JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Dilansir Al Mayadeen, sebuah jeritan kemarahan dan kebenaran terdengar dari palagan Gaza yang terkepung. Jalur Gaza telah diubah secara biadab menjadi “kuburan terburuk” bagi wartawan, bukan oleh takdir tetapi oleh strategi keji Rezim Zionis yang berupaya memadamkan setiap saksi mata atas kejahatan mereka.
Di tengah keheningan global yang memuakkan, pembunuhan sistematis ini telah menciptakan impunitas mutlak, mengancam tidak hanya suara Perlawanan Palestina, tetapi juga fondasi kebebasan pers global.
Seorang veteran jurnalis dan petinggi Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), Anthony Bellanger melancarkan refleksi yang membakar di The Guardian, menyalurkan murka kolektif para pekerja media dunia. Ia menegaskan bahwa pembunuhan rekan-rekan mereka di Gaza terjadi dengan impunitas Israel yang tidak tertandingi, didukung oleh kelumpuhan kekuatan dunia.
Data IFJ yang menghancurkan menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir, lebih dari 222 jurnalis Palestina telah syahid. Skala pembunuhan massal ini belum pernah tercatat sebelumnya sejak IFJ berdiri pada 1926. Angka ini melampaui gabungan korban di Perang Dunia II, Vietnam, Korea, Suriah, Afghanistan, atau Irak. Gaza, menurut Bellanger, kini adalah kuburan terbesar bagi jurnalis dalam sejarah modern, sebuah gelar memalukan yang disematkan oleh darah para pewarta kebenaran.
Bellanger dengan tegas menyatakan bahwa ini bukanlah insiden acak. Ini adalah strategi yang disengaja dan terencana Rezim Zionis yaitu dengan menghilangkan saksi, menutup Gaza dari mata internasional, dan mengendalikan narasi untuk memuluskan agenda kolonial dan penaklukan militer mereka.
“Perdana Menteri Zionis, Benyamin Netanyahu, yang terang-terangan bersumpah untuk “menembus” Gaza, melihat perang informasi tidak terpisahkan dari penaklukan. Bagi penjajah, kolonisasi juga berarti menghapus bukti kejahatan, menghapus reruntuhan, korban, dan mereka yang berani menceritakan kisah mereka,” ujranya dilansir dari Poros, Sabtu (04/10/2025).
“Kita harus mengingat nama-nama heroik seperti Anas al-Sharif, seorang reporter muda yang gugur pada 10 Agustus 2025, dan setiap rekan Syahid lainnya. Mereka yang berupaya membungkam suara-suara ini akan membawa kecaman selamanya,” imbuhnya.
Selama dua tahun, Gaza telah menjadi tempat paling berbahaya untuk jurnalisme. Dengan larangan total bagi wartawan asing, hanya wartawan Palestina atau anggota Sindikat Jurnalis Palestina yang tersisa sebagai penulis sejarah yang heroik.
Mereka adalah benteng terakhir kebenaran. Mereka bekerja tanpa perlindungan, berbagi realitas mencekik dengan keluarga mereka yang sama-sama menjadi target bombardir dan pengepungan.
“Di tengah pemboman yang tak henti, mereka berjuang di kantong-kantong pengungsian, di mana setiap hari adalah pertaruhan hidup dan mati,” terangnya.
Tanggapan masyarakat internasional hanya sebatas simbolis. Pengakuan kenegaraan Palestina di PBB, meskipun penting, datang terlambat untuk menyelamatkan yang hidup atau memberikan keadilan pada yang gugur. PBB tetap lumpuh, dan negara-negara besar terlibat melalui keheningan mematikan serta penjualan senjata yang mempersenjatai para pembunuh.
Para jurnalis Palestina, yang didukung upaya IFJ menyalurkan bantuan dan mendokumentasikan kejahatan, terus melaksanakan misi suci mereka, seringkali hingga titik syahid. Bellanger mengingatkan bahwa tanpa kerangka hukum PBB yang kuat untuk menghukum para pembunuh, impunitas akan bertahan dan melindungi mereka yang bertanggung jawab dalam Israel.
Keputusasaan merayap di Gaza. Banyak yang bertanya, “Apa gunanya melanjutkan?” karena bukti dan kesaksian menumpuk tanpa adanya perubahan nyata. Namun, Bellanger mengingatkan bahwa diam berarti menyerahkan kemenangan kepada para pelaku kejahatan, membiarkan mereka mengeklaim bahwa “tidak ada yang terjadi”.
Pada malam seratus tahun IFJ pada 2026, Gaza adalah ujian akhir. Menerima pembunuhan wartawan Palestina dengan ketidakpedulian berarti membuka pintu bagi entitas otoriter di mana pun untuk menjadikan pembunuhan wartawan sebagai alat perang standar yang sah.
Para Syahid, seperti Anas al-Sharif, tidak ingin mati melainkan hanya ingin melaporkan. Kematian tragis mereka menuntut tindakan keras. “Israel membunuh wartawan”, tutup Bellanger dengan nada menantang. “Membunuh wartawan membunuh kebenaran. Dan dunia tanpa kebenaran adalah dunia di mana para algojo memerintah tertinggi”.















