Di tengah jalan yang sedang dia lalui, Ki Rangan melihat ranting kayu yang tergeletak di Tengah jalan. Ia lalu mengambil ranting kayu yang tergeletak di Tengah jalan itu untuk menyingkirkan ke tempat yang aman. Biar tidak mengganggu orang yang sedang lewat. Namun untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Dari arah belakang, muncul sebuah mobil yang menyerempet ujung ranting kayu yang sedang dipegang Ki Rangan.
Mobil yang badannya tergores pun berhenti. Seorang lelaki bernama Ki Jumawa keluar dan mendekati Ki Rangan yang tengah kebingungan. Ki Rangan tak menyangka jika kayu yang dipegang dan hendak ia singkirkan menggores body mobil yang lewat itu.
Ki Jumawa belum sempat memutuskan apakah dia akan mengambil kayu di tangan Ki Rangan atau tidak, mendadak pintu mobilnya terbuka. Istri Ki Jumawa yang nama lengkapnya Nyonya Plekenut Ngawuriyah keluar dan mendekati kedua lelaki itu.
“Lama amat sih, Pak. Bagaimana, apa orang ini tidak mau tanggung jawab untuk perbuatannya yang menyebabkan mobil kita tergores?” ucap perempuan yang biasa dipanggil Uut Ria itu. Meski nama lengkapnya adalah Nyonya Plekenut Ngawuriah.
Ki Jumawa pun menceritakan pada istrinya tentang bentuk tanggung-jawab yang ditawarkan Ki Rangan untuk menebus kesalahannya. Maka sambil menoleh ke arah Ki Rangan, Uut Ria pun memberondongkan kata-kata kasar dan pedas pada Ki Rangan. Seakan di dalam mulut perempuan itu terdapat peternakan kata-kata.
Menghadapi dampratan Plekenut Ngawuriah, Ki Rangan hanya mampu berkata, “Maafkan saya, Nyonya. Sebenarnya saya ingin memberi ganti rugi, tapi sungguh saya tidak punya uang. Lakukan sesuatu pada saya, dan saya ikhlas menerima, asal saya dimaafkan.”
“Enak saja” ucap Uut Ria ketus “sekarang katakana, apa yang bisa kamu berikan pada kami, sebagai bentuk pertanggung-jawaban kamu sebab telah menggores body mobil kami? Katakan !”
Ki Rangan tidak menjawab, hanya Ki Jumawa yang langsung bicara untuk menjawab omelan istrinya, Plekenut Ngawuriyah terhadap Ki Rangan. Lelaki itu menceritakan pada istrinya apa yang ditawarkan Ki Rangan untuk menebus kesalahannya. Uang lima ribu rupiah, permintaan maaf dan kesediaan untuk digores tubuhnya. Sedalam dan sepanjang goresan di mobil mereka.
“Edan memang Sampean, Pak” celoteh Plekenut Ngawuriyah
“Bagaimana kalau saya tambahi lagi, pak dan Bu. Sebagai bentuk pertanggung-jawaban jawaban saya untuk kesalahan ini??” tiba-tiba Ki Rangan bicara.
“Kamu tambahi apa??” ucap Ki Jumawa dan Plekenut Ngawuriyah hampir bersamaan.
“Saya tambahi “doa”, semoga mobil ini bisa cepat diperbaiki dan bisa terlihat bagus lagi.” kata Ki Rangan
Ki Jumawa dan istrinya, Plekenut Ngawuriyah seakan sampai pada puncak kejengkelan. Kemarahan dan kesedihan akibat mobilnya tergores sangat jelas terlihat di wajah keduanya. Marah terhadap Ki Rangan, sedih karena mobilnya tergores.
Akhirnya kedua suami istri itu meninggalkan Ki Rangan, dengan terus mengeluarkan kata kata kasar terhadap kiranya. Bahkan muncul umpatan berupa nama-nama binatang yang ditujukan Ki Jumawa kepada Ki Rangan. Seakan di dalam mulut lelaki itu ada sebuah kebon Binatang.
Ki Rangan hanya bisa memandangi kedua orang itu yang masuk ke dalam mobil. Keduanya menutup pintu dengan keras, seakan hendak meluapkan kekesalan mereka terhadap Ki Rangan pada pintu itu. “Jebrakkkk !!!” Bersambung >
Ahmad Rofiq, penulis buku Jagat Kiai Gresik: Nuansa Islam Nusantara, Tarekat Sang Kiai: Biografi KH Abdul Aziz Masyhuri, Pengurus LTN NU Kabupaten Gresik, Komisi Dakwah MUI Kabupaten Gresik.
semangat