Jakarta, LIPUTAN9.ID – Diskursus permaslahan nasab terus bergulir baik dengan diskusi publik maupun dengan komentar melalui media sosial. Tidak terkecuali perang opini intelektual, saling sanggah dan bersilat argumentasi anatara KH Imaduddin Utsman dengan Rumail Abbas.
Dikutip dari halaman RMI NU Banten, tentang sangahan atau jawaban Kiai Imad kepada Rumail Abbas dengan tajuk “Surat Cinta Untuk Rumail Abbas” pada, Rabu (06/09/23).
Inilah Sepucuk Surat Cinta Kiai Imad Untuk Rumail Abbas
Gus Rumail menyatakan dalam suatu kesempatan diskusi yang viral di Medsos, bahwa pendudukan Belanda di Indonesia adalah suatu pemerintahan yang sah. Ketika Habib Utsman bin Yahya bekerja untuk Belanda, maka ia hanya sebagai “PNS” biasa yang bekerja kepada pemerintahan yang sah. Ia tidak bisa disebut pengkhianat. Rumail juga mempertanyakan usaha-usaha kemerdekaan para pahlawan yang berjuang melawan Belanda di masa lalu. “Masih cukupkah alasan kita untuk memperjuangkan Indonesia, apa yang kita perjuangkan? Kemerdekaan. keKemerdekaan seperti apa?, Tanya Rumail. “Kemerdekaan di masa lalu seperti apa? sangat abu-abu”.
Ia juga, dalam kesempatan yang sama menyatakan: Sukarno itu tidak sehebat yang orang kira. Ia nampak hebat, hanya karena dikelilingi oleh orang yang bodoh yang tidak bisa membaca. “Kita melihat orang yang melawan VOC itu pahlawan, tapi bagi orang dimasa lalu mungin berbeda”, tegas Rumail. Pemberontakan para pejuang di masa lalu itu, misal untuk berperang dan membakar pendopo Belanda, menurut Rumail, dilakukan orang-orang bodoh yang diakalin orang lain.
Itulah paradigma berpikir Rumail Abbas dalam memandang Bangsa Indonesia dan para pahlawannya di masa lalu. Pandangan seorang keturunan imigran Yaman. Dalam suatu waktu, Ia menegaskan kepada penulis, bahwa ia berasal dari sebuah klan di Yaman. Ketika mendengar ungkapan-ungkapan Rumail itu, penulis bertanya dalam hati, apakah paradigma berpikir seperti itulah yang dimiliki keturunan imigran yaman hari ini?, atau ia hanya paradigma berpikir kebanyakan imigran Yaman di masa penjajahan, yang sisa-sisa paradigma berpikir itu masih diwarisi, diantaranya, oleh Rumail?, semoga semuanya salah. Karena kalau tidak, hari ini, mereka akan mengahadapi penulis dan seluruh putra-putri Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Karena bagi kami, Indonesia ini adalah tanah pusaka. Tanah warisan leluhur yang telah dijaga dan dirawat dengan cinta. Untuk mereka para leluhur di masa lalu, dan untuk keturunannya kami di hari ini.
Wahai saudaraku, Rumail: setiap pikiran, keringat dan air mata Sukarno dan kawan-kawan di masanya itu, bagi kami adalah “mesin penggerak” dari bahan bakar yang telah ada terpendam dalam dada setiap bangsa Indoneisa untuk memperjuangkan kemerdekaan. Sukarno, bagi kami, bukan orang biasa diantara orang-orang yang bodoh. Ia adalah sosok yang ditakdirkan Tuhan untuk merangkai semangat yang telah ada, dan menyulamnya menjadi perjuangan yang nyata. Sehingga kami, Bangsa Indonesia lalu merdeka. Kami suka cita, kami bahagia, kami merdeka.
Di hari bahagia kami, tanggal 17 Agustus 1945, mungkin ada yang menderita. Yaitu mereka, yang selama mereka tinggal di Indonesia, mengabdi kepada Belanda. Mereka khawatir, Bangsa Indonesia akan membalas dendam. Tidak, wahai saudaraku. Kami bukan bangsa pendendam. Kami bangsa Indonesia diajari akhlak mulia, budi pekerti yang luhur.
Kami Putra Samudera Pasai yang bijaksana; kami Putra Sriwijaya yang berperadaban; kami Putra Melayu yang santun yang tak kan hilang di bumi; kami Putra Pagaruyung yang bersendi adat, adat bersendi syara’; kami Putra Batak yang berkata apa adanya namun hati kami jernih sejernih air di Danau Toba; kami Putra Sekala Brak yang berbudi pekerti; kami Putra Kutai Martadipura yang berbudaya; kami Putra Luwu yang gagah perkasa dan baik hati; kami Putra Loloda yang pemberani dan tiada iri dengki; kami Putra Papua yang perkasa dan manis senyumnya; kami Putra Nusa Tenggara yang berwibawa; kami Putra Bali yang asri dan punya harga diri; kami Putra Majapahit yang mempersatukan nusantara dengan cinta; kami Putra Pajajaran yang silih asih, silih asuh dan silih wawangi.
Yang kami ingin hanya merdeka. Kami jaga, kami rawat dan kami kelola sendiri tanah, air, hutan dan udara warisan leluhur kami. Indonesia ini harta kami. Apa yang salah dari perjuangan orang yang menjaga harta bendanya. Nabi Muhammad Saw-pun menyatakan: siapa yang mati karena membela hartanya maka ia mati dalam keadaan syahid.
Wahai Saudaraku, engkau katakan: Pemerintahan Belanda ketika merampas tanah kami adalah pemerintahan yang sah. Jika rumahmu dirampas orang lain, lalu ia menguasai rumahmu, apakah ia lalu menjadi pemilik yang sah? Bagi perampas itu, dan antek-anteknya yang mendapat bagian harta dari rumah rampasan itu, mungkin akan mengatakan itu sah. Tapi tidak bagi dirimu pemilik rumah itu. Perampas itu adalah orang zalim yang wajib diusir dan dilawan, bila perlu dibunuh.
Pemilik rumah Indonesia ini adalah kami, wahai saudaraku. Kami nyatakan sekeras-kerasnya pernyataan, bahwa “Pemerintahan Belanda dan penjajah lainnya adalah tidak sah. Wajib diperangi. Wajib diusir”. Dan semua orang yang membela dan membantu Belanda ketika itu adalah penghianat, apapun alasannya. Dan yang dilakukan oleh leluhur kami di masa lalu, adalah perjuangan yang sah; mereka membakar pendopo Belanda itu tidak berdosa, dan mendapat pahala yang tiada tara; yang dilakukan leluhur kami di Surabaya, membunuh Malabi adalah jihad, berpahala surga. Dan itupula yang akan kami lakukan.
Jika hari ini, atau masa yang akan datang, ada orang-orang yang akan mengusik ke-Indonesia-an kami. Kami putra-putri Indonesia, dari sabang sampai Merauke, tidak akan tinggal diam. Ini janji kami. Untuk semua itu, kami akan korbankan apapun sebagaimana leluhur kami mengorbankan segalanya untuk kami hari ini. Seperti engkau mewarisi paradigama berpikirmu seperti di atas, begitu juga kami, mewarisi jiwa ksatria leluhur kami itu.
Setiap bangsa lain, yang hari ini hidup ditengah-tengah kami dengan sopan santun dan akhlakul karimah, akan kami jaga, akan kami lindungi, akan kami berikan kesempatan bereksistensi sesuai prestasinya dalam kehidupan, tetap dengan penuh sopan-santun dan jangan mengkerdilakan perjuangan leluhur kami, jangan mengusik kenusantaraan kami, peradaban kami yang luhur. Kami telah sepakat, dari Aceh sampai Papua, untuk ber-indonesia selama-lamanya; dalam suka dan duka; dalam segala keragaman kami. Bantu kami menjaga itu semua itu, wahai saudaraku, selama-lamanya.
Itulah, isi surat cinta yang dibuat Kiai Imaduddin kepada Rumail Abbas, yang dimuat di web RMI NU Banten, pada 6 September 2023. (YZP)