Dalam perjalanan menuju desa Sumber Winih untuk menemui Kiai Dhohir Wabathin, Ki Rangan sempat berpapasan dengan seorang bocah dekil yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa. Wajah bocah itu tampak murung, seakan baru saja dimarahi oleh orang tuanya. Ki Rangan tidak sempat bertanya pada bocah itu kenapa dirinya terlihat murung seperti itu. Tapi tubuh bocah itu keburu hilang ditelan kelokan jalan.
Wajah murung bocah itu lantas melemparkan panah ingatan Ki Rangan jauh ke masa silam. Dulu saat masih seusia dengan bocah itu, Ki Rangan pernah mencoba minggat dari rumah gara-gara dimarahi Emaknya. Saat itu -karena rasa dongkol – Ki Rangan bertetap hati untuk pergi dari rumah dan tidak akan pernah kembali. Pertemuan dengan bocah itu mengingatkan Ki Rangan pada masa lalunya saat ia masih seorang bocah.
**
Saat masih seorang bocah, Ki Rangan pernah merasa jengkel lalu bertengkar dengan Ibunya. Saat itu Ki Rangan bahkan bertekad untuk minggat, dia meninggalkan rumah. Ki Rangan pergi lewat pintu belakang rumahnya, saat ibunya sedang keluar sebentar untuk suatu urusan. Disaat berjalan tanpa tujuan yang jelas itulah Ki Rangan baru sadar bahwa ternyata di saku celananya sama sekali tidak ada uang. Maka saat perut bocah itu merasa lapar, ia pun mulai gelisah. Kaki Ki Rangan terus berjalan, begitu pula otaknya untuk menemukan solusi atas rasa lapar yang sedang menderanya.
Tanpa sengaja, Ki Rangan sampai ke sebuah warung. Ki Rangan pun berhenti dan dia berdiri cukup lama di depan warung makanan itu. Ki Rangan ingin sekali bisa makan kala itu, meski hanya beberapa buah Ote ote atau pisang goreng. Syukur-syukur mie goreng rasa ayam panggang.
Pemilik warung itu adalah seorang wanita setengah baya. Tanpa sepengetahuan Ki Rangan, perempuan itu melihat Ki Rangan berdiri cukup lama di depan Warungnya. Perempuan itu lalu keluar dan bertanya pada Ki Rangan yang masih berdiri terpaku di depan warung
“Nak, apakah engkau ingin memesan sesuatu?”
“Ya, saya ingin membeli makanan. ahh..tidak, Bu..maafkan saya”
“Loh, ada apa? Kok kayaknya kamu gugup begitu?”
“Anu…abu, Bu, saya tidak membawa uang sama sekali.”
Perempuan itu pun memahami situasi bocah di hadapannya. Dia lalu berkata
“Oh, begitu. Tidak apa-apa, Nak, masuklah. Saya akan memberimu makanan. Masuklah,Nak !”
“Tapi, Bu”
“Tidak mengapa, masuklah!”
Ki Rangan pun menuruti ajakan perempuan yang seusia dengan Emaknya itu. Dia masuk ke dalam warung lalu menjatuhkan pantatnya di bangku kayu. Pemilik warung masuk ke dalam dan beberapa saat kemudian dia telah keluar dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Perempuan itu lalu menghidangkan sepiring nasi pecel itu di hadapan Ki Rangan. Dia juga menyiapkan segelas air putih sebagai penutup saat Ki Rangan selesai makan.
“Makanlah, Nak. Tidak usah khawatir, kamu tidak usah membayar.”
“Terima kasih, Bu.”
Ki Rangan segera menyantap makanan yang terhidang di hadapannya. Ki Rangan merasakan nasi itu begitu nikmat, mungkin karena saat itu perutnya sedang keroncongan. Tapi mungkin juga karena makanan itu ditaburi aura keikhlasan dari pemilik warung itu saat menghidangkannya.
Setelah melahap isi piring dan juga segelas air putih di hadapannya, Ki Rangan terdiam. Tanpa terasa air matanya mendadak berlinang dan meleleh dari kedua sudut matanya.
Perempuan pemilik warung itu heran, kenapa bocah di hadapannya menangis, adakah sesuatu yang membuatnya bersedih sehingga menangis. Perempuan itu lalu bertanya;
“Ada apa, Nak? Kenapa kamu menangis?”
“Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih banyak untuk kebaikan ibu. Saya hanya merasa terharu. Sebab ada seseorang yang baru saja saya kenal, tapi dia memberi saya sepiring makanan saat saya kelaparan. Ibu begitu baik. Sedangkan Ibu saya malah telah mengusir saya dari rumah. Anda orang yang baru saya kenal tapi begitu peduli dan baik hati kepada saya”
Perempuan pemilik warung itu terdiam untuk beberapa saat, namun akhirnya berkata pada Ki Rangan, “Nak, kamu keliru. Mengapa kamu berpikir begitu? Aku hanya memberimu sepiring makanan dan kamu sudah merasa begitu terharu. Aku hanya menghidangkan makanan sekali ini saja, kok kamu berkata seperti itu. Padahal ibumu telah memasak dan memberimu makanan setiap hari, memasak dan menghidangkan makanan untukmu sampai kamu dewasa. Seharusnya kamu lebih berterima kasih kepadanya, Nak.”
Ki Rangan mendadak tersentak dengan kata-kata perempuan itu. Dia tercenung membenarkan ucapan perempuan itu. Hatinya berkata, “Mengapa untuk sepiring nasi pecel dari orang yang baru aku kenal aku begitu merasa terharu dan berterima kasih. Tetapi terhadap ibuku sendiri yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku tak pernah berterima kasih? Bahkan sekarang aku sedang bertengkar dengannya?”
Tanpa menunggu, Ki Rangan segera bangkit dari duduknya. Dia berpamitan pada perempuan pemilik warung dan berterima kasih untuk semua kebaikannya. Ki Rangan bergegas untuk segera pulang. Hatinya merasa sangat menyesal telah bertengkar dengan ibunya. Keputusannya untuk minggat langsung dia batalkan.
Sesampainya di ambang pintu rumah, Ki Rangan melihat Ibunya sedang berdiri dengan wajah muram serta memandangi foto lawas yang tergantung di dinding rumah. Foto ayah Ki Rangan yang telah tiada. Ki Rangan merasa cemas dan khawatir bahwa dirinya akan terkena murka ibunya sebab telah pergi tanpa pamit. Namun bocah itu sudah pasrah andai ibunya akan murka lalu memukulinya dengan e`nthong atau palang pintu.
“Mungkin itu memang pantas aku terima” ucap Ki Rangan di dalam hati.
Namun semua itu nyatanya hanya bayang-bayang ketakutan yang menari-nari di kepala Ki Rangan. Sebab ketika ibunya melihat dirinya, perempuan itu langsung mendekat dan memeluknya. Ki Rangan pun tak kuasa menahan air matanya. Bocah itu menangis tersedu-sedu di dalam pelukan ibunya.
Kalimat pertama yang keluar dari mulut ibunya bukan kemarahan atau bentakan, namun ucapan yang membuat Ki Rangan semakin merasa terharu dan berdosa telah membuat sedih ibunya, “Kamu kemana saja, Rangan?
Seharian tadi ibu mencarimu. Ibu cari di rumah tetangga dan teman-teman bermainmu, tapi kamu tidak ada. Ibu takut terjadi apa-apa pada dirimu, Nak. Hanya kamu yang ibu miliki. Ternyata kamu sudah pulang. Ayo masuk, Rangan, Ibu telah menyiapkan makanan camilan untuk malam ini. Sebenarnya tadi siang ibu memasak nasi pecel kesukaanmu, tapi kamu tidak kembali sampai sore.”
Mendengar itu, Ki Rangan tidak dapat menahan tangisnya. Dia bahkan menjatuhkan diri di hadapan ibunya, memeluk dan menciumi kedua kaki perempuan itu.
“Maafkan aku, Mak, maafkan anakmu yang telah membuatmu sedih dan khawatir ini. Ampuni aku yang tidak bisa berterima kasih ini, Emak ……hiks..hiks..”
“Sudahlah, Rangan..sudahlah…”
**
Air mata Ki Rangan meleleh saat kembali mengingat kenangan itu. Kenangan saat dirinya sakit hati terhadap Emaknya. Apalagi saat ini Emaknya telah tiada.
“Duh Gusti, ampuni segala kesalahan yang pernah diperbuat Emak ku saat masih hidup. Sayangi beliau Ya Allah, sebagaimana Emakku menyayangi aku saat aku masih kecil.”
Ki Rangan kembali berjalan untuk menuju desa Sumber Winih sebagaimana diperintahkan guru ngajinya, Ki Yambaan. Bersambung >
Ahmad Rofiq, penulis buku Jagat Kiai Gresik: Nuansa Islam Nusantara, Tarekat Sang Kiai: Biografi KH Abdul Aziz Masyhuri, Pengurus LTN NU Kabupaten Gresik, Komisi Dakwah MUI Kabupaten Gresik.
see here jaxx liberty