YOGYAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Di Sumatera Barat dan Utara, air tidak lagi sekadar air. Ia adalah ingatan yang basah, yang dingin, yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Ia adalah cermin yang pecah, memantulkan wajah-wajah yang terkejut, pucat dan pasi karena ada banyak warga yang kehilangan. Beberapa angka adalah jeritan. Beberapa angka, hanya kalkulasi.
Di Aceh misalnya pada pengujung November 2025, angka-angka itu menjalar naik seperti air bah yang enggan surut: 18 kabupaten, 526.098 jiwa terdampak, 102 yang meninggal, 116 hilang. Dan 292.806 jiwa mengungsi, tercerabut dari tempat tinggal mereka, dan terdampar di 403 titik pengungsian.
Mereka bukan sekadar statistik dalam Laporan Pantauan data Penanggulangan Bencana Alam Hidrometeorologi. Kita bicara tentang banjir, tentu saja, tentang luapan sungai, tanah yang longsor dan tentang hujan yang seperti tak kenal kompromi. Tapi, dalam setiap kata “banjir” itu, terselip ribuan cerita tentang ketidakberdayaan, tentang rumah yang lenyap dalam sekejap.
Mereka adalah denyut nadi yang terhenti, tawa yang hilang, dan tatapan mata yang kini hanya memantulkan langit kelabu, dan entah mengapa, pemerintan masih enggan menyebutnya sebagai “bencana nasional.”
“Nasional,” sebuah kata yang besar, yang agung, yang menyatukan. Ia seharusnya melampaui sekat-sekat geografis, administrasi, atau kementerian mana yang bertanggung jawab. Namun, kata itu kini seperti terikat, terbungkam oleh pertimbangan-pertimbangan yang mungkin, di mata para korban, terasa dingin dan mekanis.
Tetapi yang pasti, di balik setiap angka kerugian, ada denyut jantung yang terhenti, ada masa depan yang hanyut. Ketika kita menolak menyebutnya bencana nasional, kita seakan menolak mengakui bahwa duka di satu sudut negeri adalah duka seluruh republik.
Dan, nyatanya, di ruang-ruang rapat berpendingin udara di ibu kota provinsi – atau mungkin di Jakarta sana – kata “darurat” masih menjadi perdebatan semantik. Status tanggap darurat nasional belum diketuk palu. Seolah-olah, bencana harus mendapatkan stempel legalistik dulu sebelum diizinkan menjadi bencana yang sesungguhnya.
Kita bisa berdebat tentang definisi, tentang kriteria, tentang anggaran yang akan tersedot. Tapi, bukankah esensi dari sebuah negara adalah kehadiran, terutama saat warganya berada di titik terendah? Bencana alam tidak peduli birokrasi. Ia meratakan sawah, merenggut nyawa, tanpa memandang provinsi. Sunyi di Aceh sama sunyinya dengan sunyi di Tapanuli. Air mata seorang ibu di sana, asinnya sama dengan air mata kita di sini.
Mungkin kita semua layak mengajukan pertanyaan: kapan sebuah tragedi cukup disebut “nasional”? Apakah duka harus menyeberangi Selat Malaka dulu agar dianggap valid oleh pusat kekuasaan?
Bencana, bukanlah sekadar peristiwa alam. Ia adalah cermin dari kerapuhan manusia, dan sering kali, cermin dari kelalaian sistem. Ketika ratusan ribu orang kehilangan pijakan, dan pemerintah masih sibuk dengan definisi operasional status bencana, ada ironi yang mengiris.
Kita punya Posko Terpadu di Ruang Potda 1 Lantai 3 Kantor Gubernur Aceh. Kita punya data yang rapi jali. Tapi kita belum punya empati kolektif yang cukup kuat untuk melampaui sekat-sekat administratif.
“Setiap kematian,” mungkin tulisnya, “mengurangi kemanusiaan kita.” Dan 442 kematian di Aceh dan sekitarnya menurut data hari ini (1/12/2025) adalah musibah besar di permadani kebangsaan kita yang compang-camping.
Bagi mereka yang terendam, yang kehilangan sanak keluarga, status nasional atau bukan hanyalah kata-kata hampa. Air bah tidak peduli birokrasi. Ia datang, merenggut, dan pergi, meninggalkan lumpur dan pertanyaan: mengapa kita harus menunggu pengakuan formal untuk merasakan sakit yang sama?
Tapanuli dan Aceh kembali diuji, kali ini bukan oleh konflik, tapi oleh air dan mungkin, oleh hati yang beku di tempat lain. Wallahu’alam bishawab.
Dr. KH. Aguk Irawan MN, Lc, MA, Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta, Santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma’had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).
























