Sebagai sebuah khazanah dan pustaka bacaan, perkenalan saya dengan liberalisme pertama tama lewat perjumpaan saya dengan filsafat, sebelum akhirnya berkenalan dengan khazanah political science.
Liberalisme sebagai wawasan filsafat dan ideologi politik, meski terdapat celah debat perbedaan antara keduanya, tetapi memiliki paradigma yang satu: membela kebebasan dan hak hak individual, berbeda dengan komunitarianisme yang mengutamakan komunitas, tradisi dan masyarakat di atas individualisme.
Lahir dari sejarah pemikiran dan politik Barat, liberalisme sebenarnya juga menggali khazanah non Barat, terutama ketika berbicara tentang isu isu HAM, yang sedikit banyaknya mengambil khazanah teologis Kristiani, atau dalam bahasanya Jacques Derrida, ada teologi Abrahamian dalam kognisi paradigmatik filsafat politik Barat.
Hanya saja, memang, liberalisme lebih didominasi oleh gerakan gerakan intelektual dan politik anti gereja dan anti agama di Eropa, sebelum Amerika mengadopsinya, di saat mulanya eksistensi Amerika sesungguhnya didirikan oleh kaum puritan pendatang dari Eropa.
Saya tertarik untuk membaca secara kritis liberalisme ketika kaum liberalis Indonesia secara politik mengekspresikan sinisme mereka terhadap Iran dan Palestina, dan memuji Israel yang sudah jelas sekali merupakan negara yang dicangkokkan oleh Barat, dan lalu dibumbui dengan klaim klaim Biblikal, yang di kalangan Yahudi sendiri justru banyak intelektual Yahudi yang sangat bertolak belakang dengan semangat Evangelis, seperti Zionis Sawo Matang semisal Monique Rijkers yang begitu bersemangat membela Israel.
Contoh lainnya yang belum lama terjadi, yaitu insiden Mahsa Amini, yang meninggal karena penyakit kronis, dan lalu dibajak oleh Barat dan media massa mainstream mereka untuk mengkudeta Ebrahim Raesi dan Iran, dengan menyebarkan framing secara massif, bahwa Mahsa Amini meninggal karena kekerasan fisik polisi syariah Iran, dan kaum liberalis Indonesia semisal Ade Armando dkk sontak menyuarakan ‘politik framing Barat ‘ di Indonesia dalam channel YouTube mereka dan medsos mereka.
Barangkali kita bisa dengan jelas menangkap kelatahan mereka seperti itu, mempercayai tanpa saringan modus politik global Barat yang membajak isu isu HAM dan kebebasan, dan ditelan mentah-mentah oleh kaum liberalis Indonesia, jika mungkin saja memang ada profit dan imbalan saat mereka menyuarakan dengan nyaring hasrat unilateral politik Barat tersebut, meski saya harus menunda untuk berburuk sangka.
Ada sejumlah pertanyaan dalam benak saya: kenapa mereka yang mengaku pembela HAM dan kebebasan (kaum liberalis Indonesia) justru di kancah politik global adalah mereka yang pro kolonialisme mutakhir, Israel dan imperium? Dan sinis kepada yang justru dalam kancah politik global adalah mereka yang mengalami pelanggaran HAM berat dan penindasan, seperti warga Palestina yang sumber airnya dicor dengan semen dan batu oleh Israel dan selama puluhan tahun secara berkala mengalami genosida.
Bahkan beberapa doktor lulusan Amerika, seperti Luthfi Assyaukani dengan vulgar menggunakan teori propaganda ‘Bulan Sabit Syi’ah’ untuk mengekspresikan pembelaannya kepada Israel dan sinismenya terhadap Iran sembari memuji sejumlah negara Arab yang pro Israel, yang kini buyar ketika Iran dan Saudi Arabia rujuk berkat mediasi Cina.
Kenapa kaum liberalis Indonesia, dalam subjektivitas saya, lebih mencirikan diri mereka sebagai Kaum Westernise ketimbang kaum rasionalis? Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian disusul dengan pertanyaan-pertanyaan lain, semisal: adakah akar asli liberalisme adalah memang nihilisme, materialisme, dan sekulerisme total: menafikan tradisi dan agama secara total.
Ideal tentang kebebasan humanistik yang saya baca bertabrakan dengan realitas dalam kancah politik global, ketika yang terjadi sesungguhnya adalah hipokritas dan standar ganda, seksisme unilateral dan sejenisnya. Sejumlah kaum liberalis Indonesia pun bagi saya kemudian lebih mirip pion pion hasrat kuasa Barat yang menggunakan modus HAM namun sepihak atau katakanlah menggunakan demokrasi dan kebebasan demi invasi dan kudeta. Belum lagi mereka pun acapkali meremehkan kearifan tradisional atau tradisi, selain agama, tentu saja.
Sulaiman Djaya, esais dan penyair