Sebuah kajian nasab habaib yang dilakukan oleh Kyai Imaduddin Utsman al-Bantani banyak menarik perhatian.
Pro-kontra mewarnai diskusi dumay diberbagai flatform. Sayangnya pro-kontra ini tidak semuanya berada dalam jalur ilmiah. Tidak sedikit respon yang bersifat emosional bukan rasional disertai dengan tudingan-tudingan yang tidak mendasar.
Kajian yang dilakukan Kyai Imad, jika dilihat dari dua perspektif sama sekali tidak bertolak belakang dengan prinsip-prinsip keilmuan. Dari sudut pandang akademik (prinsip keilmuan modern) langkah dan metologi penelitiannya sudah sesuai dengan metodologi yang baku. Berangkat dari data primer, dilanjutkan dengan data sekunder, ditunjang dengan data tersier, semua dikaji secara holistik dan proporsional. Ada keterputusan sejarah yang sulit diverifikasi sesuai standart keilmuan modern. Missing-link ini yang akhirnya tersimpulkan bahwa nasab ba-alawi tidak terkonfirmasi.
Ada beberapa kyai dan ustadz baik dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan yang berusaha membantah penelitian Kyai Imad dengan merujuk pada kitab turots klasik yang menurut para pembantah ini terlewatkan dari referensi Kyai Imad. Pada kenyataannya referensi yang gunakan para pembantah inilah yang secara ilmiah bermasalah.
Jadi hemat saya, clear bahwa penelitian Kyai Imad sudah sesuai dengan standart penelitian ilmiah dengan kesimpulan bahwa ada keterputusan nasab ba-alawi yang tidak bisa dikonfimasi.
Jika tadi menggunakan metode akademik (modern) sekarang kita coba analisa dengan pendekatan ilmu tentang sanad. Atau metodologi ulama-ulama klasik dalam meneliti mata-rantai keabsahan sanat.
Dalam meneliti sanad, jika ada keterputusan mata-rantai (atau tidak terkonfirmasi dalam bahasa terkininya), maka jalur ini dianggap inqitho’, terputus, tidak bersambung. Jalur yang tidak bersambung ini dibagi menjadi 4 :
ويقسم العلماء الانقطاع إلى أربعة أقسام:
١ – أن يكون الانقطاع من أول السند.
٢ – أن يكون الانقطاع من آخر السند.
٣ – أن يكون الانقطاع من أثناء السند بواحد فقط.
٤ – أن يكون الانقطاع من أثناء السند باثنين فأكثر على التوالي.
Nomor satu disebut hadits mu’allaq, nomor dua disebut hadis mursal, nomor tiga disebut (secara istilah) hadis munqothi, sedangkan nomor empat disebut hadis mu’dhol.
Semuanya masuk dalam kategori hadis dhaif, karena sanadnya tidak muttashil.
Berdalil dengan hadits munqothi, maka tidak dapat dibenarkan kecuali ada qorinah dan syawahid yang menguatkan, misalnya, ada jalur riwayat lain yang muttashil. Atau ada riwayat lain baik maknawi atau lafdzi yang mendukungnya.
Nah, dari pisau analisa klasik (ilmu sanad) apa yang disampaikan Kyai Imad tidak ada yang menyalahi prosedur.
Sampai disini bisa kita pahami bahwa kajian dan penelitian Kyai Imaduddin Utsman al-Bantani tidaklah dilandasi kebencian atau untuk melahirkan kebencian terhadap para habaib sebagaimana dituduhkan beberapa pihak. Bahkan tuduhan tersebut merupakan bentuk kekerdilan cara berpikir dan kedangkalan wawasan penuduh.
Sebagai kajian ilmiah, tentu tidak bertujuan mendestorsi keberadaan habaib tapi sebaliknya dengan temuan faktual ini mendorong para habaib melakukan kajian dan penguatan syawahid atau qorinah secara ilmiah.
Alangkah eloknya kalau kemudian terjadi dealektika ilmiah. Dari tesa Kyai Imad lahir antitesa dan berkembang menjadi sentesa. Sekaligus inilah saat yang tepat bagi habaib untuk melakukan auto-kritik dan pembenahan terhadap perilaku beberapa “oknum” habaib sendiri. Wallahu a’lam.
Oleh: KH. Khotimi BahriWakil Katib Syuriah PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor, dan Dosen STEI Napala