Bondowoso | LIPUTAN9NEWS
Sejak awal, saya memang tidak suka memahami tauhid sebagai sifat. Karena kalau tauhid dimaknai sebagai sifat berarti Allah itu numerik. Wahid secara makna artinya dari satu ke banyak. Seperti yang kita perhatikan dalam susunan angka-angka. Kata wahid biasanya disebut pertama kali, lalu diikuti dengan angka selanjutnya, yakni wahidun, istnani, tsalasatun, arba’atun, dan seterusnya.
Jadi wahid memang bermakna numerik, yaitu angka yang mempunyai bilangan. Karena itu, wahid juga dapat dimaknai dari satu kebanyak. Mengingat wahid disebutkan pertama kali, lalu diikuti dengan angka selanjutnya yang jumlahnya begitu banyak. Maka dari itu, tidak salah jika saya kemudian memaknai wahid sebagai angka yang dimulai dari angka satu ke banyak.
Selain wahid, dalam al Quran, Allah juga dikenal dengan kata ahad. Ahad dan wahid mempunyai makna yang berbeda karena berasal dari akar kata yang berbeda. Ahad berasal dari akar kata “ahada” sedangkan wahid berasal dari kata “wahada”. Jadi perbedaannya terletak pada fa’ fi’ilnya. Wahid pakai huruf illat wawu sedangkan ahad pakai huruf illat alif.
Selain dari sisi bahasa, wahid dan ahad memiliki perbedaan dari sisi makna. Jika wahid bermakna dari satu ke banyak, maka ahad memliki arti yang sebaliknya, yaitu dari banyak ke satu. Jadi, secara bahasa, ahad artinya adalah tunggal. Makna tunggal memiliki arti dari banyak ke satu. Disebut demikian, karena penyebutan tunggal bukanlah bilangan bertingkat melainkan bilangan tunggal.
Contoh bilangan tunggal yaitu dwitunggal (dua kesatu), tritunggal (tiga kesatu), caturtunggal (empat kesatu), pancatunggal (lima kesatu), dan seterusnya. Ini disebut angka tunggal, yaitu dari banyak kesatu. Dengan kata lain, baik istilah ahad maupun wahid sama-sama bermakna numerik. Artinya, kalau kita memaknai ahad dan wahid sebagai sifat Allah, maka Allah itu berbilang.
Dengan demikian, ahad dan wahid tidak boleh diyakini sebagai sifat Allah. Karena kalau dipahami sebagai sifat, maka Allah akan dipahami sebagai makhluk, karena sifat adalah makhluk. Lantas, bagaimana cara kita memahami wahid dan ahad agar tidak terjebak dalam kesyirikan?. Caranya adalah pahamilah ahad dan wahid sebagai nama Allah (asmaul husna) bukan sebagai sifat Allah (asmaus sifat).
Maka dari itu, ketika kita membaca firman Allah dalam al Quran, kita tidak akan terjebak dalam memahmi Allah yaitu ketika asma-Nya tidak dipahami sebagai sifat. Salah satu contohnya adalah ketika Allah berfirman menggunakan kata “kami”. Kami yang dimaksud dalam al Quran jangan diartikan sebagai sifat Allah, melainkan harus dipahami sebagai nama Allah.
Seperti yang kita ketahui bersama dalam asmaul husna Allah mempunyai 99 nama. Bayaknya nama tersebut bisa kita kategorikan dari banyak ke satu (wahid). Artinya, meskipun nama Allah itu banyak, tapi semua nama itu merujuk pada nama yang satu (ahad) yaitu Allah. Oleh karena itu, ketika Allah menggunakan kata “kami” dalam al Quran, maka yang dimaksud adalah merujuk pada asma’-Nya yaitu “asmaul husna”, yang jumlahnya begitu banyak, dan bukan merujuk pada sifat-Nya.
Apabila anda perhatikan dalam al Quran terkadang Allah menggunakan kata “aku” (mufrad) dan terkadang menggunakan kata “kami” ketika berfirman. Misal dalam surah al baqarah yang berbunyi sebagai berikut:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةًۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah 2:30)
Pada ayat ini Allah menggunakan kata mufrad yaitu “Rabb”, yang mana kata “Rabb” merupakan isim mufrad (satu). Namun dalam ayat lain, ketika Allah berfirman pada malaikat, Allah justru menggunakan isim jamak (banyak). Seperti ayat yang berbunyi sebagai berikut:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَٰفِرِينَ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (QS. Al-Baqarah 2:34)
Pada ayat ini, Allah menggunakan isim jamak, dan bukan isim mufrad. Seakan-akan Allah mengisyaratkan pada kita bahwa yang dilarang Allah adalah menduakan namanya, dan kita tidak melarang kita untuk menjamakkan namanya. Dengan kata lain, menduakan namanya termasuk syirik, sedangkan menjamakkan namanya bukanlah syirik.
Karena itu, dalam isim alamnya Allah mempunyai tiga klasifikasi nama yaitu:
- Nama panggilan (isim alam asma’) = Allah (الله)
- Nama julukan (isim alam kunyah) = Rabb (رب)
- Nama gelar (isim alam laqab) = Asmaul husna (اسماء الحسنى)
Pada tiga klasifikasi nama di atas, nama Allah terdiri dari satu (mufrad) atau banyak (jamak) nama. Isim alam asma’ terdiri dari satu nama, isim alam kunyah terdiri dari satu nama, dan isim alam laqab terdiri dari banyak nama. Jadi, dari ketiga klasifikasi nama Allah di atas, pada masing-masing klasifikasi tidak ada yang terdiri dari dua nama (tasniyah), melainkan satu (mufrad) atau banyak (jamak).
Dengan kata lain, Allah sengaja menghindari klasifikasi angka dua, karena angka dua mengandung kesyirikan. Allah tidak suka dengan angka dua. Allah lebih suka angka ganjil dari pada angka genap. Karena itu, angka dua sangat dihindari oleh Allah, dan inilah makna terdalam dalam ilmu tauhid. Sebagaimana yang dikatakan imam Ali bahwa barangsiapa yabg mensifati Allah maka dia telah menduakan Allah alias syirik. Imam Ali berkata:
فمن وصف الله سبحانه فقد قرنه. ومن قرنه فقد ثناه ومن ثناه فقد جزأه، ومن جزأه فقد جهله.
Artinya: Barang siapa yang mensifati Allah berarti ia telah menjadikan teman bagi-nya. Dan barang siapa yang berpikir bahwa Allah memiliki teman, itu berarti ia telah menduakan-Nya. Barang siapa yang menduakan-Nya berarti ia telah membagi-Nya. Dan barang siapa yang membagi-Nya berarti ia tidak mengerti tentang-Nya. (Najhul Balaghah, khutbah 1)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketika Allah menggunakan kata “aku” dalam al Quran maka itu merujuk pada isim alam asma’ (الله) atau isim alam kunyah (رب), dan ketika menggunakan kata “kami”, maka itu merujuk pada isim alam laqabnya yaitu asmaul husna (اسماء الحسنى) yang terdiri dari 99 nama. Jadi kesemua nama “aku” atau “kami” dalam Quran bukanlah merujuk pada sifat-Nya, melainkan pada nama-Nya. Wallahualam.
Mohammad Yazid Mubarok, Penulis Buku Kajian Ilmu as-Sa’ah