Banten | LIPUTAN9NEWS
Karya sastra, puisi dalam konteks tulisan ini, kerapkali lahir dan ditulis sebagai refleksi atau pun aspirasi. Ia merupakan aspirasi dan refleksi penulisnya atawa penyairnya atas pengalaman dan kehidupan keseharian, tapi acapkali juga, disengaja atau tanpa disengaja, merupakan aspirasi publik atau orang kebanyakan. Dalam hal ini, penyair hanya dipinjam untuk menjadi corong atau penyambung rasa dari orang-orang lainnya yang tak sempat atau tak mampu mengekspresikan aspirasi dan pandangan serta harapan mereka lewat karya sastra, melalui puisi contohnya.
Dalam relevansi demikianlah, kehadiran buku kumpulan puisi-nya Away Enawar, Turbulensi, terbit sebagai suara jernih warga Negara Indonesia yang merasa prihatin dengan realitas serta peristiwa-peristiwa sosial-politik, terutama sekali tingkah-polah para pemimpin serta para pejabatnya, yang kerapkali memberlakukan kebijakan yang tidak sejalan dengan semangat dan cita-cita didirikan dan diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam UUD 45 dan Pancasila.
Dari suksesi ke suksesi, dari pergantian kepemimpinan ke pergantian berikutnya, selalu saja terjadi kemandulan untuk sanggup menghilangkan budaya korupsi hingga praktik kekerasan aparat, yang sayangnya dalam rangka membela elit dan koporat segelintir ketimbang rakyat banyak yang merupakan fondasi dan alasan utama Negara didirikan dan menjadi wujud sebagai sebuah bangsa dan kedaulatan. Gambaran ini, setidak-tidaknya, dapat kita baca dalam pesan dan muatan tematik sejumlah puisi-puisinya Away Enawar (yang kini Ketua LSB Muhammadiyah Banten dan Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang) dalam buku itu. Sebutlah puisinya yang berjudul ‘Bukan Khotbah 5’:
“Mengerikan.
Hanya sekedar sebuah permainan
rakyat hanya dikalkulasi dalam angka-angka.
Statistika mereka tak pernah menyentuh jiwa.”
Membaca puisi itu, kita kok seperti malah berkaca kepada kasus Pagar Laut yang viral itu, yah ketika rakyat kecil dikorbankan dan dirampas ruang-hidupnya untuk bernafas dan mencari rejeki sekedarnya demi kepentingan elit segelintir, dan Negara seakan kehilangan kedaulatan untuk membela rakyatnya, rakyat kecil yang suaranya justru menjadi penentu suksesi, menjadi penentu utama pergantian kepemimpinan di kotak-kotak suara pemilihan, penentu utama siapa saja yang akan menjadi pemimpin mereka, tapi yang mereka pilih kerapkali ‘menyembelih’ peluang hidup mereka untuk lebih baik, untuk memiliki harapan hidup yang lebih baik dan lebih layak, atas nama regulasi dan kebijakan.
Sejumlah puisi yang terhimpun dalam buku Turbulensi adalah contoh ketika puisi menolak terasing dari masyarakat dan peristiwa sosial-politik yang melahirkannya. Ketika penyair tak terlampau asyik di menara gading romantisme picisan dan lebih memilih menjadi perwakilan aspirasi dan suara mereka yang tertindas dan termarjinalkan:
“Keputusan siapa harus dilaksanakan
bila hati tak bersemayam dalam peraturan.
Peraturan mana harus dipatuhi
bila kesejahteraan dimanipulasi.
(Keputusan)”
Membaca penggalan puisi itu, kita akan teringat apa yang juga pernah dikeluhkan Naomi Klein, ketika: Modal (korporat) bergerak cepat tanpa terhalang oleh norma-norma demokrasi, sementara perjuangan masyarakat terhambat oleh berbagai regulasi”, itulah penggalan pernyataan Klein, dari kalimat sebelumnya: “Tantang yang kita hadapi (saat ini) seperti balapan antara kecepatan perjuangan dan kecepatan modal”. Elit (korporat) segelintir itu kerapkali sanggup membajak (menyetir) Negara dan mengalahkan (mengorban) rakyat miskin, mereka yang termarjinalkan dan dimiskinkan oleh regulasi dan kebijakan politik yang memihak elit segelintir. Mereka yang dimiskinkan oleh struktur sosial, politik dan kebijakan Negara yang tidak berpihak kepada mereka.
Tapi Turbulensi tak hanya mengumandangkan kritik politik dan pembelaan kepada kaum kaum tertindas dan mereka yang termarjinalkan, tepatnya dimarjinalkan oleh struktur sosial dan kebijakan politik serta arus kekuatan modal elit segelintir. Beberapa puisi yang terhimpun dalam Turbulensi juga ternyata memiliki konsen dan minat pada soal-soal keagamaan, menghadirkan diri sebagai renungan-renungan keagamaan yang menyegarkan dan mencerahkan, dan yang menariknya justru tak mungkin dipisahkan dari masalah sosial-politik juga:
“Tulang sendiku terkubur tak terasa
bersama barisan kaum terusir dari tanah kelahirannya.
Teriakan sinis atas nama Tuhan
menutup gelombang isak tangis ibu-ibu yang kehilangan anaknya.
Jemariku tak lagi mampu melambai pada harapan-harapan
pada bulir-bulir tasbih yang terus kupilin berulang-ulang
atas nama Tuhan dalam tafsirku
tak kutemukan batas-batas kemanusiaan.
(Ngilu)”
Suasana meditatif dan keprihatinan puisi itu terasa kuat, liris sekaligus syahdu. Kita akan cepat akrab apa yang digambarkan puisi itu, peristiwa-peristiwa kekerasan beraroma keagamaan dan sektarian di negeri kita Indonesia, tetapi sesungguhnya ada tangan-tangan politik, katakanlah kepentingan politik, di belakangnya: dari mulai kasus Sampang, Madura (Jawa Timur) hingga Cikeusik Pandeglang, Banten beberapa waktu silam. Dan lazimnya, kelebihan puisi yang universal, selalu relevan untuk konteks dan jaman berikutnya ketika puisi bersangkutan kembali dibaca dan disimak.
Turbulensi merupakan sejumlah metafora untuk menggambarkan situasi-situasi dan peristiwa-peristiwa sosial keagamaan politik yang memprihatinkan dan membuat kita menegur diri kita sendiri. Mengajak kita untuk merenungi kemerosotan-kemerosotan laku hidup yang kita praktikkan yang membuat kita kehilangan nilai kemuliaan dan martabat sebagai manusia yang memiliki harga diri yang adiluhung. Kita diajak pula untuk berani mengkritik dan menegur laku dan polah mereka yang diberi kesempatan menduduki jabatan publik namun menyelewengkan atau menyimpangkan yang telah dititipkan kepada mereka. Juga, kita ditegur agar kita tidak mengotori kemuliaan kemanusiaan kita:
“Mengurai sampah menjelajah hidup
mengurai sampah menapaki hati.
Bersihkan sampah dari hatimu
bersihkan hati dari sampahmu.
Menggunung sampah membendung hujan
airnya meluap hadirlah musibah.
Bukan kurang dalam sungai itu
bukan tak sigap petugasnya.
Hatiku dan hatimu masih menyampah
menggunung sampah membendung rizki.
Langkahmu dan langkahku masih menyampah
menggumpal hati keraskan kepala.
(Mengurai Sampah)”
Puisi, dengan demikian, selain sebagai aspirasi dan ekspressi diri, juga penghayatan hidup. Memaknai dan memuliakan hidup, agar kita menjadi manusia-manusia bermartabat sekaligus manusiawi. Sehingga, laku dan politik yang kotor dan mengotori di negeri kita Indonesia, polah dan laku yang justru bertentangan dengan makna dan telos politik itu sendiri, lalu dibersihkan dan dicuci. Puisi menjadi mataair-mataair yang mengobati dahaga kemanusiaan akibat hilangnya kejujuran, integritas dan kasih. Turbulensi hadir sebagai interupsi atas segala yang mengotori kemanusiawian kita dan fitrah manusiawi kita dalam hidup keseharian.
Sulaiman Djaya, Penyuka kopi hitam tanpa gula