Banten, LIPUTAN 9 NEWS
“Penulis mengajak kita semua untuk berhati-hati membuat kesimpulan ilmiah tanpa sumber-sumber yang kuat. Seperti kesimpulan Walisongo adalah keturunan Ba’alwi berdasarkan kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan, sementara para ahli dibidangnya berpendapat bahwa Salim bin Jindan ketika meriwayatkan berita tentang nasab dan sejarah tidak dapat diterima.” (KH. Imaduddin Utsman)
Syekh Salim bin Jindan, adalah ulama Ba’alwi pertama yang menyebut dalam kitabnya bahwa Walisongo adalah keturunan Ba’alwi. Walisongo dalam manuskrip-manuskrip tua Nusantara abad 17 disebut merupakan keturunan Syekh Jumadil Kubro terus tersambung ke Musa al Kadzim. Namun sekitar tahun 1940-an baru ditulis oleh ulama Ba’alwi semacam Syekh Salim bin Jindan bahwa Walisongo berasal dari keluarga Ba’alwi. lalu bagaimana ulama Ba’alwi yang tinggal di Yaman menilai sosok Syekh Salim bin Jindan yang banyak menulis kitab-kitab nasab itu.
Doktor Muhammad Badzib dalam Akun Media Sosial Saluran Telegram nya yang diposkan tanggal 16 Mei 2024 menyebutkan bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan “la yuhtajju biha wala yu’tamadu alaiha” (tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat dijadikan pegangan). Doktor Badzib mengutip pendapat Abdullah Alhabsyi dalam kitabnya “Maashadir al fikri al Islami fi al Yaman”.
Abdullah Muhammad Al-Habsyi menyebut bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan tidak baerfaidah dan dalam kitab-kitab itu ada “Mujazafah” (ucapan kacau dan tanpa referensi); didalamnya pula ada “al-khaltu” (ucapan rusak dan igauan orang yang tidak sadar) (h. 558).
Selain Abdullah Al-Habsyi, menurut Badzib, Sagaf Ali al Kaf pun berpendapat yang sama, bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan dalam ilmu nasab penuh dengan “akadzibu la yu’tamadu alaiha” (kedustaan dan tidak dapat dijadikan pegangan).
Selain kedua ulama itu, masih banyak ulama lain yang menilai kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan dalam nasab sebagai kitab-kitab yang tidak bermutu. Badzib menyebut juga seorang ulama yang bernama Masyhur bin Hafidz yang menyatakan bahwa Syekh Salim bin Jindan adalah seorang “hatibu lailin” (orang yang berbicara dengan semua yang terlintas dalam benaknya). Dan seorang peneliti bernama Ziyad al Taklah dan Doktor Sa’id Tulah keduanya mempunyai tulisan tentang Salim bin Jindan dan khyalan-khayalannya dalam menciptakan sanad-sanad hadis yang tidak berdasar.
Menurut Badzib, seorang professor dan pengacara, Fu’ad Tarabulsi menceritakan kepadanya, bahwa nama-nama yang disebut oleh Ibnu jindan dalam kitabnya-kitabnya banyak nama-nama fiktif “la wujuda laha” (tidak ada wujudnya). Badzib menyebutkan contoh: Syekh Salim bin Jindan menyebut bahwa sebagian dari guru-gurunya adalah seseorang yang disebut sebagai anak Al allamah Jamaluddin al Qasimi al Dimisyqi. Orang ini sama sekali tidak pernah ada yang tahu sebagai bagaian dari keluarga Al Qasimi. Keluarga Al Qasimi sendiri tidak mengenalnya.
Syekh Salim bin Jindan pula, menurut Badzib, memperlihatkan adanya kitab-kitab musnad keluarga Ba’alwi dan mengatakan bahwa kitab musnad itu manuskripnya terdapat di perpustakaan “Arif Hikmat”. Kitab-kitab musnad itu, menurut Ba’dzib adalah kitab musnad palsu dan tanpa dasar. Di perpustakaan “Arif Hikmat” yang ia sebutkan itupun tidak ada. Bahkan, di seluruh perpustakaan yang ada di atas muka bumi ini pun tidak ada, kecuali di rumah Salim bin Jindan, Kata Badzib.
Yang dilakukan Syekh Salim bin Jindan Itu, menurut Badzib, dijelaskan oleh teks langka yang terdapat dalam surat pribadi Alwi bin Taher Al-Haddad kepada muridnya Profesor Ali Ba’bud yang menyatakan, bahwa Ibnu Jindan mengidap penyakit Malecholia: ia membayangkan hal-hal yang tidak ada, lalu menduga keberadaannya, kemudian menulis imajinasi itu. Masyarakat yang tidak mengetahui kondisi kesehatannya menerimanya begitu saja sebagai informasi yang dapat dipercaya.
Sayangnya, menurut Badzib, orang-orang yang mengutipnya tidak berusaha untuk mengkonfirmasi dari mana sumber-sumber Syekh Salim bin Jindan ketika menulis kitabnya itu. Jika mereka melihat lebih dekat, mereka akan menemukan bahwa dia mengutip dari dokumen-dokumen palsu yang baru ditulis, yang ditulis orang-orang fiktif.
Dalam akun Telegramnya itu pula, Badzib memperlihatkan tulisan Aiman Al Habsyi tentang Salim Bin Jindan dengan judul: “Attahdir Min Ansab Ibni Jindan” (peringatan tenang nasab-nasab Ibni Jindan). Dalam tulisannya itu, Aiman diantaranya menyatakan bahwa ia bertanya kepada pamannya, Abu Bakar bin Ali al Masyhur, tentang kitab-kitab Ibnu Jindan, lalu pamannya menyatakan bahwa ia bertanya kepada Abdul Qadir Ahmad al Saqaf, maka ia berkata: “Salim bin Jindan orang baik, tetapi pendapatnya dalam nasab dan sejarah tidak boleh menjadi pegangan”.
Aiman al Habsyi pada mulanya hendak men-tahqiq kitab karya Syekh Salim bin Jindan yang berjudul “Al Dur al Yaqut”, ketika melihat didalamnya penuh dengan “musibah besar”, maka ia mengurungkan niyatnya. Bahkan, menurut Aiman, dalam kitabnya tersebut nasab-nasab Ba’alwi pun banyak “musibah besar”.
Dari uraian di atas, penulis mengajak kita semua untuk berhati-hati membuat kesimpulan ilmiah tanpa sumber-sumber yang kuat. Seperti kesimpulan Walisongo adalah keturunan Ba’alwi berdasarkan kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan, sementara para ahli dibidangnya berpendapat bahwa Salim bin Jindan ketika meriwayatkan berita tentang nasab dan sejarah tidak dapat diterima. Ia banyak memetik riwayat nasab dan sejarah itu dari ruang hampa tanpa adanya sumber. Termasuk riwayat Syekh Yasin Padang yang menjelaskan tentang Syaikhona Khalil Bangkalan yang diterima dari Salim bin Jindan. Harus benar-benar dikaji dengan logika ilmiyahdari mana Syekh Yasin Padang menerima banyak sekali riwayat tentang nasab dan guru-gurunya. Jika ia mendapatkannya hanya dari satu pintu, yaitu pintu Salim bin Jindan, maka yang demikian itu masuk dalam apa yang disebut oleh Aiman Al-Habsyi sebagai “musibah besar.
Begitupula tentang cerita hayal adanya sanad-sanad hadis keluarga Ba’alwi atau kitab-kitab musnad, semuanya telah diakui oleh pakar sejarah Yaman sendiri, semisal Badzib, bahwa kitab-kitab itu tidak pernah ada.
KH. Imaduddin Utsman Al Bantani, Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Kampung Cempaka, Desa Kresek, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.