LIPUTAN9.ID – Di sebuah hari yang rimbun dan sendu……Kuarahkan dua mataku menembus lembab kaca jendela, memandangi dinding-dinding langit dan cakrawala. Rumput-rumput dan jalan basah seakan dunia-dunia yang terbaring dalam sapuan gelombang-gelombang angin yang mengirimkan dingin pada tubuh dan wajahku.
Sepasukan burung-burung kuntul melintasi keheningan menempuh perjalanan migrasi mereka, yang kuandaikan sebagai perubahan hidup dan pengulangan, atau tak ubahnya kesementaraan dan usia yang menghitungi dirinya sendiri, laiknya komposisi-komposisi musik jazz yang kurenungi. Di saat yang sama, gerimis kebisuan dan keheningan cuaca masih membasahi pepohonan dan tiang-tiang lampu sepanjang jalan. Sang waktu pun lelap bersama mimpi-mimpinya di antara buih-buih dan kabut.
Di sebuah November yang lugu….ada ingatan dan kenangan yang mongering terbawa udara. Meski dedaunan kadang-kadang bergeletar pelan, seakan apa saja yang diciumi gerimis yang kanak-kanak itu membeku dalam pandangan kedua mataku, mirip tangan-tangan gaib para malaikat yang ada dalam angan-angan dan khayalan.
Barangkali, bila waktu dan masa silam, yang orang-orang menyebutnya sebagai usia, dapat diringkas, tentu hanya puisi yang sanggup menerjemahkannya dalam kata. Tetapi waktu yang kupahami itu dapat pula dikiaskan sebagai maut yang tertunda.
Sebab, waktu yang kupahami itu tak lain adalah burung-burung di pagi hari, lidah-lidah cahaya di dahan-dahan basah, jari-jari lembut matahari yang setia menyentuh bumi, dan tanah-tanah lembab yang ditinggalkan hujan. Dan tentang ingatan masa kanak-kanak, ketika aku duduk berteman selampu minyak di antara hujan selepas isya….Karena, ketika kurenungkan segala yang pernah kulakukan di masa kanak-kanak, serasa tak ada yang berubah, dan itulah yang akan kunamakan sebagai waktu dan usia.
Orang-Orang Kampung
Aku lahir menjelang fajar. Suatu ketika, saat aku sendirian menjelang siang, aku merangkak sampai di tengah jalan di depan rumah. Padahal di tepi jalan itu ada saluran irigasi yang cukup lebar dan dalam, yang barangkali aku dapat saja tercebur jika tak diketahui oleh orang kampung yang lewat dan segera mengangkatku dan menggendongku –demikian menurut cerita beberapa orang di kampung kepadaku ketika aku telah menjadi lelaki dewasa.
Nama kakekku dari pihak ibuku adalah Haji Muhammad Ali, orang yang pendiam dan sangat tekun bekerja sebagai petani dan perajin perabot rumah-tangga dari bambu dan pohon-pohon pandan. Seringkali, bila ibuku menyuruhku untuk meminjam beras kepadanya, ia sedang menganyam bakul dan tampah dari bilah-bilah pohon-pohon bambu, dan hanya berhenti bekerja bila waktu sholat saja. Sesekali aku harus menunggunya pulang dari sawah, dan pada saat itu aku diajak ngobrol oleh nenek tiriku (yang kurang kusukai). Maklum, nenekku dari pihak ibuku sudah meninggal ketika aku lahir.
Berkat kekayaan kakekku dari pihak ibuku itulah, pamanku (adik ibuku) bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta di Jakarta hingga menjadi sarjana strata satu, hingga ia menjadi satu-satunya orang di kampungku yang kuliah, dan kakekku tentu saja satu-satunya orang di kampungku yang bisa meng-kuliahkan anaknya di perguruan tinggi di Jakarta.
Ibuku adalah perempuan yang dicintai oleh orang-orang di kampungku –terutama oleh kaum perempuan. Dan setelah ia wafat, penghormatan orang-orang kampung itu beralih kepadaku. Barangkali karena orang-orang di kampung tahu bahwa yang seringkali bersamanya saat ibuku bekerja di sawah-sawah mereka adalah aku.
Ia adalah tipe perempuan yang tidak suka mengobrol dan bergosip, dan hanya akan keluar rumah jika ada keperluan penting saja atau jika hendak membeli kebutuhan bagi dapur dan untuk mendapatkan bahan pelengkap makanan untuk makan kami. Ia sempat mengajar ngaji beberapa tahun sebelum akhirnya berhenti karena alasan harus mengoptimalkan keluarga dan harus istirahat karena telah banyak bekerja.
Di masa-masa sulit, ibu-ibu atau perempuan-perempuan di kampung akan bertanya kepada ibuku apakah kami punya beras untuk kebutuhan keluarga, dan karena itulah aku seringkali membawakan gabah-gabah mereka ke tempat penggilingan –yang berkat kerjaku membawa gabah mereka dengan menggunakan sepeda itu, kami mendapatkan beberapa liter beras sebagai upah.
Di masa-masa panen, ibu-ibu dan kaum perempuan di kampungku juga akan mengajak kami untuk turut memanen padi di sawah-sawah mereka, dan aku pula yang selalu ikut dengan ibuku. Dari pekerjaan itulah kami mendapatkan beberapa karung gabah (mendapatkan 1/4 bagian) –sesuai dengan kemampuan kami memanen padi di sawah-sawah mereka, sebagai bagi hasil dari kerja kami membantu memanen padi mereka.
Demikianlah cara-cara orang-orang di kampung menolong kami. Itu adalah masa-masa ketika adik-adikku belum lahir, dan bapakku seringkali tidak ada di rumah.
Sementara itu, di masa-masa senggang dari musim panen padi hingga waktunya menanam padi kembali, ibuku akan menanam kacang, kacang panjang, kangkung, dan juga rosella, yang kemudian akan ia jual kepada orang-orang kampung, dan tak jarang-orang di kampungku dan orang-orang di kampung tetangga datang langsung kepada kami untuk membeli bahan-bahan pangan yang dihasilkan ibuku itu.
Dari penjualan kacang, kacang panjang, kangkung, dan rosella (yang diolah menjadi kopi oleh ibuku dan kami itu)-lah, kami mendapatkan uang untuk membiayai sekolahku dan sekolah kakak perempuanku –sebelum akhirnya kakak perempuanku itu tinggal bersama pamanku (adik ibuku) dan meneruskan sekolah menengah pertamanya di Jakarta.
Jika aku lebih dekat dan lebih menghormati ibuku, tentu karena bagiku ibuku-lah yang dapat kukatakan sebagai orang yang setia dan punya komitmen, ketimbang bapakku yang ber-poligami dan sering tidak ada di rumah di masa kanak-kanak dan remajaku.
Selain menanam sejumlah sayuran dan yang lainnya, ibuku juga berusaha beternak, seperti memelihara ayam dan unggas, yang ketika besar dapat dijual kepada orang-orang yang lewat yang hendak ke pasar atau sepulang mereka dari pasar. Ternak-ternak kami itu terutama sekali akan banyak yang membelinya di hari-hari besar keagamaan, atau bila orang-orang di kampung hendak melaksanakan pesta pernikahan anak mereka atau mengkhitankan anak mereka.
Dan aku pula yang seringkali membantu ibuku untuk menangkap ayam-ayam itu bila mereka kebetulan sedang dikeluarkan dari kandang saat ada orang yang hendak membelinya tanpa diduga. Begitulah masa kanak dan masa remajaku yang lebih banyak dihabiskan dengan ibuku –selain ibuku juga lah orang pertama yang mengajariku membaca dan mengaji Al-Quran serta mengajariku tatacara sholat.
Sulaiman Djaya, (Budayawan)