Kitab kuning istilah populer yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menyebut kitab-kitab turats yang ditulis oleh ulama sebelum era modern. Disebut kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning.
Kitab kuning membahas semua tsaqafah islamiyah sebagai penjelasan dari kitab induk yakni al-Quran dan hadis, termasuk bahasa Arab, sirah dan tarikh. Namun, yang banyak dikaji adalah tentang tafsir, syarah hadis, aqaid, ushul fiqih, fiqih dan tasawuf. Jumlah kitab kuning yang membahas bidang-bidang tersebut lebih banyak dibandingkan bidang lainnya.
Kitab kuning tentang politik, pemerintahan, kenegaraan, dan politik luar negeri terhitung sedikit. Pembahasan tentang topik-topik politik pada umumnya menjadi salah satu bab di dalam kitab fiqih.
Mengapa ulama jaman dulu tidak banyak menghasilkan kitab kuning tentang politik, pemerintahan, kenegaraan dan politik luar negeri?
Peran-peran ulama pada masa khilafah ada yang menjadi penguasa (khalifah/sultan). Ulama sekaligus penguasa merasa tidak perlu menuangkan pengetahuannya dalam sebuah kitab, sebab, pengetahuannya menjadi kebijakan pemerintah dan hukum positif negara.
Ulama yang berperan sebagai mitra penasehat penguasa (Syaikhul Islam). Ulama ini memberi arahan, bimbingan, dan saran kepada penguasa secara lisan dan tulisan, atas permintaan penguasa atau inisiatif sendiri. Yang berbentuk tulisan lalu menjadi sebuah kitab.
Ulama yang berperan sebagai rakyat biasa. Mungkin bagi mereka menulis tentang pemerintahan dan negara tidak terlalu urgen, karena masalah-masalah tersebut lebih bersifat maqashid ketimbang i’tiqad dan kaifiyat. Jadi, cukup dibahas prinsip-prinsip dasarnya saja. Tidak perlu dirinci serinci-rincinya. Tidak perlu ditulis masalah teknis pemerintahan seteknis-teknisnya.
Ditambah situasi dan kondisi khilafah di mana ulama tersebut hidup sedang berada di puncak kejayaannya. Atau meskipun belum sampai pada puncak kejayaan, khilafah dalam kondisi aman, makmur, dan stabil. Sehingga persoalan-persoalan kekhilafahan tidak perlu dibahas secara mendalam.
Peran ulama sebagai oposisi. Ulama oposisi berhadapan dengan khalifah bersifat otoriter, anti kritik dan kejam, yang membuatnya enggan kalau tidak mau dikatakan takut untuk membahas masalah pemerintahan dan kenegaraan. Barangkali mirip-mirip dengan kondisi ulama di Arab Saudi sekarang.
Dengan demikian tidak tersedia kitab kuning yang banyak bagi generasi selanjutnya untuk mengkaji masalah politik, pemerintahan, kenegaraan dan politik luar negeri.
Sedangkan kitab kuning merupakan karya ulama di masa khilafah. Kitab kuning bukan ditulis pada masa NKRI harga mati.
Lalu bagaimana? Apakah kitab kuning tetap relevan dijadikan maraji’? Ya, untuk kitab-kitab tafsir, syarah hadis, aqaid, ushul fiqih, fiqih, tasawuf, bahasa Arab, sirah dan tarikh.
Kitab-kitab bidang tersebut bersifat ilmu murni, non politis, berbasis pada periwayatan dan bersandar pada sanad.
Kitab kuning bidang-bidang ini ditulis bukan berdasarkan dari hasil observasi dan eksperimen. Bidang-bidang ini sulit diintervensi oleh penguasa. Teori Foucault tentang kekuasaan membentuk pengetahuan tidak berlaku. Artinya, sistem pemerintahan dan bentuk negara tidak berpengaruh.
Lain halnya dengan kitab kuning tentang politik, pemerintahan, kenegaraan dan politik luar negeri. Di luar pembahasan tentang maqashid dan prinsip-prinsip dasar, kitab-kitab kuning bidang ini sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial politik saat itu. Tidak dipungkiri apabila kepentingan penguasa (khalifah/sultan) mengintervensi penulisan kitab tersebut. Teori Foucault bahwa kekuasaan membentuk pengetahuan berlaku.
Di samping itu, situasi dan kondisi masyarakat pada masa kekhilafahan di Arab, Afrika Utara dan Turki, jauh berbeda dengan keadaan masyarakat, pemerintahan dan dunia internasional pada masa NKRI HARGA MATI
Untungnya, kitab kuning tentang politik, pemerintahan, kenegaraan dan politik luar negeri jumlahnya tidak banyak, sehingga ulama jaman kini tidak “manja” dan punya alasan untuk berijtihad sendiri, berkarya dan menulis kitab-kitab di bidang ini.
KH. Ayik Heriansyah, M.Si, Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT, Penulis artikel produktif yang sering dijadikan rujukan di berbagai media massa, pemerhati pergerakkan Islam transnasional, khususnya HTI yang sempat bergabung dengannya sebelum kembali ke harakah Nahdlatul Ulama. Kini aktif sebagai anggota LTN di PCNU Kota Bandung dan LDNU PWNU Jawa Barat. Pernah menjadi Ketua HTI Bangka Belitung.