Banten | LIPUTAN9NEWS
Setelah berembug di antara mereka, akhirnya diputuskanlah bahwa yang akan berangkat kembali ke Gilinggaya tak lain adalah Sudamala dan Prabasena, dan setelah mereka menyiapkan diri, beserta beberapa perbekalan yang diserahkan langsung oleh Prabu Sri Jayabupati, mereka pun berpamitan dan segera menghilang dari balik gerbang benteng ibukota Banten Girang yang teduh itu, ketika udara sebenarnya masih terasa dingin dan merembes ke pori-pori tubuh mereka.
Hal yang sama juga dilakukan Aria Wanajaya, meski sebelum berangkat, ia sempat menitipkan segulung surat kepada seorang prajurit untuk diserahkan kepada Nhay Mas Dandan, kekasihnya dan istrinya tercinta.
Jarak yang harus mereka tempuh sama-sama jauh dan sama-sama harus menempuh setapak-setapak di antara beberapa hutan yang masih dihidupi oleh sejumlah binatang buas yang siap memangsa kapan saja. Namun itu bukan ihwal yang menggentarkan mereka dengan kanuragan dan disiplin latihan keprajuritan yang telah mereka pelajari cukup lama dari guru mereka masing-masing.
Di waktu malamnya, sebelum akhirnya berangkat di pagi buta, Aria Wanajaya memang sempat menulis sebuah sajak cerita, sebuah mantra, yang ia persembahkan kepada Nhay Mas Dandan, yang berkat pendidikan orang tuanya yang berkebangsaan Yunan, telah membuatnya sama terpelajarnya dengan Aria Wanajaya.
Hari itu adalah sebuah hari yang untuk kesekian kalinya menjadi takdir perjalanan sepi Aria Wanajaya, meski kali ini dengan beban dan tugas yang tak lagi sama. Dalam perjalanannya itu ia juga sesekali bertanya dan menerka-nerka siapa gerangan seseorang yang hendak ditemuinya atas perintah Sri Jayabupati tersebut, hinggga Prabu Sri Jayabupati begitu menyakralkannya.
“Pastilah reksi itu bukan sembarang reksi.” Bathinnya, sampai-sampai ia hampir tak sadar dan waspada ketika seekor ular raksasa telah berada di depannya. Dengan menyiagakan badan dan mengambil ancang-ancang di atas kuda kesayangannya yang bernama Aria Sentanu itu, Aria Wanajaya berhasil menghindar dari gerak ular raksasa tersebut, hingga akhirnya ia untuk beberapa kali berhasil menusukkan senjata miliknya yang beracun ke leher si ular yang tak ragu telah membuat ular itu langsung lumpuh setelah muntah, dan akhirnya tergelepar tak sadarkan diri.
Sejenak, sebelum akhirnya ia meneruskan perjalanannya, ia mengamati kalau-kalau ular raksasa itu masih hidup dan bernyawa. Namun tanpa ia duga, jasad ular tersebut mencair menjadi lendir yang segera meresap ke tanah setelah sebelumnya membasahi rumput-rumput dan ilalang di sekitarnya.
Berbeda dengan yang dialami Aria Wanajaya, sekelompok orang bersenjata dan mengenakan topeng di wajah mereka, tanpa diduga sebelumnya oleh Prabasena dan Sudamala, telah mengepung mereka. Tanpa ada basa-basi diantara mereka, mereka saling bergerak dan menyerang satu sama lain.
Pertarungan yang tak imbang dari segi jumlah tersebut hampir-hampir membuat Prabasena dan Sudamala mendapatkan celaka, jika saja kedua pemuda dari Gilinggaya itu tak gesit menghindar dan membalas serangan yang datang dan menyerang ke arah mereka berdua. Dengan sigap, tangan-tangan Sudamala dan Prabasena menerbangkan jarum-jarum beracun kepada para penyerang yang akhirnya berhasil mereka kalahkan.
Setelah mereka berhasil mengalahkan para penyerang itu, Prabasena dan Sudamala mengambil beberapa senjata milik para penyerang dan beberapa benda lainnya yang digunakan para penyerang untuk kemudian diserahkan kepada Prabu Sri Jayabupati ketika mereka kembali ke ibukota Banten Girang.
Meski kelelahan akibat pertarungan tersebut, Prabasena dan Sudamala tetap sampai di negerinya, di Gilinggaya, tepat waktu, yaitu yang kira-kira untuk saat ini, adalah ketika adzan magrib baru saja berkumandang. Sesampainya di negeri mereka, mereka pun langsung menuju tempat tinggal Ki Artasena demi menyampaikan apa yang diinginkan Prabu Sri Jayabupati kepada Ki Artasena.
“Begitulah, Ki, yang diinginkan Prabu Sri Jayabupati ketika kami menghadap.” Ujar Prabasena. “Baiklah jika begitu. Tak butuh waktu lama, esok, bahkan ketika fajar belum sempat menampakkan wujudnya, kalian akan dapat membawa si pemuda yang bernama Santanaya itu.” Kata Ki Artasena. “Sementara itu, kalian tunggulah di sini.” Lanjut Ki Artasena saat ia keluar dari teras rumahnya itu. Hanya butuh waktu satu jam lebih, Ki Artasena pun telah kembali dengan membawa serta Santanaya.
Tugas Ke Watu Lawang
Setelah meminta pendapat Nhay Mas Dandan, istri dan kekasih tercintanya itu, Aria Wanajaya akhirnya memantapkan niatnya untuk pergi mengunjungi Reksi Budawaka di Watu Lawang, sementara yang akan mengatakan kepergiannya itu kepada Prabu Sri Jayabupati adalah Nhay Mas Dandan sendiri.
Pagi itu, di pondokan mereka, cuaca cukup cerah meski udara masih terasa dingin, yang diiringi dengan kicauan para burung di sekitar tempat tinggal mereka dan dari sejumlah pohonan yang tak jauh dari pondokan mereka. Tentu saja, maksud kepergian Aria Wanajaya ke Watu Lawang demi menceritakan perihal apa yang sedang mengancam ibukota Banten Girang, dan agar Reksi Budawaka ikut menyiapkan sejumlah pemuda untuk dijadikan para prajurit demi menghadapi serangan dan gempuran yang datang dari kerajaan yang memiliki lebih banyak pasukan dan kekuatan militer yang rupanya tergiur dengan kemajuan dan kemakmuran Banten Girang yang juga telah dihuni orang-orang dari negeri Keling dan Yunan, selain para penduduk awal negeri tersebut.
Sebagai keluarga para pengrajin dan pedagang yang terhormat, keluarga Nhay Mas Dandan adalah keluarga yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang terbukti sangat penting bagi kekuatan Banten Girang. Melalui seorang duta-dagang dari dinasti Song di Cina Selatan, ayah Nhay Mas Dandan, Aki Gwan Sing, telah mengirimkan pesan dan menitipkan gulungan untuk diserahkan kepada penguasa dan dinasti di negeri yang jauh dari Banten Girang itu.
Salah-satu isi pesan dalam gulungan itu antara lain meminta untuk dikirimkan kebutuhan senjata dan beberapa perlengkapan perang lainnya yang sebagai gantinya akan ditukar dengan lada dan hasil tani lainnya yang dihasilkan oleh para petani dan pekebun di Banten Girang.
Suasana di pondokan dan tempat tinggal Nhay Mas Dandan dan Aria Wanajaya pun terasa syahdu ketika dengan kelembutan yang dimiliki Aria Wanajaya, ksatria dan perwira yang anggun itu mengecup kening dan kedua mata istrinya sebelum akhirnya berangkat menunggangi salah-satu kuda yang telah didatangkan oleh Sudamala dan Prabasena dari Gilinggaya sehari sebelumnya.
Suasana seperti itu pastilah tercipta setelah di waktu malamnya mereka memadu kasih dan asmara dengan gembira dan bergairah laiknya sepasang suami-istri yang belum lama menyatu dalam kehidupan rumah tangga.
Sesaat setelah kejadian romantis itu, Nhay Mas Dandan pun segera merapihkan diri untuk mengunjungi kedua orang tuanya di pedukuhan Kutaraja, tempat hidupnya para pengrajin dan orang-orang keturunan dari negeri Yunan dan Keling yang jauh.
Saat itu, Aria Wanajaya telah beberapa puluh kilometer mengomandoi kuda kesayangannya, yang ia beri nama Aria Sentanu, dengan bersemangat menyusuri setapak jalan menuju Watu Lawang di Gunung Karang.
Sedangkan hal yang berbeda dilakukan oleh Ranubaya, Surajaya, Sudamala, Prabasena, dan Santanaya, ketika mereka membagi diri mereka ke dalam dua kelompok sesuai dengan perintah Prabu Sri Jayabupati untuk menyelusuri hutan-hutan di Gilinggaya dan Laut Lor untuk mencari dan memerangi para pasukan dan prajurit mata-mata yang telah dikirim oleh kerajaan dari seberang lautan Jawadwipa alias prajurit-prajurit sebuah kerajaan yang datang dari Negeri Nusa Mandala atau Swarnabhumi yang telah dipimpin raja keturunan India, yang dengan demikian bila para prajurit mata-mata itu berhasil mereka tangkap, maka mereka tidak dapat memberi informasi tentang Banten Girang yang mereka dapatkan kepada kerajaan yang telah mengutus mereka.
Seperti saat pertarungan sebelumnya, Sudamala dan Prabasena tak pernah alpa untuk membawa jarum-jarum beracun yang ketika mereka lemparkan dengan tiupan tenaga dalam mereka dan yang akan melesat dengan sangat cepat melebih kecepatan anak panah dari para prajurit yang beberapa hari sebelumnya telah mencegat dan mengeroyok mereka.
Kemampuan itu mereka dapatkan berkat latihan dan disiplin dari dua orang ksatria yang datang dari negeri Yunan dan Keling yang menetap di Gilinggaya atas permintaan langsung dari Mpu Ranabaksa dan Ki Artasena.
Tetapi, di pedukuhan Kutaraja, di mana Nhay Mas Dandan telah sampai di rumah kedua orang tuanya, ia segera memeluk ayah dan ibunya sesaat setelah ia sampai di rumah kedua orang tuanya itu.
“Kau bahagia, Nhay Mas!?” Demikian ibunya, Nhay Ranamanti, menyapa putri kesayangannya itu.
“Aku sangat bahagia, ibu. Suamiku orang yang berbudi dan tangguh, dan tahu apa yang harus dilakukan kepada istrinya. Ia juga tak segan-segan bertanya kepadaku bila aku tampak murung dan gelisah karena apa yang harus ia lakukan untuk beberapa hari ini. Seringkali aku merasa khawatir kebahagiaan kami akan ada yang merenggutnya.”
Begitulah tutur Nhay Mas Dandan kepada ibunya tercinta. “Dan ibu,” lanjut Nhay Mas Dandan yang berhati riang dan berparas kuning lembut itu, “aku harus melakukan sesuatu yang telah diminta suamiku. Aku harus menemui Prabu Sri Jayabupati untuk menyampaikan amanat dan pesan yang dititipkan suamiku sebelum berangkat bersamaan dengan terbangunnya fajar tadi.”
Ketika anaknya hendak melangkahkan kedua kakinya itu, Aki Gwan Sing pun menyelipkan sesuatu untuk diserahkan kepada Prabu Sri Jayabupati. Sementara, Nhay Ranamanti memeluk anak kesayangannya itu dengan perasaan sedikit enggan, terkesima dan mungkin dirundung rasa syahdu yang hanya mampu ia pendam di dalam hati ketika anak semata wayangnya yang masih belia ternyata harus segera memiliki rumahtangga dan kehidupan sendiri.
Sementara Nhay Mas Dandan telah melakukan tugas yang dimintanya sebelum berangkat itu, Aria Wanajaya telah sampai di Watu Lawang, di sebuah pondokan gurunya. Ia segera menceritakan maksud kedatangannya tersebut kepada Reksi Budawaka. “Jika memang itu semua yang diminta dari ibukota Banten Girang, maka aku tak punya pilihan lain selain melaksanakannya dengan segera, jika memang sebuah ancaman yang gawat tak lama lagi akan datang,” kata Reksi Budawaka kepada Aria Wanajaya.
“Sementara itu, Ki, aku tak bisa tinggal lama-lama di sini, sebab aku masih belum terbiasa meninggalkan istriku.” “Tidak apa-apa!” Balas Reksi Budawaka menanggapi sopan-santun murid kesayangannya itu. “Lakukan saja apa yang menurutmu pantas untuk dilakukan. Meski setelah Mpu Ranabaksa mangkat, tugas itu tentulah sedikit terasa berat tanpa keberadaannya.”
Sulaiman Djaya, Pemerhati Sosial Kebudayaan