Banten | LIPUTAN9NEWS
Arsin, kepala desa Kohod, Kabupaten Tangerang, memang wujud kebejatan dan hedonisme pejabat publik kita. Ia berani menjual aset dan kedaulatan negara karena memang ada restu elit paling atas. Ia korbankan ruang hidup masyarakat kecil karena memang ia hanya perpanjangan korporasi parasit yang membajak Negara. Ia sejatinya bukan pemimpin, tapi manusia kuli dan mental upahan. Opas kalau di jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Memang dia mengoleksi mobil-mobil mewah, namun mentalitasnya adalah budak.
Di sisi lain, Kholid Miqdar, nelayan Pontang Kabupatan Serang, adalah representasi kejujuran dan kejernihan mereka yang tidak tergiur materialisme yang mengorbankan maslahat banyak orang. Namun seperti biasa, para buzzer dan orang-orang suruhan oligarki, rajin pula menyebar opini bahwa PIK2 membuka lapangan pekerjaan, meski aslinya PIK2 adalah upaya monopoli non pribumi atas pribumi.
Mereka merebut tanah untuk mereka eksclusifkan demi hanya semakin memperkaya lingkaran kecil mereka. Dan ujung-ujungnya mereka pula yang nantinya akan mengendalikan kepentingan lebih besar Negara ini, sementara kita menjadi tidak berdaya untuk memutuskan dan menentukan sendiri kebijakan politik. Dan di sinilah kesalahan kepemimpinan mantan presiden Jokowi yang berusaha dibenahi Presiden Prabowo Subianto.
Joko Widodo, diakui atau tidak diakui, telah menunjukkan kelemahan penguasa di hadapan pengusaha. Sangat berbeda dengan Bung Karno. Ia ‘korbankan’ aset masa depan dan kedaulatan Negara demi keuntungan kecil sesaat. Sehingga wajar bila ada saja rakyat Indonesia yang menganggapnya sebagai boneka oligarki semata.
Masalah mentalitas orang-orang seperti Arsin itulah yang akan menjadi batu sandungan dan penghalang paling besar bila negeri kita ini ingin maju dan menjadi bangsa besar. Ketika pembangunan di Negara lain dimaksudkan untuk mengentaskan kemiskinan rakyatnya, Proyek Strategis Nasional (PSN) kita malah mengorbankan rakyat demi membeli sekelompok kecil orang kaya untuk semakin diperkayakan oleh Negara. Negara dibajak sekelompok kecil orang untuk menyengsarakan rakyatnya. Sebuah pelanggaran berat konstitusi kita.
Sudah banyak tersebar berita dan postingan di media sosial bagaimana warga yang digusur dan disingkirkan oleh proyek-proyek orang-orang kaya melalui Negara tidak mendapatkan ganti rugi. Artinya proyek-proyek itu sesungguhnya melanggar semangat dan substansi konstitusi Negara kita di mana sumber daya alam dan kekayaan Negara-bangsa ini semestinya dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia bukan untuk korporasi parasit yang membajak Negara. Mestinya, Proyek Strategi Nasional bukan merupakan Proyek Sengsara Nasional. Terkait ini, kita perlu mendengarkan dengan seksama pernyataan LBH Jakarta dan KontraS berikut terkait PIK 2:
Pertama, pembangunan PIK 2 dan penetapan “coastal development” sebagai PSN yang telah menuai berbagai kritik sejak awal, merupakan bagian dari bentuk kebijakan negara yang melegitimasi praktik-praktik perampasan ruang hidup warga, berbagai pelanggaran HAM lainnya oleh sektor privat. Penetapan PIK 2 sebagai PSN oleh beberapa ahli juga dianggap hanya menguntungkan segelintir orang, ironisnya penetapan tersebut tetap dilakukan atas nama kepentingan nasional (oleh Presiden Joko Widodo).
Implementasi proyek PIK 2, apabila dicermati bahkan kontradiktif dengan dasar hukumnya sendiri. Misalnya, dalam PP 42/2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang meskipun secara regulasi sudah tertulis dengan baik, namun pada kasus PIK 2, pelaksanaan proyeknya justru memunculkan berbagai persoalan HAM, baik dalam aspek keamanan, sosial, maupun ekonomi, dengan salah satu yang paling terlihat ialah pemiskinan warga. Praktik-praktik seperti perampasan lahan, penutupan lahan sawah produktif, intimidasi menggunakan aparat maupun kelompok vigilante, hingga kriminalisasi bagi mereka yang menolak pembangunan merupakan fenomena yang umum terjadi pada seluruh kawasan proyek PSN di berbagai wilayah Indonesia.
Pola perampasan lahan dalam konteks pembangunan PIK 2 terjadi dalam bentuk dimintanya warga untuk menerima uang ganti rugi atau harga penjualan yang murah atas lahan mereka. Tindakan tersebut juga dilakukan dengan unsur paksaan, karena jika ada warga yang berani menolak, maka mereka akan mendapatkan intimidasi aparat pemerintahan lokal (desa), kelompok-kelompok vigilante (Tempo.co, 11 Mei 2024), hingga kriminalisasi, sebagaimana yang dialami oleh Said Didu beberapa waktu lalu. Kami menilai, pola-pola tersebut tidak seharusnya ada dalam suatu proyek pembangunan atas nama kepentingan nasional, sebab corak yang demikian justru malah menggambarkan upaya sistematis untuk memiskinkan warga secara struktural.
Kedua, dengan berbagai permasalahan HAM baik dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya, yang terjadi sebagai akibat dari proses pembangunannya, PIK 2 tidak pantas menyandang status PSN, bahkan sedari awal penetapan PIK 2 ke dalam PSN diduga kuat memiliki motif tukar guling politik. Kedekatan pemilik kongsi bisnis yang membangun PSN dengan beberapa elite, termasuk Joko Widodo saat itu bahkan dapat dilihat sebagai musababnya. Termasuk peranan pemilik kongsi bisnis tersebut dalam investasi di Ibu Kota Negara (IKN) yang secara ambisius didorong pembangunannya oleh pemerintah dengan tergesa-gesa tanpa memperhatikan kepentingan penduduk setempat.
Ketiga, peristiwa kericuhan yang terjadi sebagai kelanjutan dari insiden kecelakaan, tidak dapat dilihat sebagai persoalan hukum an sich atau bahkan tidak dapat dinilai sebagai konflik sosial belaka. Peristiwa ini harus dipandang sebagai ledakan aksi protes warga atas kebijakan pemerintah yang menyengsarakan dan merugikan warga, yang dalam konteks ini merupakan pembangunan PIK 2 sebagai PSN. Persoalan ekonomi, kesehatan dan sosial, serta berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya yang menyertai pembangunan PIK 2, harus dilihat sebagai tanggung jawab negara, oleh karenanya aparat keamanan seharusnya mengedepankan pendekatan yang persuasif, guna meredam kekacauan. Sayangnya yang terjadi ialah sebaliknya, sebab pada waktu malam di hari yang sama, aparat keamanan malah mengerahkan pasukan Brimob ke Teluknaga. Berdasarkan video yang kami dapatkan, sekitar 100 personil Brimob sambil mengendarai motor trail dilengkapi dengan senjata pengurai massa seperti tameng, pentungan hingga pelontar gas air mata mendatangi lokasi. Hal ini juga berujung pada penangkapan 22 orang warga.
Kami pun menilai bahwa pengerahan anggota Brimob di Teluknaga merupakan bentuk unjuk kekuatan secara berlebihan (Excessive Force) yang justru menebar rasa takut dan teror terhadap warga. Tindakan seperti itu, sebenarnya telah menjadi pola pelanggaran HAM yang dilakukan secara berulang oleh negara, khususnya dalam pelaksanaan PSN yang seringkali menggunakan pendekatan keamanan dengan cara menerjunkan aparat kepolisian hingga tentara. Pendekatan tersebut, diperparah dengan tindakan kekerasan yang seringkali diterima oleh warga. Alat negara pada akhirnya disalahgunakan, karena aparat keamanan yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi warga, sebaliknya justru dipakai dalam rangka merepresi warga yang sedang memperjuangkan hak-haknya.
Keempat, aktif dan masifnya mobilitas truk guna pembangunan PIK 2 yang melintas di lokasi tersebut pun telah melanggar ketentuan yang berlaku sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bupati Tangerang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bupati Nomor 46 Tahun 2018 tentang Pembatasan Waktu Operasional Mobil Barang Pada Ruas Jalan di Wilayah Kabupaten Tangerang.
Mengacu pada Pasal 3 Ayat (1) aturan tersebut, ditegaskan bahwa “Waktu Operasional Kendaraan angkutan barang dibatasi pada pukul 22:00 sampai pukul 05:00 WIB”. Sementara itu, truk tanah pada praktiknya beroperasi juga di luar jam-jam tersebut, sehingga sering terjadi kecelakaan lalu lintas, serta kerusakan jalan maupun dampak lingkungan seperti pemukiman dan jalanan yang berdebu yang membahayakan kesehatan warga setempat.
Pernyataan LBH Jakarta dan KontraS itu dikumandangkan tak lama setelah terjadi peristiwa kerusuhan di Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Mengutip langsung laman resmi bantuanhukum.or.id, LBH Jakarta dan KontraS menegaskan: Kericuhan tersebut, berawal dari insiden kecelakaan truk tanah yang melindas kaki seorang anak. Truk tanah yang terlibat dalam kecelakaan itu sendiri, merupakan kendaraan proyek pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, yang oleh Jokowi pada 18 Maret 2024 lalu dinyatakan sebagai bagian dari 14 Proyek Strategis Nasional (PSN) baru yang seluruh pembiayaannya berasal dari sektor swasta. Merujuk pada berbagai pemberitaan, truk dengan muatan tanah tersebut seringkali lalu lalang di pemukiman warga, bahkan di luar jam operasional pembangunan proyek. Insiden kecelakaan tersebut, akhirnya memantik kericuhan yang berujung dengan ditangkapnya 22 orang warga oleh Polres Metro Tangerang.
Alhamdulillah, beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo Subianto menegur langsung, bahkan dengan nada keras, aparat kepolisian agar berpihak kepada rakyat dan Negara, bukan kepada pihak-pihak yang menyengsarakan rakyat banyak.
Sulaiman Djaya, Pemerhati Sosial Kebudayaan