LIPUTAN9.ID – Mereka bukan warga negara Indonesia (WNI), zhahiran wa bathinan, sebab mereka tidak mengakui keabsahan NKRI, menolak setia dan taat kepada ideologi dan konstitusi negara, tidak mau memberi loyalitasnya kepada Indonesia dan menentang pemerintah dengan penentangan yang ideologis. Alih-alih membela tanah air, mereka justru mau menghancurkan Indonesia agar bisa dibangun khilafah di atasnya.
Hanya secara administrasi mereka tercatat sebagai WNI. Punya akta kelahiran, ijazah sekolah, KTP, SIM, buku nikah, pasport, dan lain sebagainya. Dengan dasar catatan administrasi tersebut, mereka hidup bebas di Indonesia.
Mereka juga mendapat hak-hak politik layaknya WNI. Keamanan, kenyamanan dan ketentraman hidup mereka dijamin. Layanan publik seperti sekolah, rumah sakit, listrik, air, jaringan seluler dan internet, transportasi darat, laut dan udara, dan lain-lain, mereka ikut nikmati. Bahkan ada dari kalangan warga negara Khilafah menjadi aparatur sipil negara dan karyawan BUMN Indonesia.
Hak-hak politik mereka sebenarnya otomatis tercabut dengan sendirinya ketika mereka memberontak dan melakukan gerakan makar. Dengan perbuatannya itu, mereka telah mewajibkan pemerintah untuk memerangi mereka sampai mereka kembali setia dan loyal kepada negara. Atas dasar itu, Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dan Khalifah Ali bin Abi Thalib memerangi pemberontak dan gerakan makar di masanya.
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq memerangi warga negaranya yang mengaku nabi beserta pengikutnya, yang bernama Musailamah al-Kadzzab serta memerangi sekelompok orang yang menolak menyerahkan zakat kepada pemerintah. Kata Umar bin Khaththab, “Demi Allah, tiada lain yang aku lihat selain Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku pun tahu bahwa Abu Bakar berada pada posisi yang benar.” (HR. Abu Daud).
Khalifah Ali bin Abi Thalib mengancam akan mencabut hak-hak politik warganya yang membenrotak (khawarij) setelah merasa tidak mampu lagi menyadarkan mereka. Ali mengikat janji kepada mereka,
إن لكم عندنا ثلاثًا: لا نمنعكم صلاةً في هذا المسجد، ولا نمنعكم نصيبكم من هذا الفيء ما كانت أيديكم مع أيدينا، ولا نقاتلكم حتى تقاتلونا
“Kalian memiliki 3 hak di hadapan kami, [1] kami tidak melarang kalian untuk shalat di masjid ini, [2] kami tidak menghalangi kalian untuk mengambil harta rampasan perang, selama kalian ikut berjihad bersama kami, [3] kami tidak akan memerangi kalian, hingga kalian memerangi kami” (Tarikh al-Umam wa al-Muluk, at-Thabari, 3/114).
Ketiga hak politik ini otomatis hilang, ketika mereka melanggar perjanjian dan melakukan pemberontakan. Mereka dilarang shalat di masjid dan diperangi. Pemerintah Indonesia sekiranya meniru kebijakan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib dalam menangani warga negara Khilafah yang berkeliaran di Indonesia.
Hak-hak politik mereka dicabut sampai mereka insaf dan bertaubat, mau kembali setia, loyal dan membela negara Indonesia. Ini akan menjadi shock therapy bagi siapapun yang mau mendirikan khilafah dengan cara menghancurkan Indonesia, walaupun dengan dalih agama.
KH. Ayik Heriansyah, M.Si, Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT, Penulis artikel produktif yang sering dijadikan rujukan di berbagai media massa, pemerhati pergerakkan Islam transnasional, khususnya HTI yang sempat bergabung dengannya sebelum kembali ke harakah Nahdlatul Ulama. Kini aktif sebagai anggota LTN di PCNU Kota Bandung dan LDNU PWNU Jawa Barat. Pernah menjadi Ketua HTI Bangka Belitung.