Banten | LIPUTAN9NEWS
Suriah mengingatkan saya pada puisinya Nizar Qabbani, penyair legendaris Arab dari Suriah: Dengan mata yang cemas dia duduk merenungi gelas yang terbuka, kemudian berkata, “tak usah bersedih, anakku, kau telah ditakdirkan untuk jatuh cinta.” Anakku, siapa pun yang mengorbankan dirinya untuk kekasihnya, adalah seorang martir.
Puisi itu kini tetap relevan dan aktual, ketika di awal bulan Desember 2024 ini, Suriah kembali bergolak. Kelompok pemberontak, HTS, yang didukung Barat dan Turki, berhasil menggulingkan Bashar Al-Assad yang tak lagi mendapatkan bantuan Iran. Mungkin karena Iran sudah tersedot dengan perang lain, mungkin juga karena keterbatasan sumberdaya, selain kekecewaan mutakhir Iran pada Bashar Al-Assad yang menolak permintaan Iran untuk melawan Israel di fron Dataran Tinggi Golan.
Sementara Rusia juga masih disibukkan dengan Ukraina dan NATO. Barangkali juga Rusia dan Iran tak menginginkan terjadinya perang saudara kembali di Suriah, yang pada 2011 silam membara hingga bertahun-tahun selanjutnya. Dan lagi pula, menurut sejumlah pemberitaan, Bashar Al-Assad sendiri sudah tidak populer di mata rakyat Suriah di saat militer Suriah pun kehilangan semangat untuk mempertahankan Negara mereka. Mungkin karena kelelahan akibat bertempur selama bertahun-tahun, atau bisa jadi karena lemahnya ideologi.
Di sisi lain, menurut sejumlah analis, kelompok-kelompok teroris yang didukung Barat dan Turki, termasuk HTS, paska 2011, mengubah strategi mereka untuk mendapatkan simpati dan dukungan rakyat Suriah, seperti mengurangi praktik ekstrim dan kekerasan mereka hingga tampil dan berkomunikasi lebih santun dan ramah dengan warga Suriah.
Suriah, atau yang dalam literatur kuno juga disebut Aramia, berada di salah satu persimpangan jalan di dunia kuno, tempat bertemunya jalur kafilah dari kawasan Laut Tengah menuju ke Cina dan dari Mesir menuju ke Anatolia. Dahulu kala, di jaman-jaman sebelum pentarikhan Masehi, bala tentara Akkadia, Babilonia, Mesir, Persia, Yunani, dan Romawi pernah melintasinya.
Dan berabad-abad kemudian, orang-orang Turki dan para ksatria Perang Salib melintasinya. Sementara itu, pada zaman modern, bala tentara Prancis dan Inggris saling berperang untuk menguasainya.
Saat ini, sebagian kawasan itu dikenal dengan sebutan yang digunakan di masa-masa ribuan tahun yang lampau—Syria (di mana orang-orang Indonesia menyebutnya Suriah). Meskipun Suriah telah banyak berubah, apalagi akibat perang saat ini, gema sejarahnya masih tetap bergaung dan bergema di sana.
Sebagai contohnya adalah Damaskus, yang juga jadi ibukota Suriah. Konon, kota itu adalah salah satu kota tertua di dunia yang senantiasa berpenghuni sejak didirikan. Damaskus, yang terletak di kaki Pegunungan Libanon dan dilalui aliran Sungai Barada ini, telah berabad-abad lamanya menjadi oasis yang dinanti-nantikan di tepi Gurun Suriah yang luas.
Kemungkinan besar, dahulu kala, Ibrahim as melintasi kota ini dalam perjalanannya ke selatan menuju Kanaan (Funisia atau Fenisia). Dan, di sana pula ia mengambil Eliezer, ”yang orang Damaskus (Damsyik)”, menjadi anggota rumah tangganya sebagaimana dinarasikan Kitab Kejadian 15:2.
Meski mayoritas warga Suriah saat ini adalah muslim Sunni, namun di Suriah terdapat ‘kota suci’ ummat Kristiani Suriah (dan bahkan dunia), yaitu Antioch, yang tentulah sudah tidak asing lagi bagi Ummat Kristiani Orthodoks di Dunia (seperti bagi Ummat Kristiani Rusia dan Ummat Kristiani keturunan Suriah di Kerala, India).
Demikian pula, Gereja Antioch Purba dikisahkan dalam Kitab Kisah Para Rasul. Maka tak heran, bila Bashar Al-Assad sebagai Presiden, yang kebetulan muslim Sunni itu, pernah melontarkan pernyataan: “Hanya Vladimir Putin-lah yang membela ummat Kristiani”
Dalam Kitab Kisah Para Rasul itu disebutkan, misalnya, sepeninggal Isa Al-Masih putra Maryam yang disucikan, Rasul Petrus bertugas sebagai patriark yang pertama di Anthiokia. Selama tujuh tahun Rasul Petrus menjalani misi sucinya, sebelum bertugas ke Roma. “Sejak saat itu ajaran Kristen mengalami proses Helenisasi, diikuti dengan Westernisasi”.
Demikian pula kecantikan perempuan-perempuan Suriah bukanlah dongeng semata, termasuk kecantikan perempuan-perempuan Kristiani dari etnik (bangsa) Armenia dan Assyria itu, yang barangkali pula juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para mujahilin ISIS.
Terkait gejolak saat ini di Suriah, ada rumor bahwa kepentingan Barat mendukung para pemberontak Suriah, selain dalam rangka melemahkan ancaman potensial bagi Israel, juga punya motif untuk membangun pipa gas sebagai alternatif gas dari Rusia untuk Eropa, yang sejak perang Ukraina, Rusia memutus suplai gasnya ke Eropa karena kekecewaan Vladimir Putin atas sangsi Eropa dan Amerika kepada Rusia. Proyek pipa gas yang melintasi Suriah itu, konon, nantinya akan melibatkan Eropa, Turki dan Qatar.
Sementara, di sisi lain, Turki, selain punya kepentingan ekonomi, juga punya agenda geopolitiknya sendiri, semisal melemahkan ancaman dari orang-orang Kurdi di Suriah dan kalau bisa ‘menentukan’ penguasa Suriah yang nantinya akan bersahabat dengan Turki. Tetapi, kini Suriah sepertinya hanya menghadapi kemungkinan-kemungkinan saja, bahkan bukan tidak mungkin pula malah bernasib seperti Libya paska dikudetanya Muammar Qaddafi oleh Barat dengan menggunakan kelompok Islam pula sebagai proksi mereka.
Paska tergulingnya Bashar Al-Assad, Israel malah gencar melakukan pemboman. Bahkan sebagaimana yang disebarkan akun-akun media sosial, terbilang Israel membom fasilitas-fasilitas vital Suriah, terutama fasilitas militer. Sebuah tindakan yang jelas memiliki motif untuk menghabisi kekuatan militer dan sumberdaya Suriah. Paska tergulingnya Bashar Al-Assad, Suriah justru menghadapi ‘ketidakpastian’: apakah negeri itu akan bangkit lagi atau malah hancur terpuruk.
Semoga kekuatan-kekuatan global yang memiliki kepentingan di sana tidak melampiaskan kekejian seperti Israel, Amerika dan Barat yang hanya memperalat kelompok-kelompok Islam justru untuk menghancurkan dan melemahkan tanah-tanah dan perlindungan-perlindungan kaum muslimin.
Sulaiman Djaya, Pemerhati Kebudayaan