu, kesombongan kekuasaan, feodalisme, kemalangan, juga pengabdian dan kesetiaan, semisal lewat tokoh Tumang yang dikutuk menjadi anjing (hina), padahal Tumang itu justru karakter yang setia, rela berkorban, dan memiliki cinta yang tulus serta jiwa pengabdian yang tanpa pamrih.
Kisah itu sesungguhnya mengandung satir sekaligus ironi. Barangkali juga sesungguhnya merupakan upaya mengkritik dan mengolok-olok situasi atau keadaan sosial-politik-budaya di jamannya ketika hikayat itu dikisahkan kepada masyarakat.
Teater kita saat ini harus mampu mengolah isu dan materi garapanya dari kekayaan sejarah dan budaya bangsa kita, termasuk kekayaan lokal-etnik, yang tidak mesti menjadi chauvinis-primordialis, melainkan diolah dan dipentaskan kembali dalam rangka menemukan dan menciptakan refleksi bersama.
Teater kita saat ini juga harus berusaha mengurangi kesenjangan penerimaan dan apresiasi dari para penontonnya, agar teater tidak ditinggalkan khalayak yang merupakan salah-satu nyawa utama keberlangsungannya. Bahwa memang unsur menghibur dan menyenangkan dari seni tidak mungkin kita abaikan, karena justru seni yang menghibur dan menyenangkan itulah yang acapkali diterima khalayak, meski mengandung refleksi dan pelajaran.
Sulaiman Djaya, Penyair di Kubah Budaya