Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Membahas soal closet dan toilet bagi sebagian orang bisa jadi dianggap tidak penting. Apalagi dikaitkan dengan syariah. Apa pentingnya membahas tempat buang kotoran kencing dan tinja dan apa hubungannya dengan prinsip syariah?
Sebelum menjelaskan dan menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin bercerita sedikit: sekitar awal November 2024 yang lalu saya melakukan kunjungan ke dua negara eropa, Jerman dan Belanda untuk kepentingan asesmen halal dari BPJPH (Badan Jaminan Produk Halal). Saat di bandara ketika hendak mau ke toilet, saya bertemu dengan seorang pria membawa botol air dalam kemasan yang masih terisi separuh airnya. Saya menduga –sebagaimana kebiasaan saya–botol tersebut pasti akan digunakan untuk memudahkan saat nantinya bersuci dari najis air kecil. Ternyata betul, orang tersebut persis membuang air kecil tepat disamping saya, dan cara bersucinyapun sama dengan saya, yaitu menggunakan air yang terdapat di botol yang sebelumnya sudah di isi.
Cara seperti ini dilakukan sebagai bentuk hati-hati agar bisa bersuci (istinja) dengan benar sesuai ketentuan fikih serta aman dari percikan najis.
Kembali pada pertanyaan diatas; maksud closet dan toilet yang dirasa kurang ramah syariah, tentu tidak berlaku pada semua model closet atau toilet.
Sekurang-kurangnya menurut saya ada dua model closet dan toilet–khusus laki-laki–jika penggunanya tidak hati-hati atau tidak paham cara menggunakannya, maka konsekuensinya cara bersuci dari kencing dan kotoran tidak benar atau pakaianya menjadi najis (mutanajjis) disebabkan terkena percikan najis.
Dua model closet dan toilet yang dipandang kurang ramah syariah tersebut, adalah;
- Closet model berdiri dimana antara tempat saluran buang air kecil tidak disertai pembatas. Biasanya pembatas tersebut disebut dengan akrilik mika urine protektor.
- Toilet duduk dengan model jet washer toilet shower dengan menggunakan bidet. Bidet berupa alat pembantu yang menyemprotkan air untuk area intim pria maupun wanita setelah buang air besar. Toilet model seperti ini airnya keluar dari arah belakang setelah alat kontrolnya digeser. Model toilet seperti ini rentan percikan najisnya pindah kemana-mana yang menyebabkan pakaian dan area sekitar menjadi najis (mutanajjis).
Dua model closet dan toilet tersebut sering kita temukan pada tempat-tempat umum atau fasilitas umum, seperti di bandara, hotel, mal, rest area, rumah sakit, perkantoran dan tempat lainnya.
Kesesuaian Syariah Pada Fasilitas Umum
Sebenarnya belum ada peraturan yang menjelaskan tentang model closet dan toilet yang sudah memenuhi standar syariah. Hanya saja bagi masyarakat atau pengelola tempat fasilitas umum, jika ingin membuat closet atau toilet hendaknya dapat mempertimbangkan prinsip syariah yang memudahkan bagi penggunanya terhindar dari percikan najis.
Terkait pentingnya fasilitas umum seperti hotel misalnya bisa disebut sudah berkesesuaian syariah, dapat kita membaca keputusan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No: 108/DSN-MUI/X/2016
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam fatwa tersebut, terkait ketentuan hotel syariah sebagaimana dijelaskan pada poin 4 terdapat ketentuan sebagaimana berikut; Menyediakan fasilitas, peralatan dan sarana yang memadai untuk
pelaksanaan ibadah, termasuk fasilitas bersuci. Dalam Fatwa ini meskipun terkait dengan ketentuan hotel syariah, tetapi memiliki relevansi dengan pentingnya pengadaan fasilitas bersuci seperti closet dan toilet yang dipandang lebih mencerminkan penerapan prinsip-prinsip syariah, baik closet atau toilet di hotel, bandara, rest area, rumah sakit, perkantoran dan tempat/fasilitas umum lainnya.
Ancaman Bersuci dari Kencing yang Tidak Benar
Dalam istilah fikih, membersihkan najis yang keluar dari alat kelamin semisal kencing dengan menggunakan air atau batu dan benda sejenisnya yang bersih dan suci disebut dengan istinja’.
Dalam kondisi normal membersihkan kencing dengan menggunakan air dipandang lebih efektif dan lebih membersihkan.
Rasulullah bersuci dari najis kencing menggunakan air sebagaimana dipahami dari penjelasan hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim,
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عليه وسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلاَءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ.
Artinya, “Bilamana Rasulullah SAW masuk ke kamar kecil untuk buang hajat, maka saya (Anas RA) dan seorang anak seusia saya membawakan wadah berisi air dan satu tombak pendek, lalu beliau istinja dengan air tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang ancaman bagi seorang yang membersihkan (bersuci) dari najis kencing yang dilakukan dengan cara yang tidak benar.
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ , ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ: اﺳﺘﻨﺰﻫﻮا ﻣﻦ اﻟﺒﻮﻝ ﻓﺈﻥ ﻋﺎﻣﺔ ﻋﺬاﺏ اﻟﻘﺒﺮ ﻣﻨﻪ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Bersihkanlah dari kencing. Sebab kebanyakan siksa kubur adalah karena kencing” (HR. Daraquthni dan Al-Hakim).
Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim juga disebutkan tentang kisah orang yang disiksa dalam kuburnya karena masalah kencing,
إِنَّهُمَا يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا هَذَا فَكَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا هَذَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ
Artinya: Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang disiksa. Dan keduanya disiksa bukan karena perkara yang berat. Orang pertama disiksa karena tidak membersihkan dirinya dari air kencing. Orang kedua disiksa karena dirinya berjalan kesana kemari menebarkan namimah (adu domba) (HR. Bukhari dan Muslim 292).
Dalam ketentuan fikih, posisi buang air kecil yang benar adalah dengan cara duduk, tidak menghadap atau membelakangi kibat, tidak sambil bicara dengan orang lain, dan sebisa mungkin menghindar dari percikan najis.
Namun demikian, seseorang boleh kencing dalam keadaan berdiri–sebagaimana di toilet gantung pada fasilitas umum– dengan sarat, tidak menyebabkan terbukanya aurat yang dapat dilihat oleh orang lain, dan terhindar dari percikan najis. Jika saat kencing saja kita harus memperhatikan etika seperti disebutkan diatas, maka saat buang air besar juga berlaku ketentuan yang sama, terlebih kehati-hatiannya dalam hal bersuci.
KH. Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat dan Pengurus LBM PBNU