JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Paradigma sederhana dalam konteks Nahdlatul Ulama bukan berarti cara pikir yang dangkal, melainkan kesederhanaan sebagai metode melihat realitas secara jernih, membumi, dan proporsional. Ia adalah cara pandang yang menolak kerumitan yang tidak perlu, tetapi tetap dalam, kaya, dan bertumpu pada hikmah tradisi.
Paradigma ini tumbuh dari tiga sumber utama:
1. Kesederhanaan sebagai Tradisi Kultural
NU lahir dari kultur pesantren — ruang yang mengutamakan:
- tawadlu’ (kerendahan hati),
- qana’ah (merasa cukup),
- dan iffah (menjaga diri).
Dari sini lahir etos tidak berlebih-lebihan dalam menilai, menanggapi, maupun merespons persoalan sosial. NU memandang kehidupan publik dengan cara yang teduh, tidak gegabah, tidak memaksakan absolutisme moral.
Kesederhanaan di sini berarti: Melihat sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana kita ingin memaksanya.
2. Pragmatisme Bijak (al-waqi‘iyyah)
NU tidak terikat pada ideologi kaku. Tradisinya adalah:
- mengikuti fiqh ketika perlu kepastian,
- mengikuti maqashid ketika fiqh tidak memadai,
- dan mengikuti maslahat umum ketika kondisi berubah.
Inilah yang disebut para kiai sebagai: “jalan tengah yang mengutamakan kemaslahatan nyata, bukan idealitas kosong.”
Kesederhanaannya terletak pada:
- tidak memperumit sesuatu yang jelas,
- tidak mengideologisasi hal-hal teknis,
- tidak menjadikan agama sebagai instrumen pertikaian sosial.
3. Kesadaran Realitas Sosial
NU, sebagai organisasi yang tumbuh di akar rumput, memahami realitas masyarakat yang plural, heterogen, dan seringkali rumit.
Dari sini muncul paradigma khas:
- Masalah sosial sering lebih sederhana daripada narasi politiknya. Banyak konflik identitas dapat larut hanya dengan dialog, musyawarah, atau pendekatan kultural, bukan teori besar.
- Tidak semua masalah membutuhkan “solusi besar”.
Kadang hanya perlu: adab, empati, sikap saling mendengar, atau sekadar menunda reaksi agar suasana tidak keruh.
- Politik tidak boleh melebihi proporsinya.
NU selalu menempatkan politik sebagai wasilah, bukan ghayah. Sebagian besar persoalan umat diselesaikan lewat pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan, bukan perebutan kekuasaan.
Contoh Praktis Paradigma Sederhana NU
- Hubungan antaragama, pendekatannya bukan teologi polemik, tetapi teologi pergaulan: bertemu, berbagi makan, hidup bertetangga.
- Menghadapi perbedaan mazhab, Tidak dibawa ke arena ideologis, cukup kembali pada kaidah: “pendapat kami benar tapi mungkin salah, pendapat orang lain salah tapi mungkin benar.”
- 3.Kemajuan dan teknologi, tidak ditolak secara naluriah; NU menilai berdasarkan manfaat sosial dan kemaslahatan, bukan sentimen.
Hakikatnya: Kebijaksanaan Tanpa Keruwetan
NU selalu berangkat dari prinsip: “Yang sederhana itu lebih dekat kepada kebenaran dan kemaslahatan.”
Karena itu, paradigma sederhana NU melahirkan:
- politik moderat,
- teologi inklusif,
- fiqh sosial yang lentur,
- dan kebudayaan yang ramah terhadap keragaman.
Kesederhanaan NU bukan kelemahan, melainkan strategi epistemologis: melihat realitas dengan kejernihan, menimbangnya dengan fiqh dan kearifan tradisi, lalu mengambil jalan yang paling membawa manfaat.
KH. Taufik Damas, Wakil Katib Syuriah PWNU Jakarta
























