LIPUTAN9.ID – Era digital dan pesatnya teknologi informasi saat ini dapat juga kita sebut sebagai zaman citra atau kalacitra. Kalacitra adalah suatu zaman ketika tekhnologi informasi dan komunikasi massa mampu memanipulasi realitas, yang bersamaan dengan merebaknya hasutan, propaganda dan dusta tersebar secara massif, semisal melalui media sosial.
Begitu pula, kalacitra adalah “era citra” atau “zaman ikon”, suatu zaman ketika “citra” dan “gambar-gambar visual” adalah motor utama penggerak pikiran dan perilaku kita dalam hidup keseharian kita. Suatu zaman ketika “realitas” dimanipulasi dan direkayasa oleh media-media reklame dan iklan serta “hasrat pasar” yang cepat dan massif di era mutakhir kita ini. Ketika imperatif-imperatif pasar begitu digdaya “menyeru” dan seakan terus “memerintah” kita tanpa henti atau pun jeda untuk senantiasa membeli.
Jika kita meminjam istilahnya Jean Baudrillard, sebagai contoh, kalacitra adalah suatu zaman ketika tekhnologi informasi dan komunikasi massa mampu memanipulasi realitas, hingga yang ada dan hadir di hadapan kita tak lebih simulasi belaka atawa simulakra. Di sana, sebuah atau sejumlah citra sanggup, bahkan seringkali sangat digdaya, dalam memanipulasi realitas, atau bahkan menggantinya dengan realitas “rekaan” atawa “realitas virtual” (virtual reality), yang anehnya seringkali dianggap lebih real dan lebih otoritatif oleh manusia yang telah menjelma masyarakat consumer alias masyarakat konsumtif.
Dan sebagaimana kita alami bersama saat ini, keseharian hidup kita telah dikepung oleh citra-citra di berbagai tempat dan sudut hidup kita. Hampir di setiap tempat, bahkan hingga ke pelosok-pelosok pedesaan, kita akan senantiasa melihat gambar-gambar, papan-papan, atau baligo-baligo reklame dan iklan, yang seakan terus menggoda dan “memerintah” kita untuk “taat” kepada gerak dan hukum pasar.
Reklame dan iklan-iklan yang bertebaran di setiap sudut dan tempat kita hidup itu seolah-olah tebaran firman suci yang sulit kita abaikan. Tak lain, seperti yang telah dikatakan, karena visualisasi dan godaan verbalnya terasa lebih real dan lebih dekat alias lebih akrab dengan kita ketimbang yang lainnya. Iklan-iklan itu seakan senantiasa ramah menggoda, merayu, dan membujuk kita, tak ubahnya Sirens alias penyihir perempuan nan amat jelita, hingga kita pun tak sanggup menolaknya dan tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya.
Citra-citra itu seakan telah menjadi “realitas” yang lebih real dan lebih otoritatif ketimbang otoritas-otoritas lainnya. Bahkan acapkali terasa lebih meyakinkan ketimbang firman-firman atau fatwa-fatwa keagamaan –meski agama dan citra-citra pun saat ini saling bertukar dan sekaligus berpadu rupa dengan sama massifnya. Mengalami mutasi bersamaan dengan rupa dan seruan zaman citra.
Dengan demikian, kalacitra adalah sebuah zaman atau sebuah era dan masa ketika masyarakat atau publik luas mengiyakan dan mempercayai begitu saja apa yang didesakkan iklan-iklan dan reklame yang disebarkan secara massif, tanpa jeda, dan cepat oleh dan melalui media massa semisal social media, laiknya mereka menjalankan perintah-perintah agama, hingga pada saat itu pula orang-orang melupakan banyak hal yang tidak diberitakan dan tidak didesakkan oleh media massa.
Kalacitra adalah sebuah zaman ketika iklan dan reklame menggantikan imperatif-imperatif keyakinan religius, ketika aspek kesadaran dan kognitif manusia seakan tak sanggup lagi menimbang dan mempertanyakan apa yang didefinisikan oleh citra-citra yang disebarkan secara massif dan cepat oleh berbagai reklame dan iklan atau sejumlah imperatif pasar lainnya. Seakan-akan kita tak bisa lagi menampik barang sejenak semua yang diujarkan media massa, yang dengan memanfaatkan efektivitas dan kecepatan teknosains dan tebaran media massa, dapat dengan mudah berada di mana-mana, mulai dari trotoar-trotoar jalan hingga ke sudut-sudut pedesaan.
Di zaman citra dan era digital kita saat ini seakan-akan tempat-tempat ritual ibadah abad ini adalah pasar dan mall-mall, di mana kita dapat dengan segera menumpahkan hasrat dan kerinduan kita untuk mencintai benda-benda yang lebih nyata, yang memang ada di depan kita dengan kebaruannya yang terus mengalami modifikasi. Barangkali pula era berhala mutakhir kita.
Jadi, pada saat bersamaan, kalacitra adalah juga sebuah zaman yang dalam istilah Jean Baudrillard disebut era-nya masyarakat konsumtif, era ketika orang-orang senantiasa berhasrat untuk selalu membeli, bukan karena kebutuhan, tetapi karena memang seakan-akan senantiasa diperintah untuk selalu membeli dan mengkonsumsi.
Di era yang disebut sebagai era “masyarakat konsumtif”, sebagaimana para penulis dan sosiolog mutakhir menjulukinya semisal Jean Baudrillard dan George Ritzer, kita hidup di mana iklan begitu berkuasa alias digdaya dan menjadi firman-firman baru yang imperatifnya begitu halus dan merayu, menggoda dan menggiurkan, yang anehnya kita justru tak merasa diperintah oleh iklan-iklan tersebut.
Iklan-iklan itulah yang berfungsi sebagai “mesin pemompa hasrat”masyarakat konsumtif agar masyarakat atau orang-orang selalu membeli dan mengkonsumsi, yang menciptakan dan merekayasa kebutuhan, hingga setiap orang membeli bukan karena adanya kebutuhan pada benda-benda yang mereka beli, tetapi seringkali hanya sekedar mengikuti “trend” dan “gaya hidup” yang telah diciptakan dan direkayasa oleh sekian banyak reklame dan iklan yang bisa kita jumpai di mana saja, di sudut-sudut jalan, di tivi-tivi, di radio, di koran-koran dan tentu saja di social media.
Di zaman citra dan era digital ini, menurut para analis dan penulis mutakhir itu, kapitalisme telah menciptakan dan mendefinisikan aspek sosial dan aspek kognitif-nya sendiri dengan diskursus dan pencitraan yang cepat dan massif, yang seringkali lebih efektif dan lebih diterima ketimbang ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin agama untuk konteks saat ini, bahkan agama pun tak luput dari praktik-praktik “komodifikasi”, tengok saja dakwah-dakwah instant di tivi-tivi atau unggahan doa-doa dan pesan-pesan religius –juga sebaran modus-modus keagamaan di social media.
Siapa sangka, di zaman yang oleh Jean Baudrillard disebut sebagai era-nya “consumer society” alias masyarakat konsumtif inilah, agama dan kapitalisme telah berdamai dan berjalan mesra di segala aspek dan ruang yang saling berbagi, saling menunggangi, dan saling memanfaatkan. Mengenal kredo yang sama: “kehendak menolak benda-benda, berhala dan pasar dikutuk sebagai sebuah kegilaan”.
Di zaman citra dan era digital kita saat ini, kita terus dibujuk untuk merayakan ritual-ritual dan imperatif-imperatif material zaman ini bila tidak ingin dicap gila dan kampungan. Kita harus terlibat dalam segala transaksi bila kita tidak ingin dituduh sebagai para penyimpang. Bahwa justru karena kita tak bahagia dalam kebisuan dan kesepian, makanya kita mesti terlibat dalam keriuhrendahan sudut-sudut, etalase-etalase, dan pojok-pojok mall dan segala pasar komoditas, entah untuk membeli sesuatu yang kita butuhkan dan tidak kita butuhkan atau sekedar menikmati pemandangan yang seronok dan menggiurkan yang ditawarkan sekian ikon dan gambar-gambar, benda-benda, dan lain sebagainya.
Di sana kitab suci dan buku-buku keagamaan instant yang ditulis oleh para ustadz instan dan jadi-jadian bersanding dengan produk-produk pakaian dalam, sebuah realitas yang mungkin akan dicela oleh Isa Al Masih as bila saja hidup di zaman ini. Mungkin kita pun tak lagi berhak meminta atau pun menuntut kemurnian dari ajaran-ajaran dan perilaku-perilaku keagamaan kita. Seakan-akan tak ada satu pun yang luput dari ekspansi kapitalisme perdagangan dan komoditas di jaman ini, dari politik hingga linguistik.
Sebenarnya, ratusan tahun silam sebelum Giles Deleuze, George Ritzer, dan Jean Baudrillard menulis, Friedrich Nietzsche, sang filsuf yang juga penyair itu, telah memaphumkan kita dengan Zarathustra-nya, bahwa kita hidup dalam ambiguitas yang seringkali tidak kita sadari. Sarkasme Nietzsche tersebut, betapa pun sinis dan menelanjangi kita, adalah sebuah kejujuran luar biasa ketika ia mengatakan bahwa yang akan merebut perhatian paling besar kita di zaman ini adalah “pasar”.
Singkatnya, kita tanpa sadar, tengah merayakan nihilisme, yang anehnya seringkali tidak kita akui dengan jujur dan terus-terang sebagaimana Nietzsche mengakui dan meramalkannya berabad-abad silam.
Sulaiman Djaya, Pekerja Budaya