Massa atau kerumunan itu adalah sebuah anonim, tulis Kierkegaard, filsuf dan teolog Denmark itu. Tapi lain Kierkegaard lain pula Canetti yang baginya ‘massa’ atau ‘kerumunan’ yang anonim itu acapkali berubah menjadi amuk atau amok alias kerusuhan sebagaimana pengalaman Canetti di masa-masa krisis ekonomi yang melanda Eropa.
Tapi di saat ini, pencipta kerumunan adalah media massa, semisal dalam kasus Insiden Mahsa Amini, di mana media media Barat dan juga media di Indonesia menyebarkan hoax dan kebohongan, hingga diiyakan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai pembela HAM dan demokrasi, namun dibajak hasrat kuasa segelintir elite Barat untuk mengkudeta pemerintah Iran.
Dan di belakang massa itu, ada aktor-aktor yang menggerakkan demi kepentingan politis dan ekonomis, para elite yang acapkali adalah kaum korporat yang memiliki kepentingan untuk meraih tujuan strategis, seperti motif ekonomi dan kekuasaan.
Dan tak tanggung-tanggung, di era pasar dan komodifikasi saat ini, para elite itu tak sungkan-sungkan membungkus retorika mereka untuk menggerakkan massa dengan menggunakan klaim-klaim dan slogan-slogan HAM dan kebebasaan, agar mereka yang hanya bisa dipantik dan disulut dengan klaim tersebut dapat digerakkan dan dikerahkan.
Singkat cerita, Insiden Mahsa Amini telah dieksploitasi oleh banyak media Barat dan juga media media mainstream di Indonesia untuk lebih mempromosikan Iranofobia dengan mengarang kebohongan untuk tujuan politik. Mereka memanfaatkan kondisi medisnya yang menyebabkan kematiannya.
Mahsa Amini menderita tumor otak dan telah menjalani perawatan selama beberapa waktu sebelum kejadian. Catatan medis mengkonfirmasi beberapa kunjungan Mahsa Amini ke rumah sakit untuk perawatan.
Berdasarkan fakta tidak terbantahkan rekaman CCTV, Mahsa Amini tidak pernah diserang atau dipukuli, melainkan didekati oleh seorang polisi wanita (polisi moral) dan keduanya terlibat pertengkaran verbal tanpa pertengkaran fisik. Hanya saja insiden Mahsa Amini itu telah menjadi alibi yang bagus bagi Barat yang sudah lama ingin Mengkudeta Pemerintah Iran.
Dan isu itu hendak dibawa Barat ke arena Piala Dunia Qatar 2022, meski Qatar berani menjadi diri sendiri dan tegas untuk tidak mencampur sepakbola dengan politik yang membajak klaim demokrasi dan kebebasan demi kudeta dan hegemoni Amerika Israel dkk.
Sementara itu, Qasht-e ersyad atau polisi moral di Iran baru ada di masa pemerintahan Mahmud Ahmadinejad, sebuah keppres yang murni lahir karena merasa bertanggungjawab atas pelaksanaan UU mengenai pewajiban jilbab yang sejak dikeluarkan begitu longgar penerapannya terutama dimasa Presiden Khatami. Kuat dugaan Mahmoud Ahmadinejad terinspirasi kesatuan polisi akhlak di Saudi Arabia.
Adapun dalam pelaksanaannya, kesatuan bentukan Ahmadinejad ini meskipun terhitung lumayan berhasil namun mendapat oposisi atau penolakan keras dari kalangan elit kota Iran yang mayoritas digerakkan oleh para aktivis HAM internasional dan para seniman domestik, sebab dalam praktiknya, keputusan presiden Ahmadinejad itu bukan hanya mengurusi jilbab tapi juga mengurusi atau mengatur model rambut laki-laki yang diklaim non revolusioner karena meniru model rambut ala Barat. Polisi moral di masa Mahmoud Ahmadinejad itu bahkan punya wewenang melakukan penggerebekan, namun untungnya di masa Mahmoud Ahmadinejad itu belum datang dan marak era medsos, sehingga nyaris tidak ada gejolak apapun atau pun tidak terekspos secara massif meskipun ada riak penolakan.
Sedangkan di masa Presiden Hassan Rouhani, polisi moral ini dialih tugaskan (untuk tidak menyebutnya: dibekukan atau dimandulkan), kerjanya cukup memantau dan membantu kepolisian dalam menjaga keamanan dari penyakit-penyakit moral masyarakat (seperti minum-minuman keras di tempat umum, hiburan yang riuh, premanisme dan lain sebagainya), yang akibatnya penerapan aturan jilbab yang dimasa Ahmadinejad sangat ketat dan super kaku menjadi begitu longgar sehingga semarak lah perempuan-perempuan berjilbab modis di kota-kota besar di Iran hingga merangsek sampai ke kota Qom yang dianggap sebagai kawasan dan situs suci oleh jutaan muslimin Syiah Iran.
Tetapi selanjutnya, yaitu saat ini, berkebalikan dengan era Hassan Rouhani, presiden Raesi kembali mengaktifkan gasht-e ershad atau polisi moral Iran dengan perubahan pendekatan yang lebih ramah, meski tetap berbuah ‘petaka’ politik, karena: Pertama, masyarakat sudah merasa terbiasa dengan jilbab modis dan kebebasan dalam berpenampilan dan berpakaian, kedua, sekarang adalah eranya medsos yang semuanya bisa digoreng dan didramatisir, dan seperti yang sempat heboh belum lama ini, terjadilah insiden Mahsa Amini dengan keterlibatan AS dan Barat dalam memproduksi berita-berita hoax yang menggiring wacana tuntutan kebebasan bagi kaum perempuan dalam berpakaian ke tuntutan penggulingan rezim atau regime change.
Dan akhirnya, setelah pengkajian tiga lembaga tinggi negara Iran dan dari kesimpulan yang ada, sabtu kemarin (3 November 2022), Kejaksaan Agung Iran menyatakan pembubaran gasht-e ershad atau polisi moral yang beberapa waktu lalu sejumlah aparatnya meninggal karena diserang para demonstran yang anarkis dan beringas.
Sulaiman Djaya, Ketua Bidang Perfilman Majelis Kebudayaan Banten