BANTEN | LIPUTAN9NEWS
21 Juli 2025 selepas asar –kami sekira 7 orang: saya, Liem Oei Ping (pemilik Toko Krakatau Royal Kota Serang, Banten), seorang guru perempuan, dan 3 karyawati Toko Krakatau Royal (yang sebenarnya ditugaskan untuk menyiapkan minuman, suguhan, dan menu makan malam) ikut menyimak perbincangan saya dengan Liem Oei Ping (Pak Wiping) seputar perang tarif sepihak yang dilancarkan presiden Amerika Donald Trump hingga kemungkinan perang nuklir.
Saya awali diskusi itu dengan pertanyaan: “Bagaimana pandangan pak Wiping tentang perang tarif yang dilancarkan Donald Trump terhadap Tiongkok dan negara-negara lain?” Pak Wiping dengan bersemangat menjawab: “Donald Trump itu pengusaha, dan pengusaha sudah tentu menguasai medan negosiasi dan transaksi….tapi Tiongkok dipimpin oleh orang yang cerdas, penuh perhitungan, dan yang terutama, tidak kalah gertak….”
“Donald Trump memang orang yang keras kepala, tapi Xi Jinping juga sosok yang tidak mudah gentar, selain cerdik dan penuh perhitungan….Tiongkok tidak akan menyia-nyiakan yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun, hancur hanya oleh seorang Donald Trump, dan itulah harga diri sebuah bangsa …” ‘Terus Indonesia amatiran dalam medan ini’? pak Wiping cuma tersenyum menanggapi pertanyaan saya itu….”Barangkali ketika Amerika meminta Indonesia untuk memborong Boeing 777 yang dibatalkan dibeli Tiongkok sebagai balasan terhadap Amerika itu, menawarkan harga diskon ketimbang jadi besi tua yang mangkrak…”
Tarif yang dilancarkan Donald Trump yang katanya resiprokal itu sesungguhnya tidak resiprokal, tapi sepihak dan mengandung motif dominatif. Yah tak ubahnya seorang cowboy yang memaksa pihak yang lemah untuk ikut aturan sepihaknya. Kalau dalam era dan dunia feodalisme, yah tak ubahnya penguasa yang minta upeti kepada penguasa lainnya. Sudah tentu si cowboy itu akan senang ketika keinginan sepihaknya yang menguntungkannya dituruti.
Mayoritas media dan masyarakat di Indonesia menilai hasil negosiasi tarif antara Amerika dan Indonesia menguntungkan Amerika dan merugikan Indonesia. Tidak sedikit yang menilai proses negosiasi itu sendiri dilakukan dalam tekanan dan cermin dari ketidaksetaraan, di mana Indonesia ‘sedari’ awal telah menempatkan dan memposisikan diri sebagai pihak yang lemah –sudah tentu sangat kontras dengan sikap Tiongkok, Kanada, Brazil, Uni Eropa dan beberapa negara lainnya dalam ‘menyikapi’ perang tarif yang dilancarkan Donald Trump.
Cukup lama juga diskusi tentang perang tarif yang dilancarkan secara sepihak oleh Donald Trump itu, sebelum beralih pada membincang kemungkinan perang nuklir di masa depan. Kalau kita berimajinasi secara liar, populasi terbanyak adalah negara-negara Asia, seperti India dan Tiongkok, sementara Amerika di kisaran 400-an juta penduduk. Jadi, ketika negara-negara besar melakukan perang nuklir, mungkin yang akan tersisa relatif lebih banyak populasinya adalah orang-orang Asia, semisal Tiongkok.
Namun, setelah berlangsung sekira seperempat jam saja membahas ihwal kemungkinan perang nuklir itu, tiba-tiba salah-satu di antara kami yang hadir melencengkan fokus diskusi pada sejarah Tiongkok karena pertanyaannya yang ingin mengetahui sejarah Tiongkok, dan langsung saja sekalian saya giring pada fokus khusus, yaitu peran Deng Xiaoping yang membawa Tiongkok bangkit. “Sebenarnya salah-satu tokoh lain yang berjasa mengubah Tiongkok adalah PM Singapura, Lee Kuan Yew,” ujar pak Wiping, “Lee Kuan Yew-lah yang berhasil meyakinkan Mao Zedong di akhir masa kepemimpinannya agar membuka Tiongkok bagi investasi, dan direalisasikan oleh Deng Xiaoping dengan kebijakan Pintu Terbuka Tiongkok”.
Dalam konteks Indonesia, Lee Kuan Yew adalah sahabat dan pengagum Bung Karno karena kemampuan Bung Karno membangun soliditas dan solidaritas masyarakat menjadi bersatu. Sudah tentu kemampuan public speaking Bung Karno juga menginspirasi Lee Kuan Yew. Dalam kaitannya dengan Tiongkok, saat saya googling, saya tertarik dengan apa yang ditulis Robert Adhi KSP (lihat: https://robertadhiksp.net/2015/03/31/lee-kuan-yew-dan-perannya-dalam-kemajuan-tiongkok/):
“Ketika berkunjung ke Tiongkok untuk kali pertama pada 1976, Lee Kuan Yew yang saat itu Perdana Menteri Singapura bertemu dengan pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping. Pada tahun itu, Tiongkok baru mulai melakukan reformasi di bidang ekonomi. Setelah kunjungan Lee ke Beijing, Deng melakukan kunjungan balasan ke Singapura. Pertemuan itu meninggalkan kesan yang kuat bagi Deng. Pemimpin Tiongkok itu mengatakan telah menjadikan Lee sebagai mentor pribadinya.
Pertemuan itu memupuk rasa hormat yang dalam di antara kedua pemimpin negara tersebut. Nasihat Lee dalam bidang perekonomian memengaruhi pemikiran Deng, yang kemudian melakukan reformasi dramatis yang melambungkan Tiongkok dalam masa modernisasi dan pertumbuhan yang tinggi (“This Man Helped Turn China into an Economic Power”, CNN Money, 23 Maret 2015).”
Berdasarkan informasi yang dikemukakan Robert Adhi KSP yang juga dipublikasi Kompas Edisi 31 Maret 2015 itu, saya menangkap tetap terjalinnya solidaritas sesama orang-orang Tiongkok meskipun mereka berada di banyak negara yang berbeda, termasuk di Indonesia, seperti ketika dulu saat Jepang menginvasi Tiongkok, ribuan orang Tiongkok hijrah ke Indonesia, dan konon orang tua Lee Kuan Yew adalah Cina Semarang yang hijrah ke Singapura (Temasek).
Terkait Liem Oei Ping sendiri, saya hormat karena minat bacanya yang luar biasa, termasuk berlangganan majalah dan koran berkualitas agar tetap update mengikuti perkembangan dan peristiwa sosial-politik yang diwartakan atau ditulis para pekerja media. Kebetulan sebelum berdiskusi, saya sempatkan membaca beberapa halaman majalah Tempo edisi Juli 2025 di ruangannya yang bertajuk: “Megapro Bangkit Lagi”. Dan kebetulan koran Kompas yang tertindih majalah Tempo itu saya buka-buka juga. Kesadaran mengakses perkembangan sosial-politik sudah tentu merupakan bagian dari pengayaan literasi yang ada kaitan kepentingan dengan pak Wiping sebagai pebisnis agar tahu gerak zaman dan situasi.
Sudah tentu, di akhir diskusi dan jelang makan malam, saya sempatkan untuk membacakan beberapa puisinya pak Wiping yang kebanyakan sederhana secara naratif, namun memiliki pesan yang mendalam. Kadang satir, kadang kritikan lugas, dan kadang perumpamaan-perumpamaan dari keseharian dan alam.
Fakta lain yang tak kalah penting adalah pak Wiping juga pecinta tanaman hias dan bunga-bunga. Saya pun menyempatkan sebentar untuk melihat bunga-bunga dan tanaman hias di luar ruangan lantai 4 tokonya, yang kalau tidak salah ada tiga sudut yang dipenuhi pot-pot bunga dan tanaman hias –belum termasuk yang di sudut-sudut di lantai bawah tokonya dan di belakang tokonya –tempat saya biasa memarkirkan motor saya bila diminta datang atau ketika saya sendiri yang sengaja datang karena ada keperluan.
Sulaiman Djaya, Penyai






















