Bondowoso | LIPUTAN9NEWS
Beberapa tahun yang lalu, saya didaulat menjadi ketua Travelling keluarga besar Bani Nurkalam Prajekan Bondowoso. Saat itu, saya masih aktif menjadi ketua Paguyuban Bani Nurkalama selama 12 tahun memimpin traveling satu unit bus Parawisata yang memiliki kapasitas enam puluh orang.
Selama dalam perjalanan dari Bondowoso menuju kota Yogyakarta semua anggota keluarga dalam tanggung jawab saya termasuk dibidang fiqih travelingnya mulai cara berdoa perjalanan, etika perjalanan, sholat perjalanan dan fiqih perjalanan lain.
Well, saat tiba di kota Klaten kami mampir ke masjid Jamik untuk rehat sejenak dan shalat berjamaah yang dijamak dan di qashar. Rupanya, kebanyakan dari mereka tidak mengetahui bagaimana cara shalat jamak dan shalat qashar.
Syahdan, sayapun dengan sabar mengajari dan membimbing mereka yang rata rata orang orang yang sudah sepuh semua ilmu shalat jamak dan qashar. Tidak hanya menerangkan secara teori tetapi saya bertindak menjadi imam shalat supaya mereka bisa praktek langsung. Sejak itu, saya terbersit ingin membuat buku semengan judul “Fiqih Travelling”.
Fiqih traveling adalah pembahasan hukum-hukum traveling dalam pandangan Islam. Islam sebagai agama yang komprehensif tidak pernah melewatkan pembahasan yang menyangkut kehidupan manusia, seperti traveling.
Dalam terma agama Islam sendiri, traveling atau fiqih traveling dikenal dengan istilah safar atau bepergian. Dalam terma agama Islam ini, safar atau traveling tidak merujuk kepada perjalanan untuk berwisata saja, melainkan merujuk kepada banyak hal seperti bepergian untuk berdagang, berhaji, ziaroh, silaturahmi dan mengunjungi kerabat dan lain sebagainya.
Sekarang ini istilah traveling sangat nge-trend sekali dikalangan kaum milenial. Bahkan traveling sendiri sekarang menjadi hobi baru para kaum milenial. Traveling dalam bahasa kaum milenial ini pada umumnya tidak merujuk kepada pengertian traveling dalam bahasa agama. Traveling dalam kacamata kaum milenial merujuk pada sebuah arti perjalanan untuk berwisata atau berekreasi.
Fiqih Traveling dalam Tinjauan Hadis Nabi
Sebagai pengantar bahasan mengenai fikih traveling dan sebelum membahas lebih jauh mengenai fikih traveling yang berkaitan dengan adab, tatacara beribadah seperti sholat jama’ dan qosor, penulis ingin memberi sedikit gambaran mengenai traveling dalam tinjaun hadis Nabi. Rasulullah Muhammad bersabda
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
Artinya: “Safar (bepergian) itu bagian dari azab. Seseorang akan terhalang (terganggu) makan, minum, dan tidurnya. Maka, bila seseorang telah menunaikan maksud safarnya, hendaklah ia menyegerakan diri kembali kepada keluarganya.”
Dalam tinjauan hadis Nabi ini malah menunjukan bahwa traveling atau safar merupakan bagian kecil dari azab. Azab disini menurut sebagian para ulama diartikan sebagai kesusahan. Mengapa traveling ini bisa dikatakan sebagai azab atau kesusahan…?
Banyak hal yang bisa dijadikan alasan mengapa traveling atau bepergian bisa dikatakan sebagai kesusahan. Karena dalam konteks dahulu ketika nabi Muhammad hidup, sebuah perjalanan mesti ditempuh dengan berjalan kaki ataupun naik unta dengan melewati padang pasir yang begitu panas. Tentu hal ini menimbulkan kesusahan bukan main dari mulai perbekalan, cuaca yang tidak menentu, keamanan dll.
Ibnu Hajar Al-Asqlani mengatakan bahwa azab dalam traveling ini bisa diartikan sebagai rasa sakit yang timbul dari kesulitan yang dihadapi ketika berkendaraan dan berjalan sampai harus meninggalkan hal-hal yang disukai. Semenatara itu menurut Imam Haramain, gurunya Imam Al-Gazali azab ini diartikan sebagai berpisahnya dengan orang-orang yang di cintainya. dan jelas apabila kita melakukan traveling maka kita akan meninggalkan orang-orang yang kita cintai terutama keluarga.
Namun demikian, ada yang mengatakan bahwa majunya zaman dengan perkembangan teknologi yang luar biasa menjadikan traveling atau bepergian ini bukan merupakan suatu kesusahan atau azab lagi melainkan suatu kenikmatan. Dengan bantuan teknologi semuanya akan bisa dengan mudah. Walaupun demikian tetap saja yang namanya perjalanan akan tetap bagian kecil dari kesusahan, pertama dimulai dari mengumpulkan uangnya, mengurus paspor dan lain sebagianya.
Traveling selain menyusahkan ternyata juga bisa menyehatkan dan menyenangkan. Dan traveling seperti inilah yang paling disukai oleh kaum milineal dan semua orang pada umumnya, karena tujuan dari traveling inin untuk mencari kesenangan dan melepas penat sehingga bisa menyehatkan pikiran dan hati.
Nabi Muhammad bersabda;
سَافِرُوا تَصِحُّوا
Artinya: “Bersafarlah, maka kalian akan sehat”.
Dan jelas, hadis ini sangat sesuai dengan pengertian bahwa traveling atau bepergian adalah untuk berwisata dan mencari kesenangan. Dan ketika pikiran senang maka jiwa dan raga akan menjadi sehat.
Manusia sebagai mahluk yang diciptakan oleh Allah ini terdiri dari dua unsur yaitu jiwa dan raga. Dan jelas traveling ini akan membantu menjaga kesehatan jiwa dan raga tersebut. Dengan traveling seseorang akan sering menjaga kondisi tubuhnya, dan dengan traveling, jiwa dan pikiran menjadi sehat dan segar kembali.
Demikianlah sekilas pandangan hadis mengenai traveling, dan agar traveling yang kita lakukan bisa menyenangkan dalam pandangan agama maka wajib hukumnya untuk belajar fikih traveling seperti hukum ibadah dalam perjalanan, akhlak dalam perjalanan dan lain sebagianya. Jangan sampai orang yang suka traveling ini mengabaikan fikih traveling karena akan bertentangan dengan syariat agama, oleh karenanya para traveler wajib hukumnya belajar fikih traveling.
Salam akal sehat, Klaten, 18 Maret 2025
Dr. KH. Muhammad Saeful Kurniawan, MA, Penulis buku Desain Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Teori dan Praktik Penelitian
Read More Here Lumi wallet login