Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Ekosofi sendiri berarti kearifan kita memandang dan bersikap kepada lingkungan dan bumi. Bahwa alam dan kita merupakan satu kesatuan yang padu. Bila alam, lingkungan, bumi tempat kita hidup rusak, maka rusak pula kehidupan manusia dan kita pulalah yang akan paling merasakan dampaknya. (Sulaiman Djaya)
Di jaman kita saat ini, kita kerapkali disuguhi berita dan isu-isu perubahan iklim, cuaca ekstrem dan kerusakan lingkungan atau bencana ekologis akibat residu dan polusi iindustri, polusi bahan bakar kendaraan, kepadatan hunian, emisi karbon, atau sampah plastik di mana-mana, yang mau tak mau telah menyita perhatian dan upaya serius dari pemerintahan dan masyarakat dunia, hingga organisasi dan lembaga internasional dunia sampai para pegiat dan aktivis lingkungan hidup.
Kita pun tak boleh lupa, krisis dan kerusakan lingkungan juga diantaranya disebabkan oleh kerakusan, keserakahan dan bagaimana manusia memandang lingkungan dan bumi tempat kita berada dan menjalani hidup sehari-hari ini. Harus pula diakui dengan jujur, paradigma rasionalitas instrumental gandrung membisniskan lingkungan dan kehidupan, bertolak-belakang dengan kearifan lokal leluhur kita yang mengajarkan kita untuk mewariskan kehidupan bagi generasi mendatang.
Paradigma bisnis dan rasionalitas instrumental cenderung mengeksploitasi apa saja demi keuntungan sepihak, demi memenuhi kerakusan personal, dan sudah terbukti pula acapkali menghalalkan segala cara, sampai mengabaikan masa depan kelangsungan ekologi dan bumi bagi generasi mendatang. Keprihatinan ekologis di tengah bahaya hasrat kerakusan meraih keuntungan bisnis dan eksploitasi alam dan lingkungan memang harus selalu disuarakan.
Ekosofi sendiri berarti kearifan kita memandang dan bersikap kepada lingkungan dan bumi. Bahwa alam dan kita merupakan satu kesatuan yang padu. Bila alam, lingkungan, bumi tempat kita hidup rusak, maka rusak pula kehidupan manusia dan kita pulalah yang akan paling merasakan dampaknya.
Para filsuf, semisal Fritjof Capra, menyatakan bahwa diantara faktor utama penyebab kerusakan lingkungan hidup karena manusia memandang yang di luar dirinya sebagai objek belaka. Cara pandang Cartesian ini melahirkan paradigma yang menganggap manusia sebagai pusat, hingga kemudian diteruskan oleh paradigma bisnis yang memperlakukan alam dan lingkungan sebagai sesuatu dan hal yang harus dieksploitasi demi manusia. Lingkungan dianggap sebagai bagian yang seakan-akan terpisah dengan manusia, padahal kehidupan manusia sangat bergantung dan berada pada dan di lingkungan hidup.
Kekeliruan falsafah dan cara pandang manusia atas hidup dan lingkungan yang menganggap yang bukan manusia sebagai objek itulah yang melahirkan perilaku manusia yang membenarkan diri untuk mengeksploitasi alam dan lingkungan hidup demi motif bisnis dan keuntungan sesaat dengan mengorbankan masa depan kelangsungan ekologis bagi kehidupan mendatang. Paradigma bisnis dan rasionalitas instrumental menjadikan segala sebagai materi dan sarana untuk mengejar keuntungan dan kekayaan sepihak.
Antroposentrisme yang dikritik para filsuf dan aktivis lingkungan itu menganggap manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, sementara alam semesta dipandang sebagai tidak memiliki nilai intrinsik pada dirinya sendiri selain nilai instrumental ekonomis bagi kepentingan bisnis. Orang-orang sekarang bahkan menyematkan segala disiplin dengan bisnis, seperti jurusan agrobisnis, bisnis wisata dan lainnya, berbeda dengan kearifan lokal leluhur kita yang mempraktikkan huma dan berladang dengan mempertimbangkan kelangsungan masa depan lingkungan dan mewariskan kehidupan. Tidak melakukan eksploitasi secara berlebihan.
Menurut sejumlah filsuf dan para aktivis lingkungan hidup, krisis lingkungan hidup saat ini sesungguhnya merupakan cerminan krisis pemahaman manusia itu sendiri tentang hakikat ekosistem dan lingkungan hidup. Juga krisis pemahaman manusia ihwal hakikat kehidupan, tentang hakikat dan makna lingkungan hidup di mana manusia hanya merupakan salah-satu bagiannya.
Secara filosofis, pada masa kuno, para filsuf seperti Aristoteles dan para filsuf alam pra-Aristoteles, memandang alam semesta dan lingkungan secara organis, sebagai sebuah kesatuan dan kepaduan asasi diantara berbagai bagian alam semesta dan lingkungan. Pemahaman dan pandangan organis tersebut membentuk karakter dan sikap (perilaku) manusia yang harmonis bersama alam semesta dan lingkungan, melindungi dan merawat lingkungan hidup manusia.
Namun pada abad pencerahan, terjadi pergeseran dan perubahan pandangan atas alam semesta dan lingkungan hidup. Manusia abad pencerahan memandang alam semesta dan lingkungan hidup secara mekanistis, yang kemudian pandangan dan paradigma mekanistis tersebut mendominasi pikiran dan pemahaman masyarakat modern. Inilah paradigma Cartesian dan Newtonian yang memandang alam semesta dan lingkungan hidup seumpama mesin yang tersusun dan terbentuk dari bagian-bagian yang terpisah. Alam semesta dipandang selayaknya mesin yang hanya bisa dipahami sepenuhnya dengan menganalisisnya dalam bagian-bagian yang terpisah, yang malah mereduksinya.
Untunglah, paradigma mekanistis pencerahan dan modernitas itu dikritik secara tajam di era mutakhir, semisal oleh Albert Einstein dengan teori relativitas dan teori kuantumnya, dan kemudian oleh Fritjof Capra yang sedikit atau banyaknya mendapatkan inspirasi dan kearifan dan filsafat Timur. Inilah fase ketika alam semesta dan lingkungan hidup kembali dipandang dan dipahami sebagai kesatuan dan kepaduan yang holistik, yang saling terkait dan tidak mungkin dipisahkan satu-sama lainnya, di mana kita sebagai manusia hanya merupakan salah-satunya dan bukan pula sebagai pusat semesta, bukan pusat segalanya.
Paradigma mutakhir ini kembali memahami alam semesta dan lingkungan sebagai keseluruhan keterkaitan dan keterpaduan satu sama lain yang tidak mungkin dipisahkan. Dengan paradigma ekologis ini, alam semesta dan lingkungan hidup tidak didekati dan diperlakukan dengan dominasi, kontrol, ekploitasi, dan kerakusan bisnis, tetapi dengan sikap hormat dan harus dirawat, seperti telah berabad-abad dipraktikkan oleh kearifan lokal masyarakat bangsa kita, seperti kearifan ekologis ‘tabu alam dan lingkungannya’ masyarakat Baduy Banten.
Sulaiman Djaya, Penyair di Kubah Budaya