Di masa Orde Baru, peranan dan eksistensi para Sadah (bentuk jama’ dari Sayyid) Ba’alawi atau yang lebih sering disebut sebagai habaib, tidaklah segempita saat ini. Selain tidak banyak majlis-majlis habaib kecuali yang sudah masyhur seperti Kwitang dan Al-Hawi, habaib masa itu identik dengan ulama keturunan Rasulullah SAW yang jumlahnya sangat terbatas.
Sebenarnya jumlah kaum habaib bukan sedikit atau setidaknya tidak beda jauh dengan saat ini, yang membedakan adalah tidak banyak yang berani tampil mengenakan pakaian kebesaran ulama dari kalangan mereka. Kebanyakan cukup dengan penampilan biasa dengan baju koko dan sarung. Tidak ada saat itu anak muda dari kalangan mereka yang berani berjubah dan bersorban dan mengaku diri sebagai habib dengan segala kebesarannya. Mereka risih dan malu, biarlah gelar habib melekat pada mereka yang betul-betul ulama. Setidaknya demikianlah yang saya amati saat itu.
Karenanya, jika menyebut Habib, maka yang muncul di benak masyarakat adalah Trio Habib Ali Kwitang, Habib Ali Alatas Bungur, dan Habib Salim bin Jindan. Kemudian generasi sesudahnya kita kenal Habib Muhammad bin Ali Kwitang, Habib Novel bin Jindan, Habib Umar Alatas Cipayung dan Al-Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Lalu Habib Husein bin Ali Condet dan Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf.
Kehadiran generasi habaib sesudahnya masih berlangsung terus hingga era reformasi. Dua sosok yang paling terkenal adalah Habib Rizq Sihab dan Habib Munzir Al-Musawa. Ini baru seputaran Jabodetabek, belum bicara di wilayah lain.
Jaringan habaib Ba’alawi ini tersebar luas ke seluruh pelosok Nusantara, bahkan di wilayah Indonesia bagian Timur, mereka adalah pelopor dakwah yang sangat berpengaruh. Bahkan beberapa kesultanan di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Maluku banyak yang terdiri dari Sadah Ba’alawi.
Jadi bicara eksistensi dan peran para Sadah Ba’alawi dalam dunia dakwah Nusantara tidak ada yang meragukan. Saat itu, model perjuangan dakwah mereka mengedepankan akhlak mulia, pendekatan humanis, dan kemampuan adaptasi yang tinggi dengan lingkungan sekitar. Inilah yang menjadikan dakwah mereka berhasil. Banyak ulama besar seperti Guru Sekumpul (nama populer untuk KH Zaini Abdul Ghani Martapura), dan para kyai besar lainnya yang menunjukkan ketersambungan ilmu (intisab) dengan para Sadah Ba’alawi tersebut. Bahkan hingga kostum yang mereka kenakan. Jadi secara historis, dalam bidang dakwah sangat kuat pengaruh para habaib tersebut.
Lalu datanglah era reformasi, ketika seorang Habib muda bernama Rizq Sihab muncul ke permukaan dengan FPI-nya. Diawali dari kelompok bernama PAM Swakarsa, mereka masuk barisan pendukung BJ Habibie yang baru menjabat Presiden menggantikan Suharto yang lengser pada 1998. Organ ini kemudian muncul dalam peran hisbah (menegakkan amar makruf nahi munkar) dalam bentuk sweeping tempat hiburan di Jakarta. Kemudian dibentuk cabang di berbagai daerah. Awalnya mereka tidak masuk ke isu politik, hanya di wilayah kemungkaran saja. Bahkan hingga Pilgub tahun 2012, mereka tidak ikut memenangkan calon yang agamis. Barulah saat 2014 Ahok yang akan menggantikan posisi Jokowi sebagai Gubernur, muncul gerakan-gerakan perlawanan. Bahkan dimunculkan gubernur tandingan saat itu.
Sejak itu kaum Ba’alawi mulai akrab terjun ke politik, mengusung isu politik dan mengambil bagian dalam proses politik. Tentu masih di level non-struktural, hanya melalui parlemen jalanan. Masyarakat makin akrab dengan demo demi demo yang kebanyakan arahnya satu: lengserkan Jokowi. Puncaknya adalah peristiwa 212 yang fenomenal itu.
Bagaimana sikap habaib lainnya? Kita lanjut ya…Bersambung
KH. Jamaluddin F Hasyim, Ketua Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Relasi Antar Lembaga, Ketua KODI DKI Jakarta.