JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Sebagai Wakil Rais ‘Aam PBNU, KH Afifuddin Muhajir dikenal luas sebagai ulama besar uṣūl al-fiqh dan fiqh. Keilmuannya mendalam, metodologinya rapi, dan pertimbangannya selalu berpijak pada kaidah-kaidah ushul yang kokoh. Di pesantren maupun di ruang-ruang diskusi akademik, beliau menjadi rujukan ketika persoalan hukum membutuhkan kejernihan analisis dan ketelitian nalar.
Integritas Kiai Afif tidak pernah diragukan. Beliau tidak bermain politik praktis, tidak menumpangkan kepentingan, dan tidak pula menjadikan otoritas ulama sebagai alat tekanan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Pandangannya jernih karena bersih dari motif selain kemaslahatan jam’iyyah. Lebih dari itu, beliau sangat terbuka terhadap perbedaan pandangan. Beliau mau mendengar, mau mempertimbangkan argumen baru, bahkan kerap bertanya tentang sains, isu-isu digital, dan berita-berita kontemporer kepada saya. Dari sini terlihat: beliau bukan kiai yang manut pada informasi, tetapi ulama yang terus belajar dan memverifikasi.
Dalam konflik internal PBNU yang melibatkan Ketua Umum, sikap beliau menunjukkan ketegasan seorang ulama ushul. Setelah menimbang secara teliti berdasarkan prinsip-prinsip fiqh dan etika organisasi, beliau menyatakan bahwa Ketua Umum telah melakukan pelanggaran besar yang mencederai martabat jam’iyyah dan karena itu harus diberhentikan. Ketegasan ini lahir bukan dari sisi politik, tetapi dari amanat keilmuan.
Pada titik ini saya teringat sikap para ulama ketika membaca Perang Shiffin. Mereka memahami bahwa di mana pun ‘Ammār bin Yāsir berdiri, di situlah pihak yang lebih dekat kepada kebenaran, karena Nabi telah menubuatkan nasib Ammar.
Bagi saya, demikian pula: di mana Kiai Afif berdiri dan mengambil sikap dalam konflik internal PBNU, di situlah posisi yang paling dekat kepada kebenaran. Sikap beliau berpijak pada integritas, ilmu ushul, dan fiqh yang lurus, bukan pada politik atau kepentingan konsesi tambang.
Sebagai santri pecinta ushul al-fiqh dan fiqh, saya ittiba’, manut dengan sikap beliau.
Tabik,
Prof. KH. Nadirsyah Hosen, Ph.D. atau yang akrab dipanggil Gus Nadir yang lahir pada 8 Desember 1973, adalah Rais Syuriah PCI (Pengurus Cabang Istimewa) Nahdlatul Ulama (NU) di Australia dan New Zealand.
Menempuh pendidikan formal dalam dua bidang yang berbeda, Ilmu Syari’ah dan Ilmu Hukum, sejak S-1, S-2, dan S-3. Pemegang dua gelar Ph.D. ini memilih berkiprah di Australia, hingga meraih posisi Associate Professor di Fakultas Hukum, University of Wollongong. Namun kemudian, dia “dibajak untuk pindah ke Monash University pada 2015, Monash Law School adalah salah satu Fakultas Hukum terbaik di dunia. Baru setahun pindah ke Monash, beliau sudah diminta mengurusi Monash Malaysia Law Program—sebuah program unggulan melibatkan mahasiswa dari Australia, Kanada, Belanda, Jerman, dan Prancis. Di Kampus Monash, beliau mengajar Hukum Tata Negara Australia, Pengantar Hukum Islam, dan Hukum Asia Tenggara.
























