“Jangan kaujadikan dirimu laksana binatang buas lalu menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu sesungguhnya hanya satu diantara dua: saudaramu seagama atau makhluk Tuhan seperti dirimu sendiri.” (Surat Imam Ali untuk Gubernur Mesir)
Sebelum wafatnya, almarhum Gus Dur pernah berkata: yang lebih penting ketimbang politik adalah kemanusiaan. Pernyataan almarhum Gus Dur itu menegaskan bahwa politik adalah instrument tindakan yang sepatutnya menjadikan kita lebih manusiawi. Politik dalam artiannya yang religius sekaligus manusiawi adalah menyebarkan kebajikan seperti sungai yang menghidupkan dan menumbuhkan yang dilalui dan disiraminya. Karena itu, politik dan kepemimpinan harus dijalankan dengan menghimpun dan menyatukan. Karena hanya dengan persatuan lah kekuatan bangsa ini bisa diwujudkan.
Bila demikian, sangat penting bagi kita untuk menjaga kerukunan dan menghindari perpecahan dan gesekan yang hanya akan menyuburkan kebencian dan permusuhan. Hendaknya dalam berkampanye, kita mengajak, bukan mengejek. Merangkul, bukan memukul. Politik harus dipraktikkan dengan laku kasih sayang. Menyebarkan kesejukan, bukan sebaliknya. Jangan juga hanya demi kepentingan merebut kekuasaan, atau demi tujuan politik praktis, kita membodohi masyarakat dengan memperalat agama dan klaim-klaim keagamaan. Bila hal itu dilakukan, tak ragu lagi kita sudah secara langsung telah menodai kesucian agama.
Dalam konteks demikian, adalah perlu kita bercermin dan meneladani akhlaq politik figur-figur Islam teladan. Dalam suratnya kepada Malik Ashtar itu, Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berpesan, Jangan kaujadikan dirimu laksana binatang buas lalu menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu sesungguhnya hanya satu diantara dua: saudaramu dalam Agama atau makhluk Tuhan seperti dirimu sendiri.
Suatu hari, sebagaimana Abdul Warits meriwayatkannya dari Abu Amru bin al-Ala’ dari ayahnya, ia berkata, “Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata dalam khutbahnya, ‘Wahai sekalian manusia, demi Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Aku tidaklah mengambil harta kalian sedikit maupun banyak kecuali ini.’ Kemudian beliau mengeluarkan botol kecil berisi parfum dari saku bajunya lalu beliau berkata, ‘Ad Dihqaan menghadiahkan ini untukku.’
Dan diriwayatkan dari Abdullah bin Zurair al Ghafiqi, ia berkata, “Kami datang menemui Ali pada hari ‘Iedul Adha. Lalu beliau menghidangkan khazirah (daging yang diiris kecil-kecil) kepada kami. Kami berkata, ‘Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, alangkah baik bila engkau hidangkan kepada kami bebek dan angsa ini. Karena Allah telah menurunkan kebaikan yang sangat banyak.’ Ali berkata, ‘Wahai Ibnu Zurair, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidak halal bagi khalifah mengambil bagian dari harta Allah (maksudnya harta baitul mal) kecuali dua piring saja. Satu piring untuk ia makan bersama keluarganya dan satu piring lagi untuk ia berikan kepada orang lain.” (Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyq 12/373-374 dan Imam Ahmad dalam al Musnad, 1/78).
Memang, sebagaimana Rasulullah, Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah dikenal sebagai pemimpin yang zuhud dan bersahaja. Ad Dajili (1379:135), meriwayatkan bahwa “Suatu hari di masa kepemimpinan Imam Ali as, saudaranya yang bernama Aqil datang mengunjunginya. Saat itu udara begitu panas, keduanya berbincang di teras rumah, menghadap ke arah keramaian pasar. Tibalah saat makan malam, hanya ada roti kering dan garam. Jauh dari dugaan Aqil yang mengira akan makan besar dijamu oleh khalifah muslim negeri itu.
Tibalah saat Aqil harus mengutarakan maksud kedatangannya, ia berharap saudaranya dapat melunasi hutangnya yang cukup besar melalui kas negara. Imam Ali as sangat ingin membantunya, “Tapi tidak dengan uang kas negara” katanya tegas. Andai saja aku memiliki simpanan cukup, tentulah semuanya akan kuberikan. Aqil kecewa dan terus mendesak.
Setelah dialog panjang, akhirnya Imam Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata padanya: “Karena Engkau terus mendesak dan tidak mau mendengarkan pendapatku. Aku menyarankan sesuatu yang dapat melunasi hutangmu. Lihatlah kotak uang di pasar itu, saat pasar sepi, ambilah!” Mendengar itu Aqil pun sangat terkejut, lalu ia balik bertanya “Mengapa Engkau menyarankan kepadaku untuk mencuri uang pedagang yang seharian bekerja keras?” Imam Ali Karramallahu Wajhah pun menjawab: “Lalu, bagaimana bisa Engkau mendesakku untuk mencuri uang seluruh rakyat negeri ini?”
Apa yang dinarasikan dan diriwayatkan oleh Ad Dajili tersebut tak ragu lagi telah menyuguhkan kepada kita teladan agung di mana akhlaq dan politik merupakan satu kesatuan yang integral. Islam sendiri memang tidak pernah mengajarkan pemisahan antara akhlaq dan politik, sebagaimana kesalehan pribadi seorang muslim juga mesti termanifestasikan dalam kesalehan sosial atau seimbangnya antara yang mahdhah dan yang ghayru mahdhah.
Pesan Ali Bin Abi Thalib lainnya yang tak kalah berharganya adalah saran dan nasehatnya kepada Malik al Asytar, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Mesir di bawah kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah sendiri:
“Sesungguhnya keadaan orang-orang baik dapat diketahui dari penilaian yang diucapkan oleh kebanyakan rakyat awam. Maka hendaknya kaujadikan amal-amal saleh sebagai perbendaharaanmu yang paling kausukai. Untuk itu, kuasailah hawa nafsumu dan pertahankanlah dirimu dari segala yang tidak dihalalkan bagimu. Sikap seperti itu adalah yang paling adil bagi dirimu, baik dalam hal yang disukai ataupun yang tidak disukai. Insafkanlah hatimu agar selalu memperlakukan semua rakyatmu dengan kasih sayang, cinta dan kelembutan hati. Jangan kaujadikan dirimu laksana binatang buas lalu menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu sesungguhnya hanya satu diantara dua: saudaramu dalam Agama atau makhluk Tuhan seperti dirimu sendiri”.
Sulaiman Djaya, Pekerja Budaya























