• Latest
  • Trending
  • All
  • Politik
Sulaiman Djaya

Paradoks Kritik Teologis A. A. Navis (Bagian Pertama)

September 29, 2025
Foto: Ilustrasi Ai

Menyikapi Perbedaan Menggapai Persatuan

November 14, 2025
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Muda Qur’ani di Era Digital

Khutbah Jumat: Membangun Generasi Muda Qur’ani di Era Digital

November 14, 2025
APBD 2026 Bekasi Capai Rp6,8 Triliun, Tiga Sektor Jadi Prioritas Utama

APBD 2026 Bekasi Capai Rp6,8 Triliun, Tiga Sektor Jadi Prioritas Utama

November 14, 2025
Penyarahan Beasiswa kerjasama YBM PLN dgn IA JATMAN utk Mahasiswa S2 dan S3 UNUSIA di PP Pasulukan Al-Masykuriyyah, Kamis (13/11/2025).

Gandeng YBM PLN, JATMAN Berikan Beasiswa Mahasiswa S2 dan S3 UNUSIA

November 13, 2025
Masjid

Khutbah Jumat: Fiqih Dakwah Era Digital di Masjid Jamik Al-Amin Bondowoso

November 13, 2025
Ahmadi Kadong

Ahmadi Madong Tegaskan Komitmen Kawal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Sosial

November 13, 2025
Imam Jazuli

Nasaruddin, Nusron, dan Zulfa, Masuk Radar Calon Kuat Muktamar NU Ke-35 Tahun 2026

November 12, 2025
Sulaiman-Djaya

Gerindra, Golkar dan Pengkhianatan Kebangsaan

November 12, 2025
Di-NU-NU-kan

PCNU Kabupaten Bekasi Siap Gelar Konfercab 2025 di Ponpes Siraajul Ummah

November 12, 2025
Pangdam V/Brawijaya Buka Seminar KEK Tembakau Dorong Ekonomi Madura Bangkit (Foto: Dok. KAMURA)

Pangdam V/Brawijaya Buka Seminar KEK Tembakau Dorong Ekonomi Madura Bangkit

November 12, 2025
  • Iklan
  • Kontak
  • Legalitas
  • Media Sembilan Nusantara
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Tentang
Friday, November 14, 2025
  • Login
Liputan9 Sembilan
  • Home
  • Berita
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Artikel
    • Opini
    • Resensi
    • Download
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Karir
    • UMKM
    • Wisata-Travel
    • Lowongan Kerja
  • Politik
    • Pilkada
    • Pilpres
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Dunia Islam
    • Al-Qur’an
    • Ngaji Kitab
    • Muallaf
    • Khutbah
    • Tanya-Jawab
    • Ramadan
    • Filantropi
    • Seputar Haji
    • Amaliah NU
    • Tasawuf
    • Syiar Islam
  • Lainnya
    • Agenda
    • Sejarah
    • Buku
    • Pendidikan
    • Seni Budaya
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Artikel
    • Opini
    • Resensi
    • Download
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Karir
    • UMKM
    • Wisata-Travel
    • Lowongan Kerja
  • Politik
    • Pilkada
    • Pilpres
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Dunia Islam
    • Al-Qur’an
    • Ngaji Kitab
    • Muallaf
    • Khutbah
    • Tanya-Jawab
    • Ramadan
    • Filantropi
    • Seputar Haji
    • Amaliah NU
    • Tasawuf
    • Syiar Islam
  • Lainnya
    • Agenda
    • Sejarah
    • Buku
    • Pendidikan
    • Seni Budaya
No Result
View All Result
Liputan9 Sembilan
No Result
View All Result
Home Artikel Opini

Paradoks Kritik Teologis A. A. Navis (Bagian Pertama)

Oleh: Sulaiman Djaya

liputan9news by liputan9news
September 29, 2025
in Opini, Seni Budaya
A A
1
Sulaiman Djaya

Sulaiman Djaya, Ketua Bidang Perfilman Majelis Kebudayaan Banten

502
SHARES
1.4k
VIEWS

BANTEN | LIPUTAN9NEWS

“Kenyataan adalah kebenaran hulu. Dalam tanggapan pengarang, ia menjadi kenyataan atau kebenaran hilir, dengan kata lain yang terjadi itu adalah kebenaran hilir tersebut terolah dengan sejumlah kekayaan dan kemampuan batin si pengarang bersangkutan, dan tentu saja tak dapat dilupakan, daya imajinasi” (Pramoedya Ananta Toer dalam A. Teeuw 1997: 2).

Karya-karya sastra yang melancarkan kritik sosial keagamaan, atau katakanlah kritik yang bermuatan teologis, perlu dilihat secara cermat: apakah laku kritiknya adil dan proporsional atau sekedar melancarkan ‘sinisme sepihak’? Sejalan dengan itu kita harus pula bersifat ‘skeptis’ ketika membaca karya-karya sastra yang penuh beban pesan moral demi menjaga kejujuran intelektual dan tanggungjawab akademis. Hal demikian karena para penulis, sebagai manusia fana yang bergelut dengan hiruk-pikuk sosial politik budaya dalam kehidupan sehari-hari tak luput dari kontaminasi dan kentalnya subjektivitas pengalaman manusia itu sendiri ketika bersentuhan dan mengalami realitas yang dihidupi dan dihadapinnya. Sikap kritis yang konsisten dan berkesinambungan merupakan keniscayaan ketika kita membaca karya-karya sastra, termasuk karya-karya sastra yang mengandung tendensi kritik keagamaan. Tulisan ini adalah refleksi dari pembacaan karya-karya sastra Ali Akbar Navis yang melancarkan satir dan parodi atas praktik dan kepercayaan keagamaan yang menurutnya tidak lebih kebodohan dan keterbelakangan, dan karena itu tulisan ini berusaha mencermati apakah satir dan parodi keagamaan dalam beberapa karya Ali Akbar Navis itu proporsional ataukah malah mengandung sejumlah paradoks.

Dalam sejarah dan khazanah sastra Indonesia, karya-karya sastra yang mengangkat masalah-masalah keagamaan atau isu-isu dan muatan-muatan teologis dalam keterkaitannya dengan praktik dan situasi sosial politik budaya masyarakat Indonesia bisa dibilang selalu ada dalam setiap masa, bahkan hingga saat ini. Mulai dari Atheis-nya Achdiat K. Miharja hingga Langit Makin Mendung-nya Ki Pandji Kusmin, sampai Robohnya Surau Kami-nya Ali Akbar Navis hingga novel-novel yang ditulis para penulis perempuan di era 2000-an dan novel-novel yang mendapuk diri atau ‘didapuk’ dengan label ‘fiksi Islam’ itu. Kemunculan karya-karya sastra yang mengangkat isu dan masalah teologis tersebut sudah merupakan penanda kuat adanya upaya reflektif sekaligus instrospektif pemahaman dan praktik keagamaan oleh dan dalam masyarakat kita bukan hanya oleh kaum akademisi atau intelektual di perguruan tinggi, semisal di Universitas Islam Negeri (UIN), dan terutama para pemikir keagamaan yang memang konsen dan dedikasinya menyoroti dan menulis masalah-masalah agama dalam ragam domain permasalahan, tetapi juga oleh para sastrawan hingga para penulis fiksi pop yang kadar kesastraannya bisa diperdebatkan, melalui prosa atau pun puisi.

Dalam cerita pendek Robohnya Surau Kami, yang melambungkan nama penulisnya itu, Ali Akbar Navis meminjam tokoh Ajo Sidi untuk melakukan refleksi ironis (sindiran yang bersifat pengumpamaan dengan meminjam tokoh-tokoh rekaan dalam prosa) atas pemahaman dan praktik keagamaan Islam yang ‘dinilai’ justru tidak sejalan dengan ajaran dan semangat religius Islam itu sendiri. Ajo Sidi ‘membual atau membuat cerita rekaan’ tentang tokoh fiktif Haji Saleh, yang dirujukkan kepada penggambaran kakek penjaga surau (garin), yang masuk neraka justru di saat Haji Saleh ketika hidup di dunia merasa dan percaya akan masuk surga. Pembualan oleh Ajo Sidi itu merupakan wujud kritik ideologis-teologis atas pemahaman dan praktik keagamaan Islam yang menurutnya keliru dan justru tidak sejalan dengan spirit dan ajaran Islam. Apa yang dilakukan Ajo Sidi itu pun wujud ‘perang’ dan perlawanan ideologisnya terhadap praktik dan pemahaman keagamaan kakek penjaga surau, yang dapat dibaca sebagai representasi sikap dan kepercayaan keagamaan sejumlah masyarakat di bangsa kita. Di sisi lain, keputusan si kakek untuk bunuh diri ‘sangat mungkin’ untuk ditafsir bahwa keyakinan dan kepercayaan keagamaan si kakek penjaga surau (garin) sesungguhnya amat rapuh. Merasa gamang dan ‘menerima’ bualan (rekaan cerita sindiran) Ajo Sidi sebagai ‘kebenaran’ yang menyerang dan menghantamnya secara rasional dan ideologis.

BeritaTerkait:

Senjakala di Kawasan Royal Kota Serang

Pikiran yang Terlambat

Paradoks Kritik Teologis A. A. Navis (Bagian Kedua)

Khutbah Jumat: Kritik Membangun dengan Cara Demonstrasi yang Elegan Perspektif Islam

Sudah dengan sendirinya, sikap dan tindakan Ajo Sidi yang ‘mengolok-ngolok’ garin atau si kakek penjaga surau itu adalah sikap dan tindakan politis sebagai upaya melawan praktik dan pandangan keagamaan Islam yang menurut Ajo Sidi keliru dan menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan, seperti sebagai faktor yang mendukung langgengnya kemiskinan di masyarakat. Namun pada saat yang sama, Ajo Sidi dengan sendirinya tidak terhindarkan, telah pula melakukan kekerasan ideologisnya terhadap praktik dan pandangan hidup ‘yang dihantam’ dan ‘dicemoohnya’ melalui ‘bualan atau cerita rekaan’ tentang Haji Saleh yang masuk neraka untuk ‘mem-partisi’ atau ‘mendiskreditkan’ kakek penjaga surau yang tidak mempedulikan kehidupan material duniawi. Sebuah spirit-ideologis yang sepenuhnya modernis dan bahkan sekuler, meski pada saat yang sama pula ketidakpedulian si kakek penjaga surau kepada kehidupan material (dunia) adalah wujud sekularisasi (memisahkan agama dengan dunia) yang sesungguhnya pula. Begitu pun, tindakan Ajo Sidi yang kalkulatif dapat juga ditafsir sebagai cerminan rasionalitas instrumental modern yang berparadigma bisnis dan kalkulatif material dalam memandang hidup dan kehidupan.

Kekerasan intelektual dan ideologis memang kerapkali dilakukan oleh rasionalisme modern dan terutama sekali oleh materialisme dan sekulerisme yang menilai atau ‘menghakimi’ pandangan dan praktik hidup yang meremehkan capaian material di dunia sebagai kejumudan dan kebodohan. Oleh Ajo Sidi, si kakek penjaga surau ‘didiskreditkan’ dan ‘dihantam’ dengan bualan dan rekaannya hingga si kakek memutuskan untuk bunuh diri. Sementara kebiasaan dan tindakan si kakek yang ‘tidak memaksakan bayaran’ untuk kebaikannya mengasah pisau orang-orang memang antitesis rasionalitas instrumental dan paradigma bisnis sekulerisme yang menjual dan membisniskan komoditas dan jasa, membisniskan kehidupan.

Tindakan si kakek yang tak memaksakan bayaran dari orang-orang yang menerima jasanya itu memang amal keagamaan dalam rangka menabung kebajikan untuk bekal di akhirat kelak. Sebuah perbuatan yang tentu akan dicela, misalnya oleh kaum sekuler-ateis yang tidak mempercayai hidup setelah kematian. Ajo Sidi memang tamsil figur dan watak modernis-materialis yang sesungguhnya ‘merendahkan’ perilaku dan tindakan yang didasari motif keyakinan atau kepercayaan keagamaan si kakek penjaga surau dalam cerita pendek Robohnya Surau Kami.

Tanpa ia sadari, Ajo Sidi telah melakukan tafsir subjektifnya tentang Tuhan dan kehendak Tuhan menurut versi kepercayaannya sebagai Tuhan yang akan menghukum mereka yang hanya mementingkan kehidupan di akhirat. Ajo Sidi sesungguhnya telah masuk jebakan-jebakan teologis yang tidak ia sadari. Ia mengkonsepsikan Tuhan dan kehendaknya sesuai kepercayaan dan pemahamannya. Dalam hal ini, Tuhan dalam polemik teologis memang acapkali merupakan: Pertama, Tuhan yang merupakan “Tuhan kepercayaan”, kedua: “Tuhan yang dipercayai”, ketiga: Tuhan dalam kepercayaan, keempat: Tuhan yang dipercaya, kelima: Tuhan yang dalam kepercayaan, dan keenam: Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan, dan semua itu, termasuk kehendak Tuhan dalam persepsi Ajo Sidi dan Ali Akbar Navis bukanlah Tuhan yang sebenarnya, melainkan Tuhan yang dikonsepsikan oleh manusia. Sebab, Tuhan sepenuhnya tidak bisa dikonsepsikan, dibayangkan dan digambarkan. Bila kita meminjam istilah Ibn Arabi, Tuhan adalah ‘al-ghayb al-aqdas’, misteri dan teka-teki paling kudus yang tak bisa diimajinasikan atau digambarkan.

Kritik teologis Robohnya Surau Kami (terbit tahun 1955 dalam terbitan Kisah yang diasuh H.B. Jassin), dalam sejarah dan khazanah sastra Indonesia, dilanjutkan oleh Langit Makin Mendung-nya Ki Panji Kusmin yang terbit tahun 1968, dan kuat kemungkinan yang kedua itu terinspirasi yang pertama. Sementara Atheis-nya Achdiat Karta Mihardja terbit tahun 1949, yang bukan tidak mungkin, entah besar atau kecil, sedikit atau banyak, menginspirasi Ali Akbar Navis dan Ki Panji Kusmin. Yang patut dicermati dengan seksama adalah Robohnya Surau Kami dan Langit Makin Mendung memiliki kemiripan dari segi struktur cerita dan dialog, sehingga akan sangat mudah ditebak siapa yang bersembunyi di balik nama samaran Ki Panji Kusmin:

“Apa sebenamya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis, dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali.”

“Hamba ingin mengadakan riset,” jawabnya lirih.

“Tentang apa?”

“Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga.”

“Ahk, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak salah?”

(Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, dikutip dari: https://kangpanut.wordpress.com/2007/11/20/langit-makin-mendung/).

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

(Ali Akbar Navis, Robohnya Surau Kami)

Secara sosiologis dan proses kreatif pengarangnya, cerita pendek Robohnya Surau Kami, sebagaimana diakui pengarangnya dan juga dikemukakan para pengamat dan peneliti sastra, semisal oleh Ivan Adilla , merupakan ‘pengalihan’ atau ‘penarasian’ ulang seloroh bualan M. Syafei di tempat Ali Akbar Navis bekerja, kepada A. Khalik, tentang orang-orang Eropa yang akan masuk surga karena rajin bekerja dan orang-orang Indonesia yang akan masuk neraka karena malas bekerja. Surau yang roboh dan penjaganya yang meninggal itu memang kejadian nyata, dari peristiwa nyata pengalaman Ali Akbar Navis sendiri. Ketika dalam sebuah perjalanan, Ali Akbar Navis melintasi surau di kampungnya tempat mengaji dulu di Padang Panjang telah roboh dan penjaganya telah meninggal.

Ajo Sidi dalam Robohnya Surau Kami telah melakukan kekerasan ideologis dan melakukan partisi kepada kakek penjaga surau dengan ‘mengumpamakan’ si kakek sebagai tokoh Haji Saleh yang masuk neraka. Si kakek penjaga surau ‘diidentifikasi’, ‘dipartisi’, dan ‘didefinisikan’ secara ajeg sebagai yang negatif bagi kehidupan dunia dan masyarakat. Pandangan dan sikap-praktik keagamaannya ‘dipercaya’ sebagai faktor dan sumber keterbelakangan dan kemunduran masyarakat. Pemahaman dan praktik keagamaan si kakek penjaga surau menjadi tertuduh utama kejumudan dan keterbelakangan masyarakat bangsa ini, dan karenanya tempat si kakek adalah neraka setelah menjalani kematian di dunia.

Penggambaran konfrontasi ideologis cerpen Robohnya Surau Kami itu “mengidentifikasi’ garin atau kakek penjaga surau sebagai subjek yang tidak berdaya, tidak punya suara, lemah, pasif –tidak memiliki kapasitas logos atau rasionalitas untuk mengasersi atau menegaskan dirinya dan posisi dirinya dalam ‘pertarungan’ ideologisnya dengan Ajo Sidi yang ‘lantang’ melancarkan serangan bualan (menyampaikan narasi karangan imajinatif-intelektualnya tentang si kakek yang ia figurkan dengan tokoh fiktif Haji Saleh), hingga si kakek penjaga surau itu bunuh diri. Cerpen itu juga menggambarkan bahwa sebenarnya si kakek tidak sepenuhnya tanpa pamrih, sebab ia juga merasa gembira bila ada yang membalas jasanya dengan imbalan uang, tak cuma senyuman atau ucapan terimakasih sekedar basa-basi.

Upaya penggambaran garin atau si kakek penjaga surau sebagai orang yang tidak punya rasionalitas dan logos, tidak berdaya dan lemah itu, yang ‘ditempatkan’ dalam posisi dan predikat rohaniawan atau agamawan, sadar atau tidak sadar, sesungguhnya telah ‘mendefinisikan’ kaum agamawan sebagai mereka yang tidak bisa memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa dan masyarakat. Meski entah yang diserang dalam cerpen itu kaum puritan atau konservatif-ortodoks, tetap saja relevan dan menyasar semua kaum agamawan dari ragam aliran atau mazhab. Meskipun mungkin bisa saja bahwa ‘peminjaman’ tokoh si kakek penjaga surau itu sebagai representasi umum untuk mengkritik mereka yang pandangan dan praktik keagamaannya ‘menyumbang’ pada pola-pikir dan praktik yang menciptakan kebodohan dan keterbelakangan, namun predikat si kakek penjaga surau itu tetap saja telah diakrabkan dengan sendirinya kepada kaum agamawan, mengingat habitat dan fungsi sosial-politiknya dalam masyarakat dan bangsa telah lazim dikenal. Tidak salah jika kemudian cerpen itu dinilai subversif oleh beberapa yang merasa ‘mewakili’ diri mereka dari habitat keagamaan, sebagaimana tidak salah pula ketika tidak sedikit yang merasa ‘tidak nyaman’ dengan Langit Makin Mendung-nya Ki Panji Kusmin, yang bisa saja ditulis oleh orang yang sama atau oleh kolaborasi dua orang atau lebih (entah H.B. Jassin atau pun Ali Akbar Navis).

Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan

Tags: AA NavisAli Akbar NavisKritikParadoksSulaiman DjayaTeologis
Share201Tweet126SendShare
liputan9news

liputan9news

Media Sembilan Nusantara Portal berita online yang religius, aktual, akurat, jujur, seimbang dan terpercaya

BeritaTerkait

Senjakala di Kawasan Royal Kota Serang
Seni Budaya

Senjakala di Kawasan Royal Kota Serang

by liputan9news
November 7, 2025
0

BANTEN | LIPUTAN9NEWS Kawasan Royal Kota Serang adalah ikon urban masyarakat Banten, tidak terlalu besar, namun sudah menjadi brand pusat...

Read more
Sulaiman-Djaya

Pikiran yang Terlambat

October 10, 2025
Sulaiman Djaya

Paradoks Kritik Teologis A. A. Navis (Bagian Kedua)

September 30, 2025
Masjid Nabawi

Khutbah Jumat: Kritik Membangun dengan Cara Demonstrasi yang Elegan Perspektif Islam

September 4, 2025
Load More

Comments 1

  1. Pingback: Esai Kritik Sastra Kita | Kursi Rehat

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Gus Yahya

PBNU Respon Rais Am JATMAN yang telah Demisioner dan Teken Sendirian Surat Perpanjangan Kepengurusan

November 26, 2024
Akhmad Said Asrori

Bentuk Badan Hukum Sendiri, PBNU: JATMAN Ingin Keluar Sebagai Banom NU

December 26, 2024
Jatman

Jatman Dibekukan Forum Mursyidin Indonesia (FMI) Dorong PBNU Segera Gelar Muktamar

November 22, 2024
Al-Qur’an Surat Yasih Arab-Latin dan Terjemahnya

Al-Qur’an Surat Yasih Arab-Latin dan Terjemahnya

2468
KBRI Tunis Gelar Forum Peningkatan Ekspor dan Investasi di Sousse, Tunisia

KBRI Tunis Gelar Forum Peningkatan Ekspor dan Investasi di Sousse, Tunisia

757
KA Turangga vs KA Commuter Line Bandung Raya Tabrakan, Apa Penyebabnya?

KA Turangga vs KA Commuter Line Bandung Raya Tabrakan, Apa Penyebabnya?

141
Foto: Ilustrasi Ai

Menyikapi Perbedaan Menggapai Persatuan

November 14, 2025
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Muda Qur’ani di Era Digital

Khutbah Jumat: Membangun Generasi Muda Qur’ani di Era Digital

November 14, 2025
APBD 2026 Bekasi Capai Rp6,8 Triliun, Tiga Sektor Jadi Prioritas Utama

APBD 2026 Bekasi Capai Rp6,8 Triliun, Tiga Sektor Jadi Prioritas Utama

November 14, 2025
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
  • Media Sembilan Nusantara

Copyright © 2024 Liputan9news.

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Artikel
    • Opini
    • Resensi
    • Download
  • Ekonomi
    • Wisata-Travel
    • Bisnis
    • Karir
    • UMKM
    • Lowongan Kerja
  • Politik
    • Pilkada
    • Pilpres
  • Kesehatan
  • Dunia Islam
    • Filantropi
    • Amaliah NU
    • Al-Qur’an
    • Tasawuf
    • Muallaf
    • Sejarah
    • Ngaji Kitab
    • Khutbah
    • Tanya-Jawab
    • Ramadan
    • Seputar Haji
    • Syiar Islam
  • Lainnya
    • Agenda
    • Pendidikan
    • Sejarah
    • Buku
    • Tokoh
    • Seni Budaya

Copyright © 2024 Liputan9news.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In