BANDUNG | LIPUTAN9NEWS
Pesantren lahir dari rahim tradisi keilmuan Islam yang memuliakan guru dan menjunjung tinggi adab. Dalam sistem nilai pesantren, hubungan antara kiai dan santri bukan sekadar relasi pengajar dan pelajar, tetapi pertautan ruhani antara pemberi dan penerima cahaya ilmu. Kitab “Ta’lim al-Muta’allim” karya Syekh Az-Zarnuji, salah satu rujukan yang menjadi pedoman moral di dunia pesantren salaf tradisional., Kitab ini menegaskan bahwa keberkahan ilmu hanya akan hadir jika disertai adab kepada guru, menghormati, mendengarkan, dan merendahkan hati di hadapannya.
Dari nilai inilah lahir tradisi yang disebut “rengkuh kepada kiai”, sebuah sikap batin dan lahir yang memadukan hormat, kasih, dan kerendahan hati. “Rengkuh” bukan tunduk pada kekuasaan, tetapi bentuk penghormatan spiritual kepada sosok yang menjadi perantara ilmu dan hidayah. Santri mencium tangan kiai, menunduk saat lewat di hadapannya, dan mendengarkan nasihatnya dengan hati yang lapang, bukan karena takut atau terpaksa, melainkan karena keyakinan bahwa adab adalah pintu bagi kemuliaan ilmu.
Sayangnya, dalam pandangan luar, sikap “rengkuh” ini kerap disalahpahami sebagai feodalisme, seolah pesantren menumbuhkan hierarki yang mengekang kebebasan berpikir. Padahal, nilai-nilai yang diajarkan Ta’lim al-Muta’allim justru menegaskan sebaliknya: bahwa adab kepada guru bukanlah bentuk perbudakan, melainkan penghormatan kepada sumber cahaya pengetahuan. Feodalisme menempatkan manusia berdasarkan kekuasaan dan keturunan, sementara adab menempatkan manusia berdasarkan ilmu dan ketulusan.
Dalam bingkai pesantren, kiai bukan penguasa, melainkan teladan moral dan penjaga tradisi keilmuan. Santri pun bukan rakyat, melainkan murid yang sedang berproses menemukan makna ilmu dan kehidupan. Hubungan mereka adalah relasi kasih yang berlandaskan spiritualitas, bukan kekuasaan.
Oleh karena itu, “rengkuh kepada kiai” harus dipahami sebagai bagian dari ekosistem pendidikan ruhani, bukan struktur sosial yang feodal. Ia adalah warisan adab yang menanamkan kesadaran: bahwa ilmu bukan sekadar hafalan, melainkan keberkahan yang lahir dari hati yang bersih dan rendah diri di hadapan sang guru. Pesantren menjaga tradisi ini bukan untuk mempertahankan hierarki, melainkan untuk memelihara adab al-‘ilm, bahwa kemuliaan ilmu hanya tumbuh dalam jiwa yang tahu berterima kasih dan menghormati sumbernya.
Belakangan ini, muncul tayangan di salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, yang menggambarkan praktik penghormatan kepada kiai secara sepihak dan viral di media sosial. Tayangan tersebut memicu perdebatan publik, bahkan ada yang menilai bahwa tradisi di pesantren sarat feodalisme dan ketimpangan relasi kuasa. Padahal, penilaian semacam itu mengandung kesesatan logika, dalam bentuk “hasty generalization”, yakni menarik kesimpulan universal hanya dari satu atau dua kasus yang kasuistik.
Dalam logika berpikir yang sehat, satu dua kasus tidak bisa mewakili realitas kompleks dunia pesantren yang sangat beragam dan dinamis. Pesantren memiliki ribuan wajah, dengan kultur dan sistem pembelajaran yang berbeda. Mengambil satu potongan fenomena lalu menyimpulkannya sebagai cerminan seluruh pesantren bukan saja tidak adil, tetapi juga menyesatkan secara epistemologis.
Tradisi “rengkuh kepada kiai” yang disorot dalam tayangan tersebut sejatinya bukanlah praktik feodalisme, melainkan pengejawantahan dari nilai adab sebagaimana telah diajarkan dalam kitab-kitab klasik karya ulama besar masa lalu, bahwa keberkahan ilmu bergantung pada penghormatan kepada guru. Bukan karena guru dianggap berkuasa, melainkan karena ia menjadi perantara sampainya cahaya ilmu dari Allah kepada manusia. Adab inilah yang membedakan antara lembaga pendidikan sekuler dengan pesantren. Di pesantren, ilmu tidak hanya dihafal, tetapi dihayati melalui sikap hormat dan kesungguhan batin.
Adapun, feodalisme lahir dari ketakutan dan ketundukan terhadap kekuasaan, sementara “rengkuh” lahir dari cinta dan kerendahan hati terhadap pembimbing ruhani. Feodalisme mengekang kebebasan berpikir, sedangkan adab kepada kiai justru menumbuhkan kemerdekaan batin dan kedewasaan moral. Santri yang beradab bukan santri yang tunduk secara buta, tetapi santri yang sadar bahwa ilmu menuntut kesabaran, kesopanan, dan penghargaan kepada sumbernya.
Sebagai penutup, pesantren tetaplah taman tempat ilmu bersemi, akhlak berbuah, dan kemanusiaan tumbuh. Rengkuh kepada kiai bukanlah rantai feodalisme, melainkan bunga adab yang mekar di ladang spiritualitas Islam. Dalam dunia yang semakin kehilangan makna hormat dan ketulusan, tradisi pesantren justru menjadi oase nilai dalam menyapa akal dengan hikmah dan menuntun hati menuju keberkahan.
Dr. H. Dudy Imanuddin Effendi, M.Ag, Wakil Dekan 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
























