Lets the beauty of what you love, be what you do.
The beauty you see me is reflection of you.
(Jalaluddin Rumi)
Karakter etos sejatinya lahir dari sosok kepribadian seseorang ataupun kepribadian kolektif suatu bangsa. Karakter etos adalah elan vital dan ikon kuat yang dijalani secara konsisten dalam sikap dan perilaku. Setiap orang dan bangsa memiliki karakter etos dan kepribadiannya sendiri yang bisa dibedakan dengan orang lain. Jika ada semilyar manusia, maka dipastikan ada semilyar pula karakter kepribadiannya.
Dalam tulisan ini saya menampilkan dua pola kepribadian, namun ada dalam satu sosok seorang perempuan. Dua pola kepribadian ini pada umumnya menjadi karakter terpisah dan berbeda antara kepribadian satu dengan yang lain, yaitu kepribadian perempuan cantik dan kepribadian pegiat wirausaha. Khususnya perempuan wirausaha yang baru memulai bisnisnya.
Perempuan cantik biasanya enggan kotor, pesolek, dan selalu menjaga penampilan. Berbeda dengan perempuan wirausaha yang baru memulai debut bisnisnya. Mereka biasanya harus siap kotor, kerja keras, dan tak kenal menyerah. Tulisan ini ingin menyodorkan sosok perempuan cantik, muda, dan sukses, dengan karakter etos kewirausahaan yang kuat, siap kotor, gigih, giat kerja, dan tak kenal menyerah.
Sosok karakter etos perempuan cantik yang berwirausaha saling menyokong untuk menghidupi ekonomi keluarga. Sosok anak perempuan dari keluarga Betawi. Anak dari ayah blantik sapi dan kambing. Dagangannya diserahkan penuh ke anak gadisnya yang sedang ambil kuliah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Si anak bekerja bekerja berbagi waktu antara tugas kuliah dan melayani para pembeli dengan ramah. Cantik si gadis, namun berani kotor dan tanpa risih dan canggung melayani. Cantik sejati tak semata jadi etalase dan pamer di rumah kaca. Tetapi gigih dan giat bekerja untuk sukses mengabdi pada kehidupan. Teladan kegigihan, keteguhan, dan kerja keras.
Sejatinya cantik itu relatif dan tidak bisa indikator universal. Bahkan cantik itu bersifat parokialistik dan lokalistik milik subyektiftas suku dan ras tertentu. Namun semakin kencangnya hembusan globalisasi, memberi kesan seolah gambaran cantik itu semakin kuat mengarah kepada perempuan Berbie berkulit putih dari Eropa dan Amerika. Secara tidak sadar, menjadikan cantik khas wanita Barat menjadi referensi kecantikan dunia. Referensi itu semakin diperkuat oleh kekuatan ekonomi, teknologi, & pasar yg telah menglobalisasikan budayanya. Menjadikan cantik itu diperdagangkan & persaingkan. Seolah bagi yg kalah & tidak mampu bersaing tidak berhak untuk disebut cantik atau tidak boleh menjadi referensi cantik.
Sejatinya orang Afrika dan Afro-Americans juga punya definisi dan gambaran tersendiri tentang cantik, berbeda dengan orang Eropa dan Amerika kulit putih. Orang Afrika berkulit hitam tidak bisa dipaksa punya gambaran yg sama dengan orang kulit putih. Oleh karena itu, kita jangan pernah mau didekkte untuk mendefinisikan cantik menurut orang lain. Jadilah diri kita sendiri dan dimulailah dari dalam diri kita sendiri.
Hanya karena kesadaran kita dibombardir terus menerus oleh media, khususnya media Barat sehingga kita punya imaji cantik itu identik dengan kulit putih. Bedak dan bonekapun harus putih. Memberi kesan seolah hitam itu gelap, dan kotor. Cantik itu seperti wanita Barbie berkulit putih dari Paris, New York, London dan terutama dari pusat-pusat mode dunia. Hitam itu identik dengan jelek, kotor, dan gelap.
Sekarang coba kita berandai-andai kemajuan peradaban dunia itu ada di Afrika. Pusat mode dan industri kecantikan dunia itu ada di Afrika. Pasti kita semua berlomba-lomba meniru wajah Afrika. Bedak kita bukan putih, tetapi hitam. Bahkan itu bagi orang desa tidak perlu sulit mencari bedak, cukup pantat wajan-pun juga jadi.
Sekarang pada diri orang-orang tertentu justeru gambaran cantik itu telah bergeser dari bermakna indah menjadikan kita rasis tanpa sadar. Kesadaran rasis berdasarkan warna kulit dan orientasi cantik. Menerima begitu saja kesan dan gambaran monolitik tentang cantik berdasarkan warna kulit. Apa yang salah ?? Yang salah adalah kesadaran diri kita sendiri yg reseptif, tidak kritis, dan menerima kebudayaan begitu saja. Terutama kosmopolitanisme budaya kaum urban melalui marketing & tebaran media promosi dan iklan komersial. Budaya inilah yg diglobalisasikan ke seluruh penjuru dunia. Diglobalisasikan dari pusat-pusat metropolis dunia ke daerah-daerah pinggiran (peripherals) di kampung-kampung kita.
Oleh karena itu, buatlah definisi cantik itu selalu relatif dan subyektif. Tak semata cantik lahir, tapi juga cantik batin. Tak semata kata benda, tetapi juga kata kerja. Tak semata suka bersolek. Tetapi juga mau bercermin. Seperti kalam hikmah dari Jalaluddin Rumi : Biarkan keindahan dari apa yang kamu cintai itu menjadi apa yang kamu lakukan. Walaupun tidak mudah untuk menggeser semua kepribadian itu. Apalagi jika sudah dimapankan menjadi perilaku dan kebiasaan.
Saat ini banyak para Kartini Indonesia yang sudah maju, mandiri, dan sejahtera. Namun nun jauh di pelosok desa kita masih banyak perempuan yg perlu diberdayakan & disejahterakan. Mereka berani kotor, berkeringat, dan kerja keras sekedar mengais rezeki untuk keluarganya. Namun mereka tetap tegar dan berani bertaruh untuk kehidupan dan kesejahteraan keluarganya. SELAMAT HARI KARTINI 2025. Salam dari Kartiyem, Karsiyem, & Kartinem di pelosok desa untuk kita & Anda semua. Salam HSG.
Depok 21 April 2025.
Prof. A. Hanief Saha Ghafur, Ketua Umum Pengurus Pusat Majelis Kridatama Pancasila (PP- MKP);
Dosen SKSG, Universitas Indonesia.