Jakarta, Liputan9 – Perputaran omzet atau dana pinjaman online mencapai lebih dari Rp 260 triliun. Lebih dari 68 juta rakyat Indonesia terdaftar sebagai pemakai akun financial technology (fintech). Ada permasalahan berkaitan pinjaman online (pinjol) ilegal yang lagi menjadi perbincangan publik karena menimbulkan keresahan masyarakat. Pada tahun 2021 saja, sebanyak 1.856 pinjol telah ditutup berikut akun-akun dan aplikasi yang tersebar di banyak platform media sosial digital. (Kompas.com, Jumat, 15 Oktober 2021).
Laporan mengenai keresahan yang dilkaukan oleh pinjaman online ikegal telah menjadi perhatian banyak pihak. Presiden Joko Widodo memberikan perhatian untuk membereskan dan menindak tegas pengelola pinjaman online ilegal tersebut. Pinjol ilegal ini telah menimbulkan masalah di masyarakat karena berkaitan dengan penggunaan bunga pinjaman di luar batas kewajaran, denda-denda yang memberatkan, cara-cara penagihan yang kurang manusiawi. Masyarakat sebagai nasabah pinjol menjadi tertekan dan ketakutan.
Hal ini mengingatkan kita pada Bank Keliling yang juga marak di masyarakat. Bank keliling secara operasional memiliki kesamaan dengan Pinjol, yakni sama –sama memberikan pinjaman dana bagi mereka yang membutuhkan, Bedanya Bank Keliling dilakukan secara manual dan luring, sedangkan pinjol dilakukan secara digital dan daring. Di sisi lain, masyarakat pun melakukan perlawanan terhadap bank keliling karena mereka merasakan ada tekanan-tekanan yang membuatnya stress. Beberapa kampung pun membuat spanduk penolakan terhadap bank keliling untuk tidak masuk ke wilayah mereka untuk melakukan kegiatan pinjam meminjamkan dana tersebut.
Di sisi lain ada Lembaga Filantropi yang melakukan kegiatan untuk memerdekakan warga dari jeratan Bank Keliling. Lembaga ini berupaya dengan keras dan terencana untuk memfasilitasi masyarakat tidak terjebak hutang kepada rentenir. Upaya itupun berhasil menjauhkan warga dari bank keliling melalui alternatif program yang dapat memberikan kesejahteraan .
Di tengah permasalahan banyak korrban dari Pinjol ilegal dimana keberadaan dari lembagai-lembaga filantoropi Islam. Sebenarnya lmbaga-lembaga tersebut dapat menjadi tempat mengadu bagi warga masyarakat yang mengalami kerentanan sosial ekonomi di masa pandemi. Masyarakat yang biingung di tengah himpitan ekonomi memerlukan lembaga atau institusi untuk menemukan solusi keluar dari permasalahan ekonominya. Justru di saat masyarakat menghadapi problematika ekonomi dan sosial yang hadir adalah aplikasi Fintech pinjaman online bukannya lembaga-lembaga filantropi tersebut. Seharusnya lembaga-lembaga filantropi itu hadir menawarkan solusi atas kerentanan –kerentanan sosial itu melalui bantuan modal, edukasi dan pendampingan untuk meraih kesejahteraannya.
Hal di atas merupakan kritik kepada Lembaga-Lembaga Filantropi Islam agar mereka lebih hadir secara nyata dalam kehidupan masyarakat? Benar bahwa Lembaga-Lembaga Filantropi Islam telah melakukan kerja-kerja pemberdayaan berkaitan dengan ekonomi produktif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tapi kenapa Pinjol lebih digemari masyarakat yang indikatornya ditunjukkan dengan sekitar 68 juta masyarakat terdaftar akun atau aplikasi fintech ini? Ini sebuah ironi sekaligus intropeksi bagi Lembaga-Lembaga Filantropi Islam terutama tentang pengelolaan dan edukasi kepada masyarakat untuk tidak terjebak pada Pinjol ilegal.
Pinjaman online digemari oleh masyarakat karena bertemunya kebutuhan masyarakat yang mendesak di bidang ekonomi dengan kemudahan persyaratan untuk mendapatkan uang hutang. Masyarakat yang bingung dengan beban ekonomi seolah-olah menemukan harapan baru dengan adanya kemudahan meminjam dana secara online. Mereka tidak berpikir panjang lagi tentang dampak negatifnya yang terpenting kebutuhannya hari ini dapat terpenuhi serta dapat menghela napas dari hinpitan hidup yang berat ini.
Bagaimana dan apa tugas dari Lembaga-Lembaga Filantropi untuk menanggulangi permasalahan mengenai banyaknya anggota masyarakat yang terjerat dengan pinjaman online ilegal, yakni pertama prosedur yang tidak rumit dan memudahkan dalam penyaluran bantuan modal ekonomi produktif bagi masyarakat yang membutuhkannya. Kerumitan prosedur ini seringkali menjadikan masyarakat tidak mau berhubungann dengan lembaga-lembaga filantropi Islam tersebut. Masyarakat yang terdesak masalah ekonomi lebih nyaman dengan cara yang mudah dan tidak rumit karena sudah terlalu berat dengan beban hidupnya.
Kedua, Lembaga-Lembaga Filantropi perlu mengkampanye dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pinjaman online beserta dampaknya. Sehingga masyarakat memiliki basis pengetahuan yang cukup mereka. Mereka akan lebih bijak dan teliti ketika mendapatkan tawaran pinjaman online.
Ketiga, Lembaga-Lembaga Filantropi perlu melakukan konsilidasi kelmbagaan sampai tingkat bawah. Penguatan lembaga-lembaga lokal pengelola dana filantropi di masyarakat sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan sosial ekonomi di tingkat komunitas. Lembaga-lembaga di tingkat lokal ini diharapkan menjadi pilar dan sekaligus berkontribusi untuk pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan kesejahterannya.
Ketiga hal di atas diharapkan menjadi pijakan bagi Lembaga-Lembaga Filantropi untuk lebih berkontribusi nyata dalam menjauhkan masyarakat dari Pinjol ilegal tersebut. Masyarakat dialihkan kepada model-model pembiayaan ekonomi yang lebih manusiawi dan bermartabat. Semoga.
Oleh: Dr. Muhtadi, Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta dan Wakil Ketua II Asosiasi Pembangunan Sosial Indonesia (APSI), tempat tinggal Kompleks Perumahan Muslim Al Falaah 3 Blok H.15, RT. 04/RW. 021 Jl. Salak, Pondok Benda, Pamulang, Tangerang Selatan. HP: 085716251155, email: muhtadi@uinjkt.ac.id