BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Apa jadinya jika partai politik yang mestinya memberikan keteladanan visioner dan pendidikan politik, justru menjadi para pengkhianat sejarah? Dan melakukan pembusukan bagi nurani dan cita-cita kemerdekaan. Ketika mereka hanya menjadi pelayan kepentingan jangka pendek ambisi dan tindakan sepihak penguasa yang tidak mendengarkan aspirasi rakyatnya? Sepertinya sudah banyak yang mulai sadar juga bahwa retorika pro-rakyat yang acapkali digembar-gemborkan hanyalah kamuflase dalam rangka memuluskan kehendak tiranis dan meraup keuntungan di belakang layar, yang jarang diketahui rakyat dan sengaja disembunyikan.
Para elit itu sudah mulai tampak ‘membuka’ topeng asli mereka dengan memuluskan penganugerahan pahlawan nasional kepada Soeharto, yang justru tidak memenuhi syarat moral dan politik untuk disebut pahlawan. Elit Golkar bahkan sudah sejak tahun 2010 berusaha mengakali agar tidak ada halangan untuk memuluskan pemberian gelar tersebut, semisal mencabut nama Soeharto dari TAP MPR yang menyebutnya sebagai pelaku KKN. Sepertinya memang kita harus bersiap menghadapi kemungkinan dari kondisi dan tindakan (kebijakan) politik yang berciri otoriter dalam baju demokrasi.
Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhie merupakan upaya pengaburan sejarah Indonesia dan upaya pembodohan bagi masa depan bangsa ini. Dengan dianugerahinya Soeharto sebagai pahlawan nasional, dihapuslah memori bangsa akan kejahatan Amerika terhadap bangsa ini sebagai aktor intelektual kudeta Indonesia dan genosida jutaan rakyat Indonesia, pembantaian orang-orang progresif dan nasionalis yang kontra Amerika di masa 1960-an hingga selama Soeharto berkuasa.
Penganugerahan itu tak lepas dari ambisi Prabowo Subianto untuk menulis ulang (memalsukan) sejarah Indonesia, dan bila penulisan ulang (pemalsuan sejarah) Indonesia itu tercapai dan berhasil, maka yang akan mendapat stigma negatif adalah pikiran, ideologi, dan manusia Indonesia yang selaras dengan cita-cita kemerdekaan, yang tidak sejalan dengan Soeharto. Dengan sendirinya, akan tercipta anggapan dan kepercayaan di masyarakat bahwa mereka yang dibantai oleh rezim Soeharto yang dibantu Amerika memang layak untuk dibantai dan dihilangkan.
Baskara T. Wardaya lewat bukunya Suara di Balik Prahara (Galang Press 2011 h. 17) memandang pentingnya penulisan sejarah dari sisi masyarakat bukan dari sisi elit atau penguasa, atau katakanlah dari sudut pandang korban kekejaman penguasa dalam perjalanan sejarah, dengan mengutip pendapatnya Paul Thompson dalam buku yang ditulisnya, The Voice of the Past, bahwa melalui sejarah-lah masyarakat berusaha memahami apa yang bergerak dan berkembang di lingkungannya…” Apa jadinya kalau penguasa dan tiran justru malah memalsukan sejarah yang hanya akan mewariskan kebutaan nurani dan melahirkan tuna-kesadaran berkepanjangan bagi generasi mendatang, hingga kemudian tidak mendapatkan pelajaran dan panduan berharga darinya untuk belajar, maju dan berkembang menjadi lebih baik dan lebih sadar.
Sebab, suatu narasi sejarah atau katakanlah memori kolektif sebuah bangsa, demikian diterangkan Paul Thompson, akan membantu dan memandu masyarakat semakin menyadari bahwa peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian di masa lalu tak sekadar berhenti di masa lalu, melainkan akan terus hidup dan mempengaruhi gerak dan cara berpikir di masa yang akan datang, dan betapa busuk sebuah rezim atau penguasa yang justru berusha menghapus atau memalsukan memori kolektif suatu bangsa tersebut. Bahwa Soeharto adalah pelaku (pemberi perintah) pembantaian massal rakyat Indonesia adalah fakta sejarah dan memori kolektif bangsa ini, dibenarkan bukti-bukti serta kesaksian.
John Roosa dalam bukunya yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal (Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra 2008 h. 5) menulis: “Soeharto menggunakan G30S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno, sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan. Pengambilalihan kekuasaan Negara oleh Soeharto secara bertahap yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak, dilakukannya di bawah selubung usaha untuk mencegah kudeta…” Bila demikian, kita patut mencurigai ketika pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhi, maka itu adalah upaya pemalsuan atau pemutarbalikkan sejarah secara sengaja dan terang-terangan.
Begitu pula kita patut mencurigai partai-partai penyokong penguasa atau pemerintah yang mengusahakan dan mendukung penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhi memang sengaja mereinarnasi diri mereka secara sadar sebagai pelanjut dan penerus Orde Baru Soeharto. Atau minimal dalam rangka untuk mendapatkan pembenaran bahwa kejahatan dan kebusukan politik dan kekuasaan para penguasa di masa orde baru adalah lumrah dan wajar, maka mereka kemudian merasa mendapatkan legitimasi jika mereka kemudian melakukan kebijakan-kebijakan yang sama.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan
























