Apa yang dilakukan Afrika Selatan, yaitu mengajukan kasus dugaan genosida Gaza oleh Israel, ke International Court of Justice (ICJ), adalah langkah kemanusiaan yang sangat penting untuk didukung, demi menghormati nilai-nilai manusiawi itu sendiri. Sebelumnya, sejumlah pemimpin beberapa Negara, aktivis kemanusiaan, serta para selebriti dunia, menyuarakan bahwa sikap keji dan destruktif yang telah ribuan kali dilakukan Israel terhadap warga Palestina kembali terus-menerus dilakukan Israel dikarenakan dunia tidak pernah menghukum Israel, alih-alih Israel selalu mendapat dukungan Barat (Amerika, NATO dkk).
Dan Kamis kemarin (11 Januari 2024), sidang perdana International Court of Justice (ICJ) mendapatkan dukungan massif warga dunia yang sebelumnya secara konsisten menyampaikan simpati mereka untuk Gaza, Palestina. Sidang perdana itu merupakan forum untuk menyimak paparan argument setebal 84 halaman yang disampaikan tim lawyer Afrika Selatan terkait ‘dugaan’ Genosida atas Gaza oleh Israel, yang juga disiarkan dan dipublikasi media seluruh dunia, yang diantara poin-poin argumennya adalah:
Pembantaian oleh Israel atas warga Gaza secara khusus dan Palestina secara umum bukan hanya terjadi setelah insiden ofensif Hamas pada 7 Oktober 2023 silam, namun sudah berlangsung lama, puluhan tahun. Palestina telah ditindas selama 76 tahun. Israel menguasai dan mengendalikan air, akses jalan, listrik dan yang lainnya.
Pengawasan atas Gaza seluas 365 KM serta pengaturan dan penguasaan air, listrik dan seluruh infrastruktur Gaza bukanlah hak Israel. Israel secara terencana dan memiliki niat serta tujuan jelas menyasar warga sipil, bukan melawan Hamas, dengan menjatuhkan ribuan bom atas Gaza yang dihuni 2,6 juta jiwa. Bersamaan dengan itu, Israel juga menghentikan dan menghalangi pasokan obat dan air untuk warga sipil Gaza, yang mana korbannya adalah 70 % wanita dan 30 % anak-anak.
Israel membantai warga sipil yang mencari air dan makanan, dan terhitung sejak 7 hingga 14 Oktober 2023, Israel telah menjatuhkan 6000 bom. Termasuk camp Jabalia yang dijatuhi bom paling mematikan oleh Israel. Ribuan warga sipil yang kebanyakan perempuan dan anak-anak bahkan meninggal dalam satu tempat bersamaan akibat pemboman oleh Israel. Dan inilah genosida pertama oleh Israel atas warga sipil Palestina.
Israel menembak langsung warga sipil di darat serta menculik anak-anak dan membawa mereka ke tempat yang tidak diketahui. Akibat pemutusan listrik, penghentian air dan makanan serta penutupan bantuan kemanusiaan oleh Israel, 93 % warga sipil Gaza kelaparan. Israel juga menghentikan bantuan untuk para bayi dan ibu-ibu yang melahirkan. Selain itu Israel juga menembak secara acak warga sipil dengan menggunakan sniper kedua.
Dengan bukti-bukti tersebut, Israel tidak melawan Hamas, tapi membantai warga sipil. Hamas hanya dijadikan dalih atau alibi sebagai pembenaran untuk membantai warga sipil (mungkin karena kenyataannya tentara Israel tidak sanggup menghadapi Hamas, pen.). berdasarkan bukti-bukti tersebut, Israel memiliki niat untuk melakukan pembantaian, sebagaimana dinyatakan Presiden Herzog bahwa rudal-rudal Israel harus diarahkan ke jalur Gaza dan peperangan harus diteruskan sampai warga sipil habis.
Para petinggi militer Israel menggunakan istilah ‘manusia hewan’ ketika mereka berbicara tentang warga sipil Palestina, hingga Israel melakukan pengepungan total, menghancurkan infrastruktur sipil seperti rumah sakit dan tempat ibadah. Bahkan seorang anggota Knesset Israel mengumandangkan penghapusan Gaza dan Menteri Angkatan Darat Israel mengumunkan pemberlakuan blokade total atas Gaza.
Bila merujuk Statuta Roma (Bagian 2 pasal 6) , apa yang disebut genosida adalah: setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, seperti misalnya (a) Membunuh anggota kelompok tersebut, (b) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut, (c) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian, (d) Melakukan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut, dan (e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.
Berdasarkan Statuta Roma tersebut, maka apa yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina selama puluhan tahun sesungguhnya sudah masuk kategori tindakan melakukan genosida. Hanya saja, karena dukungan kuat Barat (Amerika, NATO dkk) Israel memang tidak pernah disangsi atau dihukum atas perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan keji mereka bagi kemanusiaan.
Hukum Humaniter Internasional dengan tegas dan jelas melarang warga sipil menjadi sasaran dalam perang atau konflik bersenjata. Begitu pun infrastruktur mereka. Namun Israel sudah terbukti melanggar itu semua dalam sepanjang sejarah eksistensi mereka sebagai koloni yang didirikan diatas tanah dan wilayah jarahan dengan melakukan pengusiran (Nakba) jutaan warga Palestina. Memang, kita pun maphum, bahwa untuk menegakkan keadilan dan membela martabat kemanusiaan, dibutuhkan political power atau kekuatan politik, sebagaimana pedang dibutuhkan untuk menegakkan hukum.
Terkait Hukum Humaniter Internasional (HHI), bertujuan untuk melindungi para korban konflik bersenjata dan mengatur permusuhan berdasarkan keseimbangan antara kepentingan militer dan kemanusiaan. Dalam hal itu, pihak-pihan yang berkonflik atau berperang harus memenuhi kewajiban kemanusiaan mereka dalam segala situasi, terlepas dari seperti apa pun perilaku musuh dan sifat atau asal-muasal konflik.
Berpatok pada Hukum Humaniter Internasional di atas, sangat jelas dan gamblang Israel pun telah ribuan kali melanggar Hukum Humaniter Internasional atas warga Palestina. Hanya saja, karena Israel adalah anak kandung Barat, maka upaya hukum yang hendak diimplementasikan dan dijatuhkan kepadanya senantiasa di-veto Amerika. Israel adalah wajah paling nyata kemunafikan standar ganda Barat itu sendiri.
Apa yang dilakukan Afrika Selatan, yang didukung Iran, Saudi Arabia dan puluhan negara lainnya dari Asia, Amerika Latin dan Afrika , menyeret Israel ke International Court of Justice hanya semakin memperjelas kemunafikan standar ganda Barat yang puluhan tahun mendiamkan (bahkan membela) kekejian dan kekejaman Israel atas warga Palestina. Belum lama ini misalnya Resolusi Gencatan Senjata yang didukung mayoritas anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) di-veto oleh Amerika.
Posisi Indonesia sendiri, meski bukan Negara pihak yang menandatangani untuk terikat perjanjian internasional mengingat yang dijadikan dasar Afrika Selatan adalah Konvensi Genosida PBB, jelas mendukung apa yang dilakukan Afrika Selatan sebagaimana ditegaskan Menlu Indonesia Retno Marsudi, yang akan diberi forum dan kesempatan bicara di International Court of Justice (ICJ) pada akhir pertengahan Februari 2024 nanti.
Yang pasti, apa yang dilakukan Afrika Selatan merupakan wujud konkrit politis dan kemanusiaan dari apa yang pernah dinyatakan oleh Nelson Mandela, sang bapak kemerdekaan Afrika Selatan dan pejuang anti-apartheid dunia: “Kami (Afrika Selatan) sangat sadar bahwa kemerdekaan kami (Afrika Selatan) belum lengkap tanpa kemerdekaan Palestina.”
Sulaiman Djaya (Pekerja Budaya)