Shalat dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang sangat penting, karena itu ia disebut sebagai tiang agama. Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, sedangkan puncaknya adalah jihad di jalan Allah. (HR. Thabrani, 2616).
Kewajiban shalat semula ditetapkan dengan lima puluh kali sehari semalam pada saat Rasul s.a.w. diisra’kan. Kemudian diperingan menjadi lima waktu saja. Nabi Muhammad s.a.w. diseru: Wahai Muhammad, ucapan di sisi-Ku tidak bisa diganti. Lima waktu itu bagimu sama dengan lima puluh waktu. (HR. Bukhari, 349).
Demikian pentingnya ibadah shalat, sehingga merupakan ibadah yang pertama kali dihisab. Apabila shalatnya baik, maka baiklah seluruh amalnya, dan apabila shalatnya rusuk, maka rusaklah seluruh amalnya. (Tirmidzi, 465).
Shalat juga merupakan wasiat terakhir Rasulullah kepada umatnya ketika beliau akan wafat. Memperhatikan kenyataan ini, maka ibadah shalat akan sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian setiap individu muslim. Karena itu disebutkan dalam al-Qur’an bahwa shalat itu dapat mencegah seseorang yang melaksanakannya dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) lebih agung keutamaannya dari ibadah-ibadah lain. (QS. Al-Ankabut, 29:45).
Sebagai manusia yang beriman, kita diarahkan agar memohon pertolongan kepada Allah dari berbagai aktivitas kita dengan bersikap sabar dan banyak melaksanakan shalat. Karena sesungguhnya sikap sabar dan aktivitas shalat itu dapat membentuk kepribadian kita menjadi kuat dan tangguh dalam menghadapi berbagai goncangan dan tantangan. Dengan demikian, kita akan meraih kesuksesan yang maksimal di masa yang akan datang.
Dr. KH. Zakky Mubarok Syakrakh, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)