Dunia terus menggelinding cepet dengan segala situasinya dan problematikanya, siapa yang bertahan pada status quo maka bertahan dalam kekalahan, tetapi siapa yang mampu berimprovisasi dengan kecepatan perkembangan zaman, maka ia menjadi pemenangnya.
Tidak perlu ambigu atas tarik atau dorong dari keinginan yang telah dicita-citakan, sebab peradaban kini tidak mengenal saudara, tidak mengenal manja, tidak juga kompromi pada kemalasan. Zaman yang harus diisi dengan pemikiran yang revolusioner progresif.
Peradaban Islam yang gemilang di era Abbasiyah ( abad 8 hingga abad 13 M ) karena telah memposisikan ilmu pengetahuan dan filsafat sebagai nafas peradabannya. Kajian dan penelitian ilmu pengetahuan telah mengantarkan peradaban yang hebat dan tercahayani kebenaran. Disusul peradaban gemilang Islam pada era Umayyah ( abad 9 hingga abad 15 M) di Spanyol selama beberapa abad.
Lihat pula peradaban Islam di Turky sejak abad 12 hingga awal abad 20 Masehi begitu berkibar menjulang ke angkasa peradaban dunia, dari tangan dingin Sultan Usman Ghazi hingga tampilnya sang penakluk Sultan Muhammad al-Fatih, Sultan Sulaiman Qonuni hingga berakhir di Sultan Abdul Majid II.
Artikel Terkait:
Pribumi Melawan Belenggu
Kuwalat Pada Habib, Membius dan Matikan Nalar
Menanggapi Kajian Sunah Wahabi
Berbuat Bid’ah dengan Menuduh Bid’ah Lainnya
Suatu landscape peradaban dunia yang silih berganti, tumbuh lahir lalu runtuh terkubur. Seiring manusia-manusia yang menggerakkan perkembangan untuk menemukan sebuah tatanan kehidupan yang ideal di setiap manusia hidup di zamannya. Ia yang mampu bertahan, berkembang, maju hanyalah yang memegang pemikiran sebagai konsep hidup.
Peradaban Indonesia pun tidak harus jauh dengan peradaban yang dibangun dengan konsep pemikiran (nadhory) dan pembuktian (dlorury) hingga terus dimatangkan secara epistemologis (manhajy). Nalar peradaban kita tidak berbelok pada agama dan resistensi sentimentilnya, tetapi betul-betul nalarnya berorientasi pada kemajuan dan mendudukkan agama sebagai cahaya hati yang menjadi penerang kemana arah hidup, bukan tampakan-tampakan simbolik yang hanya mengantarkan pada kejumudan berfikir.
Kita tidak bisa mundur ke wilayah masa lalu, meski sejarah mencatatnya itu gemilang. Tugas masa depan kita adalah membawa peradaban kini sebagai peradaban milenial yang tercahayani kebenaran dan kemanusiaan, karena kita mewarisi peradaban bukan untuk kita sendiri tetapi untuk anak cucu nanti.
Setiap zaman selalu ada yang menggerakkan dan selalu digerakkan,tinggal kemana arahnya. Apa mau menengok pada angka Nol atau mau meneruskan pada angka-angka berikutnya hingga pencapaian Sepuluh dan seterusnya. Jika masih bertahan di angka Nol kita justru tidak lebih dari keledai, tetapi semangat untuk kemajuan hidup, itu tentu diperjuangkan lebih dari sekedar kata-kata.
KHM. Hamdan Suhaemi, Pengajar Pesantren Ashhabul Maimanah Sampang Susukan Tirtayasa Serang, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten, Sekretaris komisi Haub MUI Banten, dan Sekretaris Tsani Idaroh wustho Jam’iyah Ahlith Thoriqah Mu’tabaroh An-Nahdliyah Jatman Banten.