BANTEN | LIPUTAN9NEWS
“Dia yang memiliki mengapa untuk hidup, bisa menghadapi hampir semua bagaimana.” (Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf dan pujangga Jerman).
Esai singkat ini adalah laporan pembacaan atas bukunya Viktor Frankl, Man Search for Meaning (Manusia Mencari Makna Hidupnya), yang terjemahan Bahasa Indonesia-nya diterbitkan penerbit Noura (2017). Buku itu berkisah betapa tindakan bermakna menjadi sumber inspirasi dan kekuatan kita dalam hidup.
Secara garis besar, ada tiga kemungkinan atau sumber ke-bermakna-an dalam hidup kita, yaitu: Pertama, dalam melakukan segala yang menurut kita penting. Kedua, dalam cinta dan kepedulian kita kepada orang lain. Dan ketiga, dalam keberanian serta keteguhan saat menjalani masa-masa sulit. Ketika kesulitan dan penderitaan justru akan menjadikan kita lebih kuat bila mampu menghadapi dan lalu sanggup mengatasinya. Penderitaan dan kesulitan sejatinya tidak punya makna. Kita lah yang memberikan makna.
Di lembar-lembar buku itu, ada satu nasihat penting Viktor Frankl tentang makna keikhlasan yang sesungguhnya, yaitu: “Jangan jadikan kesuksesan sebagai tujuan –semakin Anda jadikan kesuksesan sebagai tujuan, semakin Anda akan menjauh darinya. Sebab sukses, sebagaimana kebahagiaan, tidak dapat dikejar; ia niscaya akan terjadi, dan hanya terjadi sebagai efek samping dari pengabdian pada tujuan yang lebih besar ketimbang (kepentingan) diri sendiri atau sebagai hasil samping dari pelayanan seseorang pada selain dirinya sendiri.”
Sebuah nasihat yang pas dan kontekstual untuk para pejabat yang belakangan hujan kritik publik karena terjebak pencitraan semu ketimbang percaya pada hasil kerja nyata. Dan yang miris, bahkan menjadikan bencana sebagai panggung pencitraan.
Viktor Frankl melanjutkan: “Kebahagiaan pastilah terjadi, dan hal ini juga berlaku pada kesuksesan: Anda harus membiarkannya terjadi dan tidak usah memedulikannya. Saya ingin Anda mendengarkan apa yang diperintahkan hati nurani untuk Anda lakukan dan melaksanakannya sebaik yang Anda bisa. Maka Anda akan melihat bahwa dalam jangka panjang –saya katakan dalam jangka panjang!-kesuksesan akan mengikuti tepat di belakang Anda karena Anda telah lupa untuk memikirkannya”. (Halaman xix-xx).
Nasihat berharga itu datang dari empirisisme pengalaman hidup Viktor Frankl, yang menulis buku, bukan untuk mencari ketenaran dan kesuksesan pada mulanya, tapi terdorong hanya untuk berbagi pengalaman. Meski kemudian, bukunya ini menjadi best seller dunia, dan mengalami cetak ulang.
Penulis buku Man Search for Meaning, yang lengkapnya bernama Viktor Emil Frankl, adalah nama besar dalam disiplin keilmuan psikologi, sekaligus banyak kalangan yang menyebutnya sebagai filsuf. Populer sebagai pendiri logoterapi, berusaha mengoreksi kekeliruan asumsi-asumsi psikologi sebelumnya, termasuk yang terlampau positivistik. Logoterapi sendiri lazim dipahami sebagai pendekatan psikoterapi eksistensial yang menekankan pentingnya pencarian makna hidup sebagai kekuatan (energi) motivasional primer atau utama dalam diri manusia. Misalnya menekankan sisi terdalam pengalaman hidup manusia seperti penderitaan dan upaya kita memaknai kebebasan dan kemerdekaan yang sejati.
Menurut Viktor Frankl, dorongan utama manusia bukanlah semata mendapatkan kesenangan (sementara), melainkan menjadi bermakna sebagai manusia dalam hidup dan tindakan keseharian. Ada tiga pilar utama logoterapi Viktor Frankl: Pertama, kehendak untuk makna atau bermakna (will to meaning). Pilar ini berusaha mengoreksi (mengkritik) Freud yang menyatakan bahwa hasrat utama manusia adalah mendapatkan kesenangan (will to pleasure), dan Adler yang mengemukakan bahwa hasrat utama manusia adalah kehendak untuk berkuasa (will to power). Menurut Frankl, energi atau kekuatan utama motivasional manusia adalah pencarian makna (search to meaning).
Pilar kedua adalah makna hidup yang dapat ditemukan dalam segala keadaan atau ragam situasi yang kita alami dan kita jumpai, seperti dalam kesengsaraan atau penderitaan (kesulitan atau kesempitan hidup yang kita jalani). Dan pilar ketiga adalah kebebasan spiritual, di mana manusia selalu memiliki kebebasan terakhir untuk memilih atau menentukan sikap terhadap situasi hidup. Bahkan ketika kita tak memiliki kontrol atas situasi eksternal. Bila Freud memandang kita sebagai makhluk yang digerakkan oleh seks dan agresi, dan bila Adler mempercayai bahwa kita sebagai makhluk hidup yang digerakkan oleh kebutuhan superioritas, maka Frankl mempercayai kita sebagai makhluk hidup yang diinspirasi dan digerakkan oleh pencarian makna hidup.
Sejujurnya, di era digital dan media sosial saat ini, kita pun perlu berefleksi atau bertanya: Adakah kelarutan kita berselancar dan menghabiskan waktu di media sosial membuat kita menjadi manusia yang bebas? Atau malah tersedot oleh mesin dan teknologi itu sendiri? Apakah media sosial dan teknologi informasi membuat kita menjadi semakin manusiawi dan menghidupkan kejernihan nurani kita? Ataukah malah sebaliknya? Membuat kita bebal? Seperti terjadinya brain rot atau pembusukan akal dan nalar, serta melahirkan depresi. Dan sejumlah pertanyaan lainnya yang bisa kita ajukan, seperti: Apakah kita justru menjadi lebih egois dan tidak memedulikan orang-orang yang dekat secara nyata?
Kita bisa melihat bagaimana ketika banyak orang lebih sibuk dan asik dengan gawai mereka, mereka bahkan tak saling berbincang ketika mereka berkumpul atau makan bersama, meski mereka saling mengenal satu sama lain. Para pejabat dan para politisi pun tak ketinggalan lebih asik dan terjebak dengan pencitraan semu lewat postingan di akun-akun media sosial mereka, yang bahkan cenderung narsistik. Nasihat tentang pentingnya kebebasan spiritual dalam buku Man Search for Meaning itu relevan dengan kondisi hidup kita saat ini, selain dalam kondisi yang ekstrem seperti digambarkan pengalaman Vitkor Frankl sendiri sebagai tahanan (kamp konsentrasi) NAZI Jerman:
“Manusia bisa melestarikan sisa-sisa kebebasan spiritual. Kebebasan berpikir mereka.” (Halaman 80). “Apapun bisa dirampas dari manusia, kecuali satu: kebebasan terakhir seorang manusia –kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.” (Halaman 92). Kebebasan itu, sudah tentu, adalah kebebasan untuk pencarian makna hidup yang kita jalani, bahkan ketika kita berada dalam kesulitan dan penderitaan: untuk apa saya hidup dan apa yang membuat saya bisa menjadi berarti? Viktor Frankl menulis: “Jika hidup benar-benar memiliki makna, maka harus ada makna di dalam penderitaan. Karena penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.” (Halaman 97).
Dalam konteks menciptakan ketulusan dan keikhlasan yang paling tulus dan paling ikhlas, Viktor Frankl bahkan berpandangan agar: “kita tidak perlu berharap sesuatu dari hidup, biarkan hidup mengharapkan sesuatu dari kita.” (Halaman 111). Kita sebenarnya memang menjadi menderita dan depresi justru karena harapan dan keinginan kita yang berlebihan dari hidup itu sendiri. Bahkan karena harapan dan keinginan yang berlebihan itu, kita malah tercerabut dari realitas dan kapasitas kita sendiri, membiarkan kita berada dalam angan-angan hampa ketimbang melakukan tindakan dan perbuatan yang masih bisa kita lakukan, yang membuat kita memberikan pemaknaan dan keberartian bagi diri kita.
Penting untuk diinsyafi, saat kita membicarakan logoterapinya Viktor Frankl, yaitu bahwa: “makna hidup berbeda untuk setiap manusia, dan berbeda pula dari waktu ke waktu. Karena itu, kita tidak bisa merumuskan makna hidup secara umum.” (Halaman 112). Katakanlah, makna hidup itu unik dan khas tergantung kondisi eksistensial yang dialami dan dijalani setiap orang dalam dunia dan kehidupan mereka masing-masing. Dan karenanya pula: “Tidak ada manusia dan tidak ada takdir yang bisa dibandingkan dengan manusia atau takdir yang lain. Tidak ada situasi yang berulang, dan setiap situasi harus ditanggapi dengan reaksi yang berbeda.” (Halaman 115).
Apa yang dikemukakan Viktor Frankl itu memang selaras dengan realitas kehidupan sehari-hari kita. Bukankah rasa bahagia (kelapangan) justru menjadi demikian bermakna justru setelah kita mengalami dan menghadapi kesulitan atau penderitaan? Bukankah kita merasa menjadi sedemikian berarti dan bangga justru ketika kita berhasil keluar dari cobaan dan ujian hidup? Yang karenanya kita malah menjadi lebih kuat dan lebih matang. Psikologi-Logoterapi Viktor Frankl yang memiliki nilai dan isi spiritual memang alternatif yang sangat berharga di tengah melimpahnya corak dan nilai pandangan yang cenderung positivistik dan behavioristik. Ia seperti mata air jernih yang menghilangkan dahaga dan kekeringan batin manusia modern yang terjebak teknologi dan birokrasi, yang membuat jiwa mereka kering dan merana.
Dalam penjelasan penggagasnya sendiri, logoterapi: “memusatkan perhatian pada makna hidup dan pada upaya manusia untuk mencari makna hidup tersebut. Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk mencari makna dalam hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut.” (Halaman 143). “Upaya manusia untuk mencari makna, merupakan motivator utama dalam hidupnya, dan bukan rasionalisasi sekunder yang muncul karena dorongan-dorongan naluriahnya. Makna ini merupakan sesuatu yang unik dan khusus, artinya hanya bisa dipenuhi oleh orang yang bersangkutan; hanya dengan cara itulah makna tersebut bisa memiliki signifikansi.” (Halaman 144).
Sebelum mengakhiri esai singkat ini, kiranya tepat ungkapan filsuf dan pujangga Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche, yang juga dikutip Viktor Emil Frankl di halaman 150 bukunya yang berjudul Man Search for Meaning itu: “Dia yang memiliki mengapa untuk hidup, bisa menghadapi hampir semua bagaimana.” Semoga siapa pun yang membacanya bisa mendapatkan inspirasi dan pencerahan hidup, bisa menjadi manusia yang bermakna dan bisa memaknai hidup sebagai manusia.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan
























