Jakarta, Liputan9 – Muharram merupakan permulaan tahun dalam kalender Islam yang menandai pergantian tahun Hijriyah. Kata “Muharam” dalam Bahasa Arab mempunyai arti “yang dilarang”. Disebut kalender Hijriah mendasari pada hijrah Nabi yang memiliki sejarah panjang dan peristiwa penting dalam Islam. Permulaan penetapan kalender Hijriyah atas inisiatif Khalifah Umar bin Khattab. Dalam tradisi Islam ahlu sunah wal jama’ah, setiap memasuki malam pergantian Tahun Baru Islam dan selama di bulan Muharram, mereka mengisi dan meramaikannya dengan berbagai ritual keagamaan seperri membaca al-Quran, dzikir, do’a, melaksanakan puasa sunah, menyantuni anak yatim dan lain sebagainya.
Keberadaan bulan Muharram disebut bulan yang mulia merujuk pada firman Allah yang disebutkan dalam Surat At-Taubah ayat 36:
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah [9]: 36).
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallama bersabda,
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, diantaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab yang biasa diagungkan Bani Mudlar yaitu antara Jumadil tsani dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hijrah di Masa Pandemi
Penamaan kelender Hijriyah yang dikaitkan dengan momentum hijrahnya/pindahnya Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallama secara fisik bersama para sahabatanya dari Makkah ke Madinah. Dalam persepektif yang lebih luas, hijrah dapat diartikan meninggalkan kebiasaan yang dilarang pindah atau menuju kepada yang diperintah oleh Allah Subhanahu wata’ala.
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
”Orang yang berhijrah itu adalah orang yang berhijrah, meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah” (HR. al-Bukhârî).
Esensi hijrah Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallama sesungguhnya bukan hanya sekadar berpindah dari satu tempat ketempat yang lain (hijrah al-Hissiyah), tetapi mengubah cara hidup (hijrah) dengan mengamalkan perintah agama menuju perubahan yang lebih baik dari kondisi dan situasi sebelumnya (hijrah al-Maknawiyah) merupakan makna hijrah yang hakiki.
Dalam konteks pandemi, pada saat Covid-19 masih menjadi ancaman kesehatan dan sudah banyak menelan korban, hijrah harus dimaknai sebagai upaya mengubah kondisi pandemi ini menjadi kondisi normal kembali.
Islam mengajarkan tentang pentingnya menjaga kesehatan, termasuk menjagadiri dari wabah yang mengamcam nyawa atau kesehatan. Hal itu dapat kita rujuk pada penjelasan al-Quran, hadis atau pendapat ulama.
Allah Subhanahu Wata’ala melarang kepada kita agar tidak menjatuhkan diri dalam kebinasaan,
وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“…dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2] : 195).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita agar senantiasa menjaga imunitas atau kekebalan tubuh kita dengan cara mengkonsumi kurma Ajwah.
مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً، لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ
“Barangsiapa mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun maupun sihir.” (HR. al-Bukhari & Muslim).
Dalam kaidah fikih disebutkan,
لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ
”Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan arang lain.”
ﺍَﻟﻀَّﺮَﺭُ ﻳُﺰَﺍﻝُ
“Bahaya/Kemudaratan harus dihilangkan.”
Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labib, juz 1, halaman 223-224 menjelas;
وخذوا حذركم أي احترزوا من العدو ما استطعتم لئلا يهجموا. عليكم. وهذه الآية تدل على وجوب الحذر عن جميع المضار المظنونة، وبهذا الطريق كان الإقدام على العلاج بالدواء والاحتراز عن الوباء وعن الجلوس تحت الجدار المائل واجبا
Bersiapsiagalah kalian. Jagalah diri kalian dari musuh sesuai kemampuan supaya mereka tidak menyerangmu. Ayat ini menunjukkan kewajiban menjaga dari seluruh dugaan bahaya. Dengan demikian, terapi pengobatan, menjaga dari wabah serta tidak duduk dibawah tembok yang akan roboh adalah wajib.
Hingga sekarang, grafik kasus Covid-19 secara global masih terus mengalami peningkatan. Hingga Sabtu, 7 Agustus 2021, berdasarkan data Worldometers, total kasus orang yang terinfeksi Covid-19 di seluruh dunia telah mencapai 202.340.531 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.289.521 orang meninggal dunia, dan 181.858.906 orang dinyatakan pulih.
Oleh karenanya, pergantian Tahun Baru Islam 1443 H bisa kita jadikan momentum untuk hijrah memperbarui kembali cara dan gaya hidup yang lebih baik. Pada konteks pandemi seperti sekarang ini, penting untuk memaknai arti hijrah dalam perspektif yang lebih luas. Hijrah dapat diartikan dengan meningkatkan ihtitiyar (usaha) secara dzhahir seperti menjaga kesehatan, mengkonsumsi barang yang halal dan suci, memakai masker, dan meningkatkan ihtiyar secara batin seperti memperbanyak dzkir, membaca do’a, membaca al-Quran, mengamalkan puasa sunah, bersedekah, dan ibadah lainnya.
Oleh: KH. Abdul Muiz Ali, ( Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI dan Direktur LAZISMA)